Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Akibat Jurus Zig-Zag Gus Dur

3 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hampir semua calon presiden masih harus repot kian kemari mencari pasangan masing-masing. Waktu sudah mendesak, masa pendaftaran pasangan segera akan dibuka, tapi tampaknya belum ada calon wakil presiden idaman yang bisa diikat sebagai pasangan. Tidak ada partai politik yang dengan penuh percaya diri memasuki pemilihan umum presiden sendirian, tanpa bergabung dengan kekuatan lain.

Maka, dicarilah sekutu untuk berkoalisi. Namun koalisi lebih ditujukan pada peningkatan kemungkinan pengumpulan suara paling banyak, bukan agar pemerintahan yang dihasilkan bisa berjalan efektif nantinya. Pokoknya, menangi dulu pemilu presiden, itu yang penting sekarang. Soal program pemerintahan dan apakah kabinet yang dibentuk bisa mendapat cukup dukungan di parlemen akan diurus belakangan.

Sampai saat ini boleh dikatakan tinggal beberapa nama yang tetap akan maju sebagai calon presiden: Megawati, Wiranto, Amien Rais, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Gus Dur, yang sedianya dicalonkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sudah membatalkan niatnya karena terhalang persyaratan kesehatan. Hamzah Haz masih membuka kemungkinan untuk dicalonkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), bila akhirnya tidak diminta lagi oleh Megawati sebagai calon wakil presiden. Contoh sebaliknya ialah Siswono Yudohusodo, yang sekarang bersedia jadi calon wakil presiden?mungkin bagi Amien Rais?setelah ternyata sukar baginya melanjutkan rencana menjadi calon presiden.

Dari semuanya, baru SBY yang sudah menetapkan pasangannya, yaitu Jusuf Kalla, yang berasal dari Partai Golkar. Seharusnya, kalau memang berniat membuat pasangan presiden dan wakil presiden yang serasi dan diperkirakan bisa memimpin pemerintahan dengan baik, pemilihan calon pendamping sudah dilakukan jauh hari sebelumnya. Ibarat mencari jodoh dalam perkawinan, pilihan harus diperoleh melalui persiapan yang cukup dan pertimbangan yang cermat. Kalau tergesa-gesa dan mendadak seperti sekarang, itu sama seperti mencari teman kencan jangka pendek saja. Tidak sempat lagi memeriksa bakat, asal-muasal, dan mutu, atau bibit, bebet, bobot yang akan dipinang. Apa yang ada, itu saja diserobot.

Calon wakil presiden yang dianggap bisa menambah dukungan suara tidak banyak. Kalau syaratnya punya basis pemilih yang cukup besar, maka tokoh dari kalangan itu biasanya akan mencalonkan diri jadi presiden, bukan untuk jadi nomor dua. Sedangkan yang perolehan suara partainya menurun sampai hanya kurang dari 7 persen dalam pemilu legislatif saja, seperti Amien Rais, masih tetap bertekad maju menjadi calon presiden. Karena itu, Megawati, calon presiden PDI Perjuangan, dan Wiranto dari Partai Golkar mengarahkan sasaran pencarian calon wakil presiden ke organisasi yang basis pengikutnya luas tapi tidak punya calon presiden sendiri, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) atau lebih tepat lagi Nahdlatul Ulama (NU).

Perebutan mendapatkan Kiai Hasyim Muzadi, Ketua Pengurus Besar NU, berlangsung seru antara Megawati dan Wiranto. Langkah-langkah pendekatan yang dijalankan masing-masing?baik yang diberitakan maupun yang dilakukan dengan tidak terlalu terbuka?tergolong cukup unik kalau bukan berbelit-belit. Hasyim Muzadi jadi seperti barang langka yang diperebutkan, sehingga membuat harganya makin tinggi. Proses perebutan jadi lebih rumit lagi karena ada faktor Gus Dur, yang ternyata tak bisa diabaikan bila menyangkut segala sesuatu mengenai NU dan massa pendukungnya. Boleh saja Hasyim Muzadi menyatakan bahwa restu Gus Dur tidak diperlukan, sepanjang izin Rais Aam NU, K.H. Sahal Mahfudz, bisa diperoleh.

Namun, baik Wiranto dan Partai Golkar maupun Megawati dan PDI Perjuangan insaf bahwa penolakan Gus Dur pasti bisa membuat dukungan massa NU terpecah. Akibatnya, manfaat Hasyim Muzadi sebagai calon wakil presiden jadi tidak ada lagi karena suara pemilih yang diharapkan dari NU bisa berkurang lebih dari separuh, kalau tidak seluruhnya. Sampai sekarang, Gus Dur masih berkeras menolak Hasyim Muzadi. Masih adakah gunanya bagi Megawati dan Wiranto melanjutkan jerih payah mereka kalau begitu?

Upaya mencari calon wakil presiden sudah sampai taraf yang hampir tak masuk akal. Cara yang digunakan, kompromi yang dibuat, dengan menyisihkan harga diri dan rasa malu, menangguhkan prinsip dan pendirian semula, menunjukkan adanya semacam kekalapan di antara para tokoh yang sedang berusaha menjadi pemimpin negara ini. Kita sukar menduga apa yang akan terjadi, walau hanya untuk waktu dua minggu ke depan ini.

Apakah Megawati berhasil mendapat Hasyim Muzadi, atau harus menerima kembali Hamzah Haz; apakah Wiranto yang beruntung mendapat dukungan NU, atau terpaksa mencari calon wakil presiden dari Partai Golkar sendiri; apakah Siswono Yudohusodo bersedia jadi pendamping Amien Rais, dan apakah Gus Dur rela lebih memikirkan kepentingan PKB daripada dirinya sendiri. Semua belum pasti. Yang terang, untuk saat ini tampaknya bukan kepentingan rakyat yang lebih diutamakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus