Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah pesan pendek pernah mampir ke telepon genggam Nurul Komar. Isinya? "Orang waras saja sulit jadi caleg, apalagi pelawak," demikian bunyi olok-olok sang pengirim pesan karena keputusan Komar maju sebagai calon anggota legislatif.
Sejawatnya di kelompok lawak Empat Sekawan, yakni Ginandjar, Eman, dan Deri, pun mempertanyakan keseriusannya terjun ke dunia politik. Komar mengaku sempat merasa gamang. Maklum, partai yang menaunginya tak banyak dikenal publik karena masih baru: Partai Demokrat. Sedangkan pesaingnya untuk menjadi calon anggota legislatif dari daerah pemilihan Jawa Barat VII (Indramayu dan Cirebon) adalah tokoh beken seperti mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi A.S. Hikam dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Enggartiasto Lukito dari Partai Golkar.
Tapi, sekali keputusan telah dibuat, Komar pantang mundur. Apalagi dia kadung gandrung pada sosok Susilo Bambang Yudhoyono, yang ketika itu sudah digadang-gadang sebagai bakal calon presiden dari Partai Demokrat. Jika dia merasa cukup berhasil sebagai pelawak, kemudian menjadi dai dan pembawa acara, Komar pun optimistis bisa melaju menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang baik. "Saya mengucapkan bismillah saja untuk menjadi penari sesuai dengan irama gendang yang ada," katanya.
Pesan pendek kembali mengalir ke teleponnya. Kali ini, mereka yang pernah mencemoohnya berbalik menyampaikan selamat. Dari hasil penghitungan suara sementara hingga Jumat pekan lalu oleh Komisi Pemilihan Umum, Komar bersama 56 kader Demokrat lainnya berhasil melenggang ke Senayan.
Jumlah yang sama diperkirakan bakal diraih Partai Persatuan Pembangunan. Sedangkan perolehan kursi Partai Amanat Nasional (PAN), meski perolehan suaranya merosot, malah naik dari 34 orang pada Pemilu 1999 menjadi 49 orang. Berikutnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) diperkirakan bakal menempatkan 48 kadernya.
Partai Golkar, yang mendapat dukungan cukup merata di hampir semua provinsi di Indonesia, diperkirakan meraih sekitar 134 kursi. Jumlah itu lebih besar dibandingkan dengan Pemilu 1999?saat itu Golkar hanya meraih 118 kursi. Peringkat kedua diduduki PDI Perjuangan, yang memperoleh 107 kursi, atau turun dari 151 kursi pada Pemilu 1999. Sedangkan perolehan PKB bertambah 3 menjadi 54 kursi dibandingkan dengan Pemilu 1999.
Menilik nama-nama yang terpilih, hampir 70 persen dari 550 anggota DPR periode 2004-2009 adalah muka baru. Dari kalangan seniman dan aktor-aktris, Partai Demokrat juga berhasil mengirimkan Chandra Pratomo Samiadji Massaid (Adjie Massaid) dan Angelina Sondakh. Ada juga wajah-wajah yang lazimnya kita saksikan melalui layar televisi, seperti Marissa Haque dan Dedi Sutomo dari PDIP serta Yusuf Macan Effendi alias Dede Yusuf dari PAN.
Untuk mantan aktivis, ada nama yang pernah melejit pada tahun keruntuhan Soeharto, yakni Rama Pratama dan Fahri Hamzah dari PKS. Ekonom yang selama ini dikenal cukup kritis, seperti Didiek J. Rachbini dan Dradjat Hari Wibowo dari PAN, serta aktivis perempuan yang juga berprofesi sebagai pengacara, Nursyahbani Katjasungkana dari PKB, dan praktisi hukum T. Gayus Lumbuun bakal ikut mewarnai sepak terjang wakil rakyat di DPR pusat.
Menurut kajian Pusat Reformasi Pemilu (Cetro), wajah lama yang tetap bercokol mencapai 150 orang. Wajah lama yang terbanyak datang dari Partai Golkar dan PDIP, masing-masing 65 dan 37 orang. Partai Golkar memberanikan diri meloloskan sejumlah politisi veteran yang di antaranya justru pernah menjadi anggota kabinet dari era Soeharto hingga masa Presiden Abdurrahman Wahid, seperti Abdul Gafur, Theo L. Sambuaga, Bomer Pasaribu, dan Marzuki Darusman.
Jumlah wajah baru yang cukup dominan, di satu sisi, tentu membangkitkan secercah harapan bagi perbaikan citra DPR ke depan, apalagi masyarakat sudah sukar percaya dengan kasus suap dan korupsi di kalangan DPR. Karena itu, wajah-wajah baru ini akan menanggung beban besar untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat bahwa mereka bercokol di sana bukan untuk sekadar mencari duit, melainkan seperti yang disarankan namanya: mewakili kepentingan rakyat.
Selain nama-nama selebriti dan tokoh baru itu, ada banyak sekali nama baru yang sama sekali tak dikenal publik dan kinerjanya tak diketahui. Tak aneh jika masih ada keraguan dengan format baru DPR tahun ini.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat, R.M.H. Heroe Syswantoro Ns. Soerio Soebagio, yang lebih dikenal dengan nama Sys Ns., menyadari hal itu. Sebagai partai baru, partainya memang kurang selektif saat merekrut calon anggota legislatif, sehingga sulit menjamin para anggota yang terpilih itu bakal memenuhi harapan masyarakat.
Untuk menghindari hal yang kurang patut, kini para pengurus teras partai itu tengah merumuskan aturan dan mekanisme Dewan Kehormatan/Etika yang bertugas mengawasi kinerja mereka di parlemen. Kewenangan dewan yang berisi tujuh sampai sembilan orang dari unsur pimpinan itu bisa memberikan sanksi hingga mengganti anggota DPR atau DPRD yang dinilai keluar dari garis kebijakan partai dan mengecewakan harapan rakyat.
Jika ada calon anggota legislatif terpilih yang sebelumnya diisukan punya tabiat kurang baik dan tak mengubah sikapnya saat duduk di parlemen, dia tak akan dibiarkan berlama-lama duduk di kursi parlemen. "Kalau soal kualitas otak, itu bisa diatasi dengan learning by doing. Tapi soal moral harus kami jaga betul," tutur Sys.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal PAN Yasin Kara, yang terpilih menjadi anggota DPR dari daerah Kalimantan Timur, dan Wakil Sekretaris Jenderal PKS Fahri Hamzah mengungkapkan, begitu Komisi Pemilihan Umum resmi menetapkan nama-nama calon anggota legislatif terpilih, partai akan segera memberikan bekal kepada mereka. Itu tak cuma menyangkut isu-isu dari setiap daerah pemilihan yang harus diperjuangkan, tapi juga soal tata cara mengikuti rapat hingga proses pembahasan sebuah undang-undang. "Silabusnya telah kami siapkan," kata Fahri.
Sedangkan Ketua Umum Partai Damai Sejahtera, Ruyandi Hutasoit, punya kiat tersendiri. Untuk mencegah jangan sampai kader-kadernya ikut larut dalam bobroknya DPR, dia berjanji akan menggelar pertemuan rutin setiap pekan dengan mereka. "Untuk audit atau mengevaluasi kinerja mereka," katanya.
Sudrajat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo