KURS dollar AS di pelbagai tempat penukaran uang di Jakarta
akhirnya tak mampu menembus "batas" Rp 700, seperti diduga
banyak orang. Ratusan orang yang kelihatan antre di berbagai
loket tempat penukaran uang beberapa hari sebelum tutup tahun
1982 -- mungkin sebagian besar terdiri dari mereka yang ingin
berlibur ke Singapura dan Hongkong -- rupanya tak membuat sang
rupiah kendur. Dan sehari sebelum Bank Indonesia menutup
kegiatan kliring, dan Bursa Valuta Asing (BVA) pada 31 Desember,
di tempat penukaran uang PT Ayumas Gunung Agung, Kwitang,
Jakarta, orang masih bisa membeli satu US dollar dengan Rp 697,
masih 3 point di bawah batas Rp 700. Sedang kurs tengah di BI
belum beranjak dari Rp 692,50 untuk satu US dollar.
Situasi itu ternyata tak berubah ketika BI membuka kembali
kegiatan kliring dan BVA pada 3 Januari pekan ini. Dari ruang
dealing BI, yang biasa memonitor kegiatan pasar uang di
pelbagai tempat, hari itu keluar pemberitahuan kepada bank-bank
devisa bahwa kurs tengah belum berubah. "Orang-orang BI itu
memang hebat," kata seorang bankir swasta. Tadinya si bankir
rupanya yakin benar kurs akan mencapai Rp 700, kalau tidak
lebih.
Melihat kurs rupiah umumnya turun 0,5 sampai 1 point terhadap US
dollar setiap hari, perkiraan seperti itu memang beredar di
kalangan bankir. Maka ada yang bilang, mata uang rupiah itu
masih besar subsidinya, sehingga masih overvalued. Pendapat
seperti itu pernah dikemukakan Dirut Bank Central Asia. Itu
terjadi pada Oktober lalu, ketika kurs setiap dollar adalah Rp
685, sedang terhadap mata uang Yen sudah mencapai 275 untuk satu
US dollar.
Memang bila diamati perkembangan selama empat tahun ini, sejak
devaluasi Kenop 15, gerak turunnya rupiah terhadap dollar lebih
lambat dibandingkan sejumlah mata uang lain. Selama empat tahun
itu, rupiah hanya turun beberapa puluh point melawan dollar,
dari Rp 634 (1978) menjadi Rp 685 (Oktober 1982). Sedangkan Yen
dalam periode yang sama telah turun 100 point lebih: dari Yen
170 ke 275 untuk setiap dollar AS.
Pendapat sementara bankir yang percaya bahwa BI masih melakukan
intervensi di pasar uang, memang diakui oleh seorang bankir
pemerintah. "Tapi itu lebih banyak terjadi di tahun-tahun
pertama sesudah 15 November 1978," katanya. "Ketika itu
pemecahannya meman lebih banyak pada yang dikendalikan
daripada pengambangan." Tapi menurut bankir tersebut, mulai
tahun 1981 ke atas, bisa ditafsirkan seolah-olah yang
diambangkan itu lebih banyak daripada yang dikendalikan.
Tapi yang agaknya juga menolong lambatnya gerakan turunnya kurs
rupiah terhadap dollar adalah sejumlah mata uang kuat dari
beberapa negara kaya. Seperti diketahui nilai rupiah sejak Kenop
15 tak lagi hanya dikaitkan dengan US dollar, tapi dengan
sejumlah mata uang negara-negara maju -- sekalipun sebagian
besar masih berkiblat pada US dollar. Maka mengingat gerakan
turunnya kurs sejumlah mata uang lain terhadap dollar itu
terjadi lebih cepat dibandingkan rupiah dengan dollar, bisa
ditafsirkan pula bahwa rupiah mengalami revaluasi terhadap
sejumlah mata uang yang lain itu.
Apakah rupiah akan tetap bertahan di bawah batas 700 terhadap
dollar, hal itu masih perlu ditunggu. Tapi mulai turunnya nilai
US dollar terhadap sejumlah mata uang yang lain di Eropa Barat,
sungguh menguntungkan bagi rupiah. Sebab, makin lemah si dollar,
semakin kuat pula posisi rupiah di pasaran.
Kalau hal itu benar terjadi, banyak pengusaha yang punya
hubungan dengan luar negeri tentu akan merasa lebih aman. Sebab
turunnya kurs rupiah terhadap dollar selama ini, sedikit banyak
membuat para pengusaha itu mencari akal untuk menutup kerugian
akibat perbedaan kurs. PT Tifico, misalnya, penghasil polyester
staple fiber dan polyester filament yarn, merasa telah
mengeluarkan rupiah lebih banyak (10% dari yang dianggarkan
oleh perusahaan itu untuk tahun fiskal 1982/1983.
Maka dalam upaya mencegah kerugian akibat perbedaan kurs tadi,
berbagai bank devisa swasta banyak memanfaatkan fasilitas yang
disebut Swap: suatu transaksi pembelian dollar dengan keringanan
kurs untuk masa satu bulan kemudian. Fasilitas Swap yang
mendapat sambutan itu ternyata mengakibatkan asuransi untuk
Swap pun naik dari 3% pada Januari 1982 menjadi 7-9%. pada
Oktober 1982.
Perorangan pun ternyata banyak juga yang berusaha mengurangi
kerugian karena perbedaan kurs di kemudian hari itu dengan
membeli dollar secara besar-besaran. Sudah bukan rahasia lagi
jika banyak penduduk Indonesia sesaat sesudah devaluasi 1978
lebih suka menyetorkan dollarnya ke pasar Asian Currency Unit
(ACU) di Singapura. Pasar uang ACU memang menarik karena suku
bunga antarbank di Singapura (Sibor) empat tahun lalu jauh lebih
tinggi ketimbang suku bunga deposito bank di Jakarta.
Karena perbedaan tingkat suku bunga yang besar itulah, sejumlah
orang mengkhawatirkan terjadinya pelarian modal secara
besar-besaran. Tapi dua tahun terakhir ini, tingkat suku bunga
deposito bank di Jakarta tak berbeda jauh dengan Sibor. Untuk
deposito (minimum) US$5.000, Panin Bank tahun ini, misalnya,
berani memberi bunga 9,5% per tahun. Sementara itu pasar ACU
menawarkan bunga 9,625% untuk periode yang sama.
Perbedaan yang tak besar itu, tentu saja, menyebabkan pemilik
dollar agak segan memasuki pasar ACU. Karena itulah agaknya maka
deposito dollar di berbagai bank yang dipegang penduduk sejak
dua tahun lalu cenderung meningkat (lihat grafik).
Sampai sekarang pemerintah memang sengaja masih membuka
kesempatan untuk Swap itu, antara lain untuk mencegah pelarian
modal ke luar negeri. Usaha serupa yang sudah dijalankan
pemerintah adalah dengan menaikkan biaya surat fiskal menjadi Rp
150.000, naik sampai enam kali, bagi seorang yang ingin ke luar
negeri, hampir-hampir tanpa pandang bulu. Nampaknya siasat yang
dikeluarkan oleh Menkeu Ali Wardhana itu ada juga hasilnya:
Singapura dan Hongkong tak lagi kebanjiran turis dari Indonesia
selama liburan Natal dan Tahun Baru yang baru lewat. Sebaliknya
adalah hotel-hotel di Bali yang kewalahan menerima tamu-tamu
turis domestik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini