Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LOW profile dan "sulit bicara". Itulah Sony Dwi Kuncoro. Arek Suroboyo anggota tim Piala Thomas 2004 ini memang lebih banyak diam. Untung, ia masih bisa tersenyum menyaksikan tingkah polah rekan-rekannya. Bandingkan, misalnya, dengan si "Selebriti" Taufik Hidayat dan si "Tukang Bercanda" Tri Kusharyanto, yang suka "heboh".
"Menu makanan di Hotel Hilton kurang banyak, Pak," kata Taufik. "Iya, jadinya latihan kami hari ini enggak semangat, ha-ha-ha?," Tri menimpali dengan gayanya sendiri.
Sasaran keluhan kedua pemain bulu tangkis berpengalaman ini adalah Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat, Djohar Arifin, dan Direktur Pemusatan Latihan Nasional (Pelatnas) Cipayung, Christian Hadinata. Mereka hadir pada hari pertama pemusatan latihan Piala Thomas dan Uber 2004, Rabu pekan lalu, di Istana Olahraga Bung Karno, Senayan, Jakarta.
Apalagi, saat bubaran latihan, mereka sama riuhnya dengan murid-murid SMP seusai pelajaran akhir. Eng Hian sibuk mengomandoi rekan-rekannya agar memegangi Wimpie Mahardi. "Biasa, giliran sirahe (kepala) Wimpie?!" teriak pemain ganda putra itu. Wimpie "dipaksa" tengkurap. Kepalanya yang gundul?dicukur bersih tiap tiga hari?menjadi alas tangan yang bersitumpu ketika mereka meneriakkan, "Hoaaah?. Hidup Indonesia!" Saat ikut melakukan toast ala tim Piala Thomas Indonesia 2004 itu, Sony tetap dalam gayanya yang low profile. "Beginilah cara kami menyatukan semangat," kata Sony sambil tersenyum kecil.
Turun berlatih di lapangan yang baru direnovasi dengan biaya kurang-lebih Rp 7 miliar itu, Sony kuyup keringat, tapi bergairah. Di sinilah bakal digelar perebutan Piala Thomas dan Uber, 7-16 Mei nanti. Latihan untuk Sony dan rekan-rekan berlangsung dua kali sehari, pagi dan petang. Sedianya latihan perdana diadakan sehari sebelumnya, tapi tertunda karena ada penyemprotan nyamuk penyebab demam berdarah.
Sebagai calon pemain di tunggal pertama, bagaimana kans Sony? "Wah, biasa saja, Mas," katanya sambil mencoba mengelak menjawab lebih jauh. Namun, akhirnya, pertahanan diri pemuda kelahiran 7 September 1984 ini ambrol juga. "Saya berusaha tidak memikirkannya sebagai beban. Saya akan berusaha main lepas saja," Sony berjanji.
"Beban", itu mungkin kata kuncinya. Tiga hari sebelumnya, pemuda penggemar otomotif ini ketiban sial. Ia dikalahkan Taufik Hidayat dalam final Kejuaraan Asia di Kuala Lumpur, Malaysia, dengan skor 12-15, 15-7, 6-15. Set pertama berlangsung alot, pada set kedua Sony unggul meyakinkan, tapi pada set ketiga Sony seperti "kehilangan diri".
"Itulah Sony. Dia kadang gampang kehilangan konsentrasi, tak cepat mengubah strategi saat lawan telah berganti cara," kata pelatihnya, Djoko Supriyanto. Pemain tunggal Indonesia era 1990-an ini "setia" mengawal perkembangan anak asuhannya itu. Bagi Djoko, Sony rentan dengan penyakit itu. "Sony sendiri kerap mengeluh kepada saya, 'Mas, kenapa saya sering begini?'" Itulah kelemahan Sony, kata Djoko. "Padahal, saat lawan Taufik itu, dia bermain bagus pada dua babak pertama," komentar pemain ganda putra Chandra Wijaya.
Menurut Djoko, Sony bagaikan petinju bertipe boxer, yang melayani serangan. Dia akan selalu mengejar ke mana pun shuttle-cock melayang. Fisik pemuda Ketintang, Surabaya, ini memang prima. "Beda dengan Taufik, yang saya kategorikan fighter (pengendali serangan)," ujar Djoko. Sony sendiri mengakui bahwa dia mengidolakan Hendrawan dan Djoko?dua pemain boxer kelas wahid pada zamannya.
Kegagalan di Kuala Lumpur mungkin karena "beban" itu tadi. Sony hadir sebagai juara bertahan. Dua final sebelumnya juga mempertemukan Sony dengan Taufik. Dan keduanya dimenangi Sony. Bila kali ini ia menang lagi, semifinalis Swiss Terbuka 2004 ini mencetak hat-trick?yang ternyata urung. Dan jauh hari sebelumnya, Sony memang pernah mengutarakan niat ini?dan menjadi beban.
Itu berbeda dengan pertemuan serunya melawan jagoan Denmark, Peter Gade Christensen, pada babak pertama Kejuaraan Dunia 2004 di Birmingham. Meski menempati unggulan keenam, Sony tetaplah "pupuk bawang" di mata Christensen, yang tujuh tahun lebih tua. "Saya hanya bondo nekat (modal nekat) menghadapi dia," kata Sony. Karena keduanya bertipe boxer, permainan pun berjalan alot. Christensen kalah dua set langsung dalam waktu 67 menit! Sangat lama untuk partai straight-set.
"Beban" juga bakal menjadi kata kunci bagi tim Piala Thomas Indonesia 2004. Kejuaraan Asia di Kala Lumpur, selain menghasilkan all-Indonesian final tunggal putra, mempertemukan dua pasangan ganda Indonesia. Sigit Budiarto/Tri Kusharyanto akhirnya meraih gelar juara dengan mengalahkan Chandra Wijaya/Halim Haryanto 15-3 dan 15-5. Tapi Christian mengingatkan, "Mereka juara partai perseorangan. Akan beda kondisinya dengan Piala Thomas, yang beregu." Ivanna Lie, pelatih tunggal putri, menambahkan, "Tekanan pada partai beregu lebih berat."
Ivanna, pemain nomor satu dunia pada era 1980-an, menunjuk dirinya sendiri saat pertama kali turun dalam perebutan Piala Uber di Auckland, Selandia Baru, 1978. Sebagai pemain termuda di tim Indonesia, ia menjadi tunggal ketiga saat Indonesia kalah 2-5 dari Jepang di final. Waktu itu, Ivanna merasakan tekanan lebih berat daripada turun sebagai pemain tunggal. Untung, katanya, "Kepercayaan diri saya tertolong oleh banyaknya pemain senior, macam Verawaty Fadjrin."
Saat ini kekuatan tim Uber Indonesia jauh berbeda. "Kami tak punya bintang," Ivanna mengakui. Tunggal pertama Indonesia, Silvi Antarini, hanya pemain berperingkat 76 International Badminton Federation (IBF). Sedangkan ganda Jo Novita/Lita Nurlita masih lebih mendingan, peringkat ke-11 dunia. Makanya, target semifinal Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) terkesan terlalu tinggi. Tapi, "Kami berusaha menjadikannya realistis, meski berat," ujar Ivanna lebih jauh. Tim pelatih berusaha menggenjot para pemain putri yang terdiri atas Silvi, Maria Kristin, Firdasari, Francisca, Jo Novita/Lita Nurlita, Enny Erlangga/Liliana Natsir, dan Grace Polii/Rani Mundiastuti itu. Yang harus dicatat, semua pemain putri Indonesia belum pernah merasakan kompetisi Piala Uber sebelumnya. Semuanya debutan.
Meski tak "separah" tim Uber, tim Thomas 2004 hampir idem. Dari empat pemain tunggal, tiga di antaranya belum pernah turun di Piala Thomas sebelumnya. Mereka adalah Sony, Simon Santoso, serta Wimpie. Hanya Taufik Hidayat yang pernah, dua kali malah. Di ganda, dua pasangan?Luluk Hadiyanto/Alven Yulianto dan Flandi Limpele/Eng Hian?juga debutan. Kekecualian adalah ganda ketiga, Chandra/Tri.
Meski debutan, Flandi/Eng Hian sudah kenyang pengalaman. Mereka sudah menghuni Pelatnas Cipayung sejak akhir 1990-an, tapi selalu gagal masuk tim karena kalah bersaing dengan para senior. Flandi, 30 tahun, sambil tertawa mengatakan, "Sekarang kami masuk karena sudah enggak ada yang lain." Eng Hian, 27 tahun, urun rembuk, "Daripada takut atmosfer partai beregu, saya bahkan lebih khawatir penonton. Suporter kita bisa berbalik arah bila pemainnya tampil jelek. Suporter Indonesia di Malaysia malah jauh lebih sopan."
Bila sesenior Eng Hian saja masih punya kekhawatiran terhadap soal nonteknis, bagaimana dengan Simon dan Wimpie, yang secara usia berkategori junior? Peringkat dua tunggal ini jauh di bawah Sony (6) dan Taufik (7). "Kuncinya, akan saya biarkan mereka main lepas. Bila saya tekan terlalu keras, bisa-bisa permainan anak-anak muda ini jadi tidak keruan," kata Djoko.
Debutan atau tidak, yang jelas pemain putra menyandang beban sejarah Piala Thomas Indonesia. Dari 22 kali penyelenggaraan?dimulai pada 1948?Indonesia 13 kali menjadi juara. Dan sejak 1992, piala itu tak pernah pindah dari Tanah Air. Tahun ini, tim Merah Putih berada di grup A bersama unggulan utama Cina dan Amerika Serikat. Bila berhasil mempertahankan trofi itu, Indonesia memegang rekor enam kali juara berturut-turut.
Bila daftar peringkat IBF yang baru menempatkan Taufik di atas Sony, kondisi psikologis tim Indonesia mungkin sedikit lebih baik. Bila tidak, Sony harus siap-siap memikul tanggung jawab itu: Debutan yang langsung menjadi tunggal pertama. "Ya, nekat aja, Mas," ujarnya. Semoga selalu low profile, gaya hidup tanpa beban, tapi mampu menyodok.
Andy Marhaendra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo