Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SULIT dipercaya, pria itu sudah 67 tahun. Tubuhnya tegap, langkahnya cepat, dan—ini yang menakjubkan—gayanya benar-benar funky. Rambut dicat oranye, janggut panjang terkepang, juga berwarna oranye.
Dia Djokolelono. Nama yang masih kalah tenar dibanding "Lelono" lainnya yang ngetop berkat Blue Energy. Namun, pada 1970-1980-an, "Lelono" yang kita bicarakan ini berjasa menghiasi lembar demi lembar fantasi anak Indonesia.
Djoko menulis lebih dari 40 novel. Temanya beragam: dari roman remaja, silat, hingga cerita anak-anak. Namun, dari semua itu, fiksi ilmiah, yang dia tulis mulai 1971, yang melambungkan namanya. Karya legendarisnya, Jatuh ke Matahari, bercerita tentang eksplorasi antariksa di masa depan, terbit pada 1976, setahun sebelum George Lucas menelurkan Star Wars.
Djoko lahir di Desa Beru, Kecamatan Wlingi, Blitar, Jawa Timur, 10 April 1944. Masa kecilnya di Malang dipenuhi buku, dari majalah Si Kuncung, The Last of Mohicans, sampai sang tokoh idola, Flash Gordon. Nilai bahasa Indonesianya di sekolah selalu 10, bahkan saat tidak naik kelas di SMA 3 Malang ia masih mengantongi angka itu.
Kutu buku itu mulai menulis pada umur 20 tahun, begitu lulus SMA. Di Alun-alun Bundar, dia menemukan secarik kertas berbahasa Inggris. Isinya cerita tentang plot serangan Jerman yang terendus Sekutu di Perang Dunia II. Karena sedang cekak, dia menerjemahkan cerita spionase itu dan mengirimnya ke majalah Intisari di Jakarta. "Ternyata dapat Rp 1.500, besar sekali," ujarnya. Jumlah itu setara dengan beasiswa Institut Teknologi Bandung yang tak dapat dia peroleh pada tahun yang sama.
Ketagihan fulus, dia terus menulis sembari kuliah di Jurusan Astronomi ITB. Terinspirasi James Bond, Djoko membuat cerita tentang agen rahasia Indonesia yang beraksi di Laut Cina Selatan. Judulnya Mencegah Kiamat dan diterbitkan dalam cerita bersambung di majalah berbahasa Jawa, Joyoboyo, di Surabaya.
Seorang redaktur majalah itu kemudian mendirikan Kawanku di Jakarta pada 1971, dan meminta Djoko memasok cerita dengan honor tiga kali lipat dari yang ia terima sebelumnya. Berkat koneksi di Kawanku pula dia ditarik ke Pustaka Jaya, penerbit yang dibentuk Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin untuk memajukan sastra lokal.
Di sana, kemampuan menulis Djoko meningkat dari penerjemah dan penulis cerita pendek jadi penulis novel. Karya awalnya yang mendapat sorotan adalah Terlontar ke Masa Silam, 1971. Bercerita tentang Yana, mahasiswa yang menggunakan mesin waktu, bertualang di masa Singosari di abad XIII, dan bersahabat dengan Raden Wijaya, pendiri Majapahit. Genre fiksi ilmiah merupakan karya langka waktu itu.
Ide bukunya bisa datang dari mana saja. Ketika terjebak macet—yang saat itu merupakan fenomena gaib—di Puncak, Jawa Barat, Djoko berkhayal, "Macet disebabkan serangan alien." Sembari bengong, dia berimajinasi pesawat luar angkasa turun di pegunungan dengan kebun teh itu, lalu menyebarkan getaran khusus yang menyebabkan logam di sekitarnya lumer. Nyeleneh, memang. Tapi bayangan seperti itu yang jadi ladang uangnya.
Sesampai di rumah, dia langsung menuju mesin ketik. Imajinasinya bertambah liar. Makhluk penginvasi bumi itu menemui lawan, Prim. Bocah yang jadi jenius gara-gara kesetrum komputer ini membuat alat pelambat getaran alien. Dalam hitungan hari, tertulislah 86 halaman, lalu lahirlah Getaran yang terbit pada 1972.
Meski drop out dari Astronomi ITB, Djoko terus mengikuti berita misi luar angkasa, termasuk rencana Uni Soviet membangun stasiun angkasa di atas bumi. Dia lalu berfantasi, pada 2048 manusia sudah mencapai Venus, yang jarak terdekatnya 261 juta kilometer. Lalu membangun Zwednoy Gorodok, yang berarti "Pangkalan Antariksa" dalam bahasa Rusia. Sweta Kamandalu, astronaut Indonesia, ikut dalam misi lintas negara tersebut. Namun, karena sabotase, pesawatnya nyangsang ke sang surya, sehingga diberi judul Jatuh ke Matahari.
Novel jadul ini masih mampu mengikat pembaca anyar dengan keakuratan deskripsinya. Misalnya struktur pesawat ulang-alik. Ada juga penggunaan ganggang untuk mengikat karbon dioksida yang mengundang hujan, dan jadi pionir kehidupan di Venus. Djoko melengkapi suasana kehidupan di stasiun ruang angkasa dengan ungkapan-ungkapan "lokal" di sana: "Orbit mantap" untuk mengganti "Sampai jumpa" dan "Matahari basah" untuk melampiaskan kekesalan. "Enggak tahu dapat dari mana," katanya tertawa.
Sederet novel laris juga lahir dari imajinasinya. Ada serial ACI—singkatan dari Aku Cinta Indonesia dan difilmkan oleh TVRI—Astrid, cerita silat Singa Bramantya, dan Candika Dewi. Selain membuat karya sendiri, dia menerjemahkan karya sastra lintas negara seperti novel bikinan Mark Twain, Huckleberry Finn; Laura Ingalls Wilder; dan Enid Blyton.
Djoko adalah pengarang yang karyanya paling banyak laku ketika pemerintah menggelar "Inpres Buku", proyek pembelian buku terbitan lokal, lalu membagikannya secara gratis kepada anak-anak SD, pada 1974. Dua belas buku karangan, plus lima terjemahan, menggelembungkan kantongnya sampai Rp 4 juta. Sebagai perbandingan, waktu itu seorang pengarang mendapat Rp 1 juta dari satu bukunya sudah dianggap mukjizat. Majalah Tempo pernah memasang wajahnya, dengan rambut gondrong dan kacamata tebal, pada halaman muka edisi 3 Agustus 1974.
Meski dikenal sebagai novelis, pekerjaan utama Djoko adalah karyawan. Sejak 1973, dia wira-wiri di delapan perusahaan iklan. "Semuanya sebagai copywriter," ujarnya. Tumpukan kertas berisi fantasi anak-anak tidak lagi memenuhi meja kerjanya, berganti dengan gagasan ide untuk pariwara. Planet Wikaslas—diambil dari nama istrinya, Wiwiek Kasriwati Lasimun—dan stasiun ruang angkasa tergusur gagasan promosi lampu dan kosmetik.
Setelah mandek seperempat abad, rangkaian imaji Djoko kembali tertuang dalam lembaran kertas. Pada pertengahan tahun lalu, Anak Rembulan mulai nongol di antara kepungan Harry Potter dan teenlit di rak toko buku. Novel 350 halaman ini berkisah tentang Nono, bocah kelas V SD yang terlontar ke zaman Majapahit setelah melewati pohon kenari di tepi Kali Njari, di Wlingi, Blitar, Jawa Timur.
Mengenakan seragam Manchester United bernomor 11, Ryan Giggs, eh Nono, membantu ratu Majapahit berperang melawan pemberontak yang didukung Belanda. Adapun pasukan kerajaan bahu-membahu dengan gerombolan perampok, yang ternyata adalah Pandawa Lima yang sedang menyamar.
Karena pohon yang membawa tokoh utama ke negeri antah-berantah, kisah ini sekilas mirip Alice in Wonderland karya Lewis Carroll, 1865. Tapi Djoko berhasil memperkuat orisinalitas karyanya dengan deskripsi dan narasi yang bagus. Dia membuat pembaca seolah-olah hadir di samping Nono yang tengah bertualang.
Deskripsi itu tidak asal-asalan. Nono diambil dari nama kecil Djokolelono, yang sewaktu kecil sering berlibur di pabrik tahu milik pamannya di tepi Kali Njari. "Hampir semua setting-nya memang ada," ujar penulis yang pantang merokok dan minum alkohol ini. Mulai warung depan Stasiun Wlingi, sungai berpasir lembut dan membuat orang yang berpijak serasa terbenam, pabrik tahu dekat sungai itu, sampai pohon kenarinya. Kenangan masa kecil Djoko berpadu dengan daya khayalnya tentang suasana desa dan istana Majapahit dengan ciamik.
"Bukunya yang mendorong saya jadi penulis cerita anak," ujar Sundea Silaen, 30 tahun. Dia ingat betul saat usai membaca Raras si Cilik Ceria, 22 tahun silam. Berbeda dengan kebanyakan penulis lain, Sundea melanjutkan, Djoko berhasil masuk ke alam pemikiran anak-anak tanpa bermaksud menggurui, murni mengajak mereka bermain. Bebas dari "pesan moral" yang kerap ada di buku anak lain. Sundea mengikuti jejak idolanya dan menerbitkan Salam Matahari pada 2006 dan 2009, serta Dunia Adin pada 2007.
Bagi penggemar fiksi ilmiah, karya Djoko dikenang karena memiliki detail yang mendahului masanya. Misalnya, di Jatuh ke Matahari, disebutkan roket berbahan bakar padat, karena cairan tidak dapat mengalir tanpa gravitasi. "Sampai segitunya," ujar Ami Raditya, 30 tahun, direktur majalah game terbitan Jawa Pos Group. Penggila Star Wars ini mengatakan, Jatuh ke Matahari dan trilogi Penjelajahan Antariksa memiliki nilai lebih dari petualangan Skywalker karena nilai kelokalannya. "Menggunakan nama dan setting Indonesia, sehingga lebih 'dekat'."
Ada kabar baik bagi penggemar Djokolelono: si janggut oranye ini belum akan pensiun. Ayah empat anak dan kakek delapan cucu tersebut sedang menyusun naskah prekuel Anak Rembulan, meski tidak berani menjanjikan tenggat. Khayalannya terus mengembara tanpa batas ruang dan waktu. Dari abad XVI di akhir masa Majapahit di belahan timur Jawa ke puncak gedung 26 lantai di Jakarta Pusat itu.
Reza Maulana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo