Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Batas 700 belum ditembus

Gerakan menurunnya kurs rupiah terhadap dolar ternyata lebih lambat dibanding dengan sejumlah mata uang lain dan pada akhir th ini turunnya kurs rupiah terhadap dolar tak sedrastis seperti ramalan kalangan bankir.(eb)

8 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KURS dollar AS di pelbagai tempat penukaran uang di Jakarta akhirnya tak mampu menembus "batas" Rp 700, seperti diduga banyak orang. Ratusan orang yang kelihatan antre di berbagai loket tempat penukaran uang beberapa hari sebelum tutup tahun 1982 -- mungkin sebagian besar terdiri dari mereka yang ingin berlibur ke Singapura dan Hongkong -- rupanya tak membuat sang rupiah kendur. Dan sehari sebelum Bank Indonesia menutup kegiatan kliring, dan Bursa Valuta Asing (BVA) pada 31 Desember, di tempat penukaran uang PT Ayumas Gunung Agung, Kwitang, Jakarta, orang masih bisa membeli satu US dollar dengan Rp 697, masih 3 point di bawah batas Rp 700. Sedang kurs tengah di BI belum beranjak dari Rp 692,50 untuk satu US dollar. Situasi itu ternyata tak berubah ketika BI membuka kembali kegiatan kliring dan BVA pada 3 Januari pekan ini. Dari ruang dealing BI, yang biasa memonitor kegiatan pasar uang di pelbagai tempat, hari itu keluar pemberitahuan kepada bank-bank devisa bahwa kurs tengah belum berubah. "Orang-orang BI itu memang hebat," kata seorang bankir swasta. Tadinya si bankir rupanya yakin benar kurs akan mencapai Rp 700, kalau tidak lebih. Melihat kurs rupiah umumnya turun 0,5 sampai 1 point terhadap US dollar setiap hari, perkiraan seperti itu memang beredar di kalangan bankir. Maka ada yang bilang, mata uang rupiah itu masih besar subsidinya, sehingga masih overvalued. Pendapat seperti itu pernah dikemukakan Dirut Bank Central Asia. Itu terjadi pada Oktober lalu, ketika kurs setiap dollar adalah Rp 685, sedang terhadap mata uang Yen sudah mencapai 275 untuk satu US dollar. Memang bila diamati perkembangan selama empat tahun ini, sejak devaluasi Kenop 15, gerak turunnya rupiah terhadap dollar lebih lambat dibandingkan sejumlah mata uang lain. Selama empat tahun itu, rupiah hanya turun beberapa puluh point melawan dollar, dari Rp 634 (1978) menjadi Rp 685 (Oktober 1982). Sedangkan Yen dalam periode yang sama telah turun 100 point lebih: dari Yen 170 ke 275 untuk setiap dollar AS. Pendapat sementara bankir yang percaya bahwa BI masih melakukan intervensi di pasar uang, memang diakui oleh seorang bankir pemerintah. "Tapi itu lebih banyak terjadi di tahun-tahun pertama sesudah 15 November 1978," katanya. "Ketika itu pemecahannya meman lebih banyak pada yang dikendalikan daripada pengambangan." Tapi menurut bankir tersebut, mulai tahun 1981 ke atas, bisa ditafsirkan seolah-olah yang diambangkan itu lebih banyak daripada yang dikendalikan. Tapi yang agaknya juga menolong lambatnya gerakan turunnya kurs rupiah terhadap dollar adalah sejumlah mata uang kuat dari beberapa negara kaya. Seperti diketahui nilai rupiah sejak Kenop 15 tak lagi hanya dikaitkan dengan US dollar, tapi dengan sejumlah mata uang negara-negara maju -- sekalipun sebagian besar masih berkiblat pada US dollar. Maka mengingat gerakan turunnya kurs sejumlah mata uang lain terhadap dollar itu terjadi lebih cepat dibandingkan rupiah dengan dollar, bisa ditafsirkan pula bahwa rupiah mengalami revaluasi terhadap sejumlah mata uang yang lain itu. Apakah rupiah akan tetap bertahan di bawah batas 700 terhadap dollar, hal itu masih perlu ditunggu. Tapi mulai turunnya nilai US dollar terhadap sejumlah mata uang yang lain di Eropa Barat, sungguh menguntungkan bagi rupiah. Sebab, makin lemah si dollar, semakin kuat pula posisi rupiah di pasaran. Kalau hal itu benar terjadi, banyak pengusaha yang punya hubungan dengan luar negeri tentu akan merasa lebih aman. Sebab turunnya kurs rupiah terhadap dollar selama ini, sedikit banyak membuat para pengusaha itu mencari akal untuk menutup kerugian akibat perbedaan kurs. PT Tifico, misalnya, penghasil polyester staple fiber dan polyester filament yarn, merasa telah mengeluarkan rupiah lebih banyak (10% dari yang dianggarkan oleh perusahaan itu untuk tahun fiskal 1982/1983. Maka dalam upaya mencegah kerugian akibat perbedaan kurs tadi, berbagai bank devisa swasta banyak memanfaatkan fasilitas yang disebut Swap: suatu transaksi pembelian dollar dengan keringanan kurs untuk masa satu bulan kemudian. Fasilitas Swap yang mendapat sambutan itu ternyata mengakibatkan asuransi untuk Swap pun naik dari 3% pada Januari 1982 menjadi 7-9%. pada Oktober 1982. Perorangan pun ternyata banyak juga yang berusaha mengurangi kerugian karena perbedaan kurs di kemudian hari itu dengan membeli dollar secara besar-besaran. Sudah bukan rahasia lagi jika banyak penduduk Indonesia sesaat sesudah devaluasi 1978 lebih suka menyetorkan dollarnya ke pasar Asian Currency Unit (ACU) di Singapura. Pasar uang ACU memang menarik karena suku bunga antarbank di Singapura (Sibor) empat tahun lalu jauh lebih tinggi ketimbang suku bunga deposito bank di Jakarta. Karena perbedaan tingkat suku bunga yang besar itulah, sejumlah orang mengkhawatirkan terjadinya pelarian modal secara besar-besaran. Tapi dua tahun terakhir ini, tingkat suku bunga deposito bank di Jakarta tak berbeda jauh dengan Sibor. Untuk deposito (minimum) US$5.000, Panin Bank tahun ini, misalnya, berani memberi bunga 9,5% per tahun. Sementara itu pasar ACU menawarkan bunga 9,625% untuk periode yang sama. Perbedaan yang tak besar itu, tentu saja, menyebabkan pemilik dollar agak segan memasuki pasar ACU. Karena itulah agaknya maka deposito dollar di berbagai bank yang dipegang penduduk sejak dua tahun lalu cenderung meningkat (lihat grafik). Sampai sekarang pemerintah memang sengaja masih membuka kesempatan untuk Swap itu, antara lain untuk mencegah pelarian modal ke luar negeri. Usaha serupa yang sudah dijalankan pemerintah adalah dengan menaikkan biaya surat fiskal menjadi Rp 150.000, naik sampai enam kali, bagi seorang yang ingin ke luar negeri, hampir-hampir tanpa pandang bulu. Nampaknya siasat yang dikeluarkan oleh Menkeu Ali Wardhana itu ada juga hasilnya: Singapura dan Hongkong tak lagi kebanjiran turis dari Indonesia selama liburan Natal dan Tahun Baru yang baru lewat. Sebaliknya adalah hotel-hotel di Bali yang kewalahan menerima tamu-tamu turis domestik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus