SEKITAR 200-an pengunjung mengisi Teater Arena Pusat Kesenian
TIM (Taman Ismail Marzuki), Jakarta. Malam itu, suasana
menjelang Natal, Arswendo Atmowiloto berceramah. Berjudul
Menjadi penonton televisi yang baik, ceramah itu merupakan
kesempatan lebih jauh bagi Arswendo menggaungkan banyak
kritiknya terhadap siaran TVRI. Dia memang sering menulis
tentang siaran televisi di koran Kompas dan majalah remaja yang
dipimpinnya, HAI.
"Yang paling saya permasalahkan, sistem monopoli siaran,"
tuturnya. Menurut dia, belum pernah terbukti ada saluran tunggal
yang bisa sukses. Di RRC saja 3 saluran, di Uni Soviet 4,
katanya.
Juga Arswendo mempersoalkan posisi penonton atau pemirsa.
"Sesungguhnya tanggung jawab penonton televisi bukan sekedar
menganga dan menerima atau mematikan acara yang tidak disukai,"
ujarnya di TIM itu. "Penonton yang baik juga harus memberikan
saran, kritik, atau paling tidak mempertanyakan seluruh
rangkaian susunan program dan acara." Ia mengkritik TVRI sebagai
media pemerintah masih sering menyiarkan pidato, upacara
pengguntingan pita tanpa editing yang baik. Tentang hal ini ia
pernah melakukan penelitian (TEMPO, Media, 26 Juni).
Pengunjung ceramahnya pun waktu itu ikut menyinggung, misalnya,
acara musik Irama Gurun Sahara yang dirasakan orang kelanjutan
acara Mimbar Agama Islam, sedang penyanyinya berpakaian seperti
penari jaipong. Semua kritik itu seolah tak dihiraukan pihak
TVRl dan atasannya.
Tapi ternyata Drs. Sumadi, Dirjen RTF (Radio Televisi dan Film)
Deppen, mendengar juga segala yang dipergunjingkan orang.
Berbicara dengan wartawan TEMPO D.S. Karma pekan lalu Drs.
Sumadi memberikan reaksinya. Inilah sarinya:
Tentang banyak kritik yang seolah tak digubris. Soalnya, kami
harus pandai-pandai menilainya. Mungkin ada penonton televisi
yang tidak suka pada acara seni budaya daerah (acara Bhinneka
Tunggal Ika, misalnya). Tapi penonton lainnya justru suka. TVRI
punya tugas mengembangkan seni budaya daerah, hasil kreativitas
daerah umumnya.
Semua kritik masyarakat jelas berpengaruh di tubuh TVRI. Ada
Bapersi (Badan Perencanaan Siaran yang selalu berapat tiap
Kamis. Badan ini selain merencanakan siaran, juga memperhatikan,
mencatat dan memperbincangkan setiap kritik dan protes
masyarakat.
Berkat kritik masyarakat, misalnya, acara Derap Pramuka diubah,
tak hanya baris-berbaris atau pembacaan janji Pramuka.
Pendeknya, kami tak akan bersifat ndableg (keras kepala dan tak
peduli) terhadap kritik masyarakat.
Tentang acara yang semberono, asal jadi. Ini biasanya terjadi
bila ada kesulitan dengan pengisi acara. Pada waktu latihan,
misalnya, justru peserta inti tak datang. Auu rekaman baru bisa
dilakukan pada hari acara yang direncanakan harus disiarkan.
Hingga kami tak punya waktu memperbaikinya. Dalam keadaan
seperti itu, acara Irama Gurun Sahara menampilkan penyanyi
berpakaian sepert penari jaipong.
Kami selalu menghimbau para pengisi acara, terutama, para artis,
agar berpakaian wajar-wajar saja. Kami, tentu, tak sengaja bikin
acara jelek -- mana ada yang mau berbuat begitu Kalau masih ada
acara yang dinilai kurang baik --tentang produksi, presentasi
atau editingnya -- saya terus terang saja, waktu ini TVRI sedang
kekurangan tenaga yang benar-benar ahli secara teknis produksi
siaran televisi.
TVRI kini punya 9 stasiun pemancar (termasuk TVRI Pusat,
Jakarta) dan 156 stasiun relay. Semuanya harus dipimpin tenaga
senior. Usaha penyediaan tenaga belum bisa mengejar perkembangan
peralatan teknis.
Untuk memperbaiki mutu produksi diperlukan 2 macam latihan
(rehearsal) bagi pengisi acara. Yakni, dry rehearsal (membaca
naskah, gerak-gerik di studio, dan lain-lain) dan camera
rehearsal (bagaimana angle-nya, dekor sesuai atau tidak, dan
lain-lain) kami sampai kini belum pernah melakukan camera
rehearsal, karena kamera yang ada cuma cukup buat rekaman jadi.
Tentang survei selera publik. Kami sering mengadakan audience
research. Terakhir, bekerja sama dengan Universiras Hasanuddin,
Ujungpandang, 3 tahun lalu, kami mengadakan penelitian.
Sebelumnya, pernah dengan Unpad, UI dan UGM. Satu hal yang
terungkap secara umum pada setiap penelitian itu: pola
masyarakat menonton televisi. Yakni, prioritas pertama, orang
menonton televisi karena acara hiburan, musik, nyanyi, lawak,
pendeknya amusement. Prioritas kedua, pada siaran berita, yang
berarti masyarakat punya perhatian pada kejadian dalam dan luar
negeri. Ketiga, pada penerangan, pendidikan dan acara serupa
itu. Kami menerapkan hasil penelitian itu dalam bentuk
"bagaimana membawakan acara penerangan semenarik seperti acara
hiburan." Misalnya, melalui acara film Si Unyil.
Si Unyil oleh Unicef (badan PBB) dijadikan contoh film
penerangan untuk negara berkembang lainnya. Bekerjasama dengan
PPFN (Pusat Produksi Film Negara, produser Si Unyil), Unicef
akan mencetak buku tentang Si Unyil sebagai bahan pendidikan dan
penerangan. Juga Unicef memberi bantuan US$ 50.000 per tahun
(dalam jangka waktu 2 tahun).
Tentang lembaga penampung pendapat masyarakat. Tidak perlu.
Sudah ada Dewan Siaran Nasional Radio dan Televisi. Para
anggotanya (50 dari pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat)
bertugas menampung saran dan pendapat masyarakat.
Tentang monopoli pengelolaan. Dari statistik yang kami buat,
ternyata hanya 23% saja acara yang bersifat seremonial dan yang
dirasakan menjemukan. Terutama siaran berita pukul 19.00. Tapi
tak benar TVRI didominasi pemerintah. Apalagi ada Dewan Siaran
Nasional (terakhir diperbarui Menpen Ali Moertopo pada 1981).
Kami memang mengalami kesulitan mencegah menteri atau pejabat
yang minta kami meliput kegiatannya atau departemennya -- bukan
kegiatan pembangunan dan manfaatnya.
Mengenai pengelolaan televisi oleh swasta. Harus dilihat
situasinya, memungkinkan atau tidak. Biayanya besar, dari mana
bisa hidup? Tahun 1962 waktu TVRI baru muncul, misalnya, biaya
produksinya US$ 2,5 juta, pada hal siarannya cuma 1 jam per
hari. Belum biaya gedung, tanah dan sebagainya. Yang menghidupi
TVRI kita sekarang kan iuran dan anggaran berdasar APBN, sedang
iklan tak bisa lagi. TV NHK (Nippon Hoso Kiokai) di Jepang
memang bisa hidup tanpa iklan. Tapi pesawat televisi yang
dimiliki masyarakat 27 juta dan kesadaran membayar iuran tinggi
(99,99%). Kita baru memiliki 3 juta pesawat televisi dan
kesadaran membayar iuran rendah. Kami belum melakukan pendekatan
kepada pemerintah tentang kemungkinan TVRI membuka kembali
siaran iklan atau melalui channel khusus. Tapi anggaran yang
kami terima dari pemerintah memang hanya pas-pasan.
Tentang rencana perbaikan menyeluruh. Hasil Rakorpim (rapat
koordinasi pimpinan) di Surabaya baru-baru ini a.l. mencakup
masalah perbaikan siaran. Akan ada pola baru siaran mulai 1
April. Selain itu, untuk mengatasi masalah penyediaan tenaga dan
peningkatan mutu produksi, kami sedang membangun proyek MMTC
(Multi Media Training Centre) di Yogyakarta. Diharapkan tahun
1984 sudah mulai beroperasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini