KEJUARAAN renang kelompok umur (KU) antarklub se Indonesia di
ujung 1982 berlimpah peserta. Tak kurang dari 800 perenang
dibawa oleh 58 klub terjun ke kolam Taman Ria Tugu Semarang,
27-29 Desember lalu. Tapi dari sekian banyak peserta kejuaraan V
ini, tak seorang pun menghasilkan rekor nasional baru --bahkan
rekor kelompok umur pun sangat tipis.
Arena pertandingan tampaknya memang kurang memadai, bahkan
ketinggalan zaman. Panitia atau pemilik kolam agaknya lupa pada
hukum Archimedes, sehingga tembok-tembok kolam dengan leluasa
mengembalikan tekanan air yang terdorong para perenang. Tidak
ada pelampung pengontrol gelombang di tepi kolam. Lintasan yang
ada pun hanya 6 -- mestinya 8. Keadaan itu cukup mengecewakan
dan sekaligus menghambat prestasi para peserta.
Rekor-rekor baru sebenarnya diharapkan dari para perenang
nasional yang ikut Asian Games India. Tapi ternyata di kolam
renang di Semarang tak seorang pun yang membuat kejutan. Cuma 5
rekor KU berhasil dicatat resmi panitia.
Dari para perenang putra, cuma di KU III (11-12 tahun) ada
pemecahan rekor 1 menit 06,90 detik untuk 100 m gaya kupu-kupu
-- sebelumnya 1:08,24 atas nama Katarinus Aligita Budiman. Rekor
satu-satunya ini dibuat oleh Katarinus, perenang klub Cucut dari
kolam Grogol (Jakarta) yang pernah memecahkan 9 rekor sekaligus
pada debut internasionalnya di Manila November 1981 dalam KU
Asia Tenggara.
Katarinus, 12 tahun, yang senang nonton film silat, semula
berlatih di klub Kusuma Harapan (KH) yang dikelola oleh ayahnya
sendiri, seorang pengusaha angkutan truk dan mobil antarjemput
anak sekolah. Tapi klub sang ayah ia tinggalkan. "Pelatih
berpendidikan yang mengenal kejiwaan atlet merupakan unsur
penting bagi pembinaan," kata ayah Katarinus sebagai alasan
Katarinus hijrah ke klub Cucut.
Dari klub Cucut ini, perenang nasional putri, Pauline Wiwie,
juga menciptakan rekor baru 2:34,85 detik pada nomor 200 m gaya
punggung di KU II (1314 tahun) -- sebelumnya 2: 35,20 atas
namanya sendiri. Prestasinya di Semarang yang menghasilkan
medali emas sekaligus mencatatkan namanya sebagai pemecah rekor,
sebenarnya lebih jelek 02,02 detik dari catatan waktunya di
Asian Games IX. Di India Pauline Wiwie bertanding di final 200 m
gaya punggung putri dengan waktu 2:32,83 detik -- dan tak
membuahkan medali apa pun karena berada di urutan ke-6.
Seperti Wiwie, Elfira Rosa Nasution juga mencatat rekor KU dan
meraih medali emas di Semarang walaupun prestasinya di bawah
penampilannya di New Delhi. Anak Raja Nasution, pelatih renang
asal Medan yang kini menetap di Jambi ini, gugur pada babak
penyisihan AG dengan waktu 4:44,11 detik. Di Semarang dengan
waktu 4: 50,3 detik ia meraih medali emas dan mencatat rekor
baru atas namanya sendiri untuk 400 m gaya bebas putri KU III.
Selain itu ia juga mencatat rekor baru 2:39,70 detik di nomor
200 m gaya punggung -- sebelumnya 2:42,60 atas nama Pauline
Wiwie.
Saingan Elfira di KU III ini, Raini Maria Awuy dari klub Baruna
Jakarta, juga memperbaiki rekor 100 m gaya dada dengan waktu
2:53,77 detik rekor lama 2:55,79 atas nama Musafarah
Julriansyah, Jakarta. Raini sejak kecil memang berbakat di gaya
dada. Rekornya di KU IV gaya dada belum terpecahkan sejak
kejurnas 1980.
Satu-satunya bintang baru yang mencuat dari kolam yang keruh
karena tak pernah dibersihkan selama kejuaraan di Semarang ini,
adalah Irina S. Karyono dari klub Tirta Taruna Jakarta. Irina
yang biasa berlatih 12 kali seminggu (berenang 7.000-10.000
meter setiap latihan) datang ke Semarang dengan ambisi bukan
cuma menyumbangkan angka tinggi dan medali emas untuk klubnya,
tapi terutama mencatatkan dirinya sebagai pemecah rekor
nasional. Peluangnya untuk itu dalam KU IV (bawah 10 tahun)
hanya terbuka di kejuaraan ini, karena sejak 15 Januari 1983
usianya genap 11 tahun dan harus masuk KU III.
Sewaktu ikut 100 m gaya bebas, Irina berhasil menempatkan
dirinya paling depan, berarti medali emas dan angka 10 bai
klubnya. Tapi begitu melihat catatan waktunya masih di bawah
rekor Elfira Rosa Nasution tahun 1980, ia segera menabrak
ayahnya sambil menangis kecewa. Karyono, ayahnya, ikut terharu
dan sambil memeluk putrinya, berbisik memberi semangat: "masih
ada kesempatan besok di nomor 50 m gaya kupu."
Bisikan ayahnya ternyata benar-benar memompa semangat perjuangan
Irina di hari terakhir. Bagaikan kupu-kupu yang lincah dan
gesit, Irina mengayun-ayunkan tubuhnya meluncur di permukaan
kolam. Jarak 50 m ditempuhnya dengan waktu 34,64 detik atau 0,16
detik lebih tajam dari rekor Ira Rono Sulistyo yang tercipta di
Kualalumpur tahun 1979.
Hasil perjuangan Irina yang menghasilkan 2 medali emas ini
antara lain menyebabkan klubnya, Tirta Taruna, keluar lagi
sebagai juara umum. Klub pimpinan Willem T. Item ini
mengumpulkan nilai tertinggi 568 dari segala nomor kejuaraan.
Gerald dan Johny Item, dua andalan Tirta Taruna tak diturunkan
lagi setelah klub ini yakin tak terkejar lagi oleh klub lain
pada hari terakhir. "Untuk memberi kesempatan bagi perenang
muda," kata Gerald Item. Menurut Gerald yang tak lama lagi
hendak melanjutkan studi di AS, "kelemahan kita di
kejuaraan-kejuaraan internasional, Indonesia selalu muncul
dengan muka-muka yang sama. Lihat RRC dan Jepang, senantiasa
muncul dengan muka baru."
Kejuaraan renang kelompok umur yang bertujuan pemassalan dan
pembinaan perenang sejak usia muda, tampaknya mulai mencapai
sasaran dengan jumlah peserta yang cukup banyak bertanding di
Semarang. Tapi miskinnya pemecah-pemecah rekor baru, sulit untuk
membayangkan bahwa PRSI (Persatuan Renang Seluruh Indonesia)
dalam waktu dekat akan mempunyai perenang-perenang yang siap
menggantikan Lukman Niode, Item bersaudara dan sebagainya.
Ambisi klub-klub untuk menjadi juara umum juga masih
mengandalkan perenang nasional yang ada, antara lain dengan
memaksakan perenang-perenang yang baru pulang dari AG.
Munculnya bibit baru dari tingkat Sekolah Dasar juga tidak
menjamin ia akan menjadi perenang nasional. Karyono menunjuk
abang Irina, yakni Harjo. "Sejak masuk sekolah lanjutan,
kesempatan Harjo untuk berlatih terhambat oleh program
ekstrakurikuler yang padat dan wajib diikuti di sekolah,", kata
Karyono yang juga menjadi pembina klub Tirta Taruna. Lagi pula
kemampuan seorang atlet pada suatu cabang olah raga belum tentu
mendapat perhatian istimewa dari guru olah raga sekolah yang
mungin senang pada cabang olah raga yang lain.
Hambatan juga dialami klub-klub sendiri. Sebab tak semua klub
mempunyai atau mendapatkan fasilitas sebaik klub-klub Tirta
Taruna dan Cucut di Jakarta, PRIM di Medan atau Hiu di Surabaya.
Kebanyakannya dari klub-klub yang datang berlaga di Semarang
mengeluh kurang mendapat perhatian atau bantuan dari pemilik
kolam renang yang biasanya pemerintah daerah kotamadya.
Tirta Sakti Semesta, klub tuan rumah kejuaraan antarklub di
Semarang adalah satu contoh. "Pernah kami menghimbau walikota
dan pimpinan KONI Ja-Teng untuk mendapatkan prioritas latihan di
kolam tidak bersama-sama perenang umum. Tapi tak pernah
mendapatkan tanggapan," ucap Darmawan, ketua panitia kejuaraan
ini dan pimpinan klub Tirta Sakti Semesta. Klub TSS ini hanya
boleh mempergunakan kolam tak lebih dari 1 jam 45 menit bersama
umum setiap hari, dengan membayar sewa Rp 161.000 per bulan.
Kesulitan Tirta Sakti Semesta ini sempat dirasakan juga oleh
para peserta kejuaraan antarklub di Semarang ini. Antara lain:
panitia telah membayar Rp 20 juta untuk perbaikan sarana,
ditambah pihak pengelola kolam mendapat hak penjualan karcis dan
iklan di sekitar kolam, dengan perjanjian agar dipasangi lampu
dan telepon serta penjernihan air -- nyatanya tak dipenuhi
panitia.
Di tengah segala kesulitan yang "menjadi bahan pelajaran,"
menurut Darmawan, klub tuan rumah berhasil mengangkat nama TSS
untuk menduduki ranking 5 Besar. Sementara ini pembina renang
dari Bali juga "ingin belajar" dari pengalaman ini. Sebab akhir
1983 Denpasar akan menjadi tuan rumah kejuaraan berikut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini