Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harapan munculnya seorang penegak hukum yang tegas seakan terkubur bersama jasad Muhammad Yamin di Pemakaman Umum Karet, Jakarta Pusat, Jumat siang pekan lalu. Jaksa yang dikenal gigih membongkar kasus korupsi ini tutup usia pada umur 60 tahun. Ia meninggalkan seorang istri, Andi Suwarni, dan lima orang anak.
Kepergian Muhammad Yamin begitu cepat. Ia baru selesai mengikuti seminar selama dua hari tentang pola pikir, yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara di Denpasar, Bali. Saat berkemas pulang ke Jakarta, tiba-tiba batuk menyerang. Alumni Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, ini segera dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah di Sanglah, Denpasar. Dugaan sementara, ia mengalami serangan jantung. Kepala Pusdiklat Kejaksaan Agung ini akhirnya meninggal pada Kamis pukul 21.05 WITA. Jenazah calon hakim ad hoc korupsi ini dijemput keluarga dan Kejaksaan Agung pada Jumat pagi dan tiba di Jakarta pukul 08.00 WIB.
Selama meniti karier di dunia peradilan, M. Yamin dikenal sebagai jaksa yang bersih, jujur, dan tak kenal kompromi, terutama saat menangani kasus korupsi. Penerima anugerah Bung Hatta Anti-Corruption Award 2003 ini dinilai para juri berhasil mengungkap kasus korupsi Eddy Tansil dan kasus Texmaco, yang melibatkan Marimutu Sinivasan.
"Ia menjadi momok bagi pejabat dan pengusaha yang korup," kata Teten Masduki, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW). Sebagian masyarakat menduga, sikap kerasnya terhadap koruptor itulah yang menjadi salah satu sebab namanya terpental dari pemilihan anggota Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) tahun lalu.
M. Yamin pula yang ikut membongkar kasus korupsi di Koperasi Distribusi Indonesia (KDI) yang melibatkan Nurdin Halid. Ketua Umum KDI ini dibelit kasus penyediaan dan pendistribusian minyak goreng yang diduga merugikan negara Rp 169 miliar tahun lalu. Sebagai ketua tim yang menangani kasus Nurdin, Kepala Kejaksaan Negeri Kota Baru periode 1998-1999 ini sudah memaparkan temuannya tahun lalu. Kesimpulannya, kasus ini layak dilimpahkan sampai ke penuntutan. Sayang, kasus masih belum jelas nasibnya sampai Yamin pergi menghadap sang Khalik. "Dia juga menolak kasus ini di-SP3-kan," kata Teten, yang bertemu terakhir kali di kantor ICW dua pekan lalu.
Sebagai anggota dewan juri Bung Hatta Anti-Corruption Award 2004, M. Yamin mengikuti rapat bersama Teten di kantor ICW. Hasil rapat akan diumumkan kepada wartawan pada 22 April 2004. "Dia sempat salat magrib di ruang kerja saya," ujar Teten.
Lelaki kelahiran Palopo, Sulawesi Selatan, 14 Desember 1944 ini dikenal tegas dan tak pandang bulu. Sikapnya mengingatkan orang pada almarhum Baharuddin Lopa. "Mungkin lebih keras dari Pak Lopa," kata Teten. Perkenalannya dengan dunia hukum dan peradilan dimulai sejak memasuki Sekolah Hakim dan Jaksa Negara di Makassar. Tak puas sampai di situ, Yamin melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. Lelaki yang pertama kali diangkat menjadi jaksa pada 1966 ini kaya pengalaman. Pelatihan di berbagai negara seperti Hong Kong, Australia, Amerika, sampai Malaysia pernah dikecapnya.
Gaya hidup Yamin mengingatkan orang pada almarhum Lopa: sederhana dan bersahaja. Rumahnya di Kompleks Kejaksaan Agung, Pejompongan, Jakarta Pusat, tak berbeda dengan rumah dinas yang lain. Hanya pintu gerbang dan gapura bambu khas rumah Bugis yang membedakan rumah itu dengan rumah lainnya. Rumah itu tampak tua karena belum tersentuh renovasi.
Yamin mengaku hanya punya satu mobil pribadi Toyota Kijang tahun 1985, yang dibelinya pada 1997. Untuk kendaraan sehari-hari, ia menggunakan mobil dinas. Tidak tampak satu pun barang mewah di rumah dinasnya yang kecil. Di ruang tamunya hanya ada seperangkat kursi-meja, hiasan dinding bergambarkan kaligrafi, dan tentu saja buku-buku.
Seorang jaksa yang bersahaja dan gigih telah meninggal, dunia peradilan Indonesia berduka?.
Arif Firmansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo