Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Tentang Siaran TVRI

Sumadi, dirjen RTF deppen, reaksi Drs. Sumadi terhadap kritik-kritik masyarakat tentang siaran TVRI. (md)

8 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR 200-an pengunjung mengisi Teater Arena Pusat Kesenian TIM (Taman Ismail Marzuki), Jakarta. Malam itu, suasana menjelang Natal, Arswendo Atmowiloto berceramah. Berjudul Menjadi penonton televisi yang baik, ceramah itu merupakan kesempatan lebih jauh bagi Arswendo menggaungkan banyak kritiknya terhadap siaran TVRI. Dia memang sering menulis tentang siaran televisi di koran Kompas dan majalah remaja yang dipimpinnya, HAI. "Yang paling saya permasalahkan, sistem monopoli siaran," tuturnya. Menurut dia, belum pernah terbukti ada saluran tunggal yang bisa sukses. Di RRC saja 3 saluran, di Uni Soviet 4, katanya. Juga Arswendo mempersoalkan posisi penonton atau pemirsa. "Sesungguhnya tanggung jawab penonton televisi bukan sekedar menganga dan menerima atau mematikan acara yang tidak disukai," ujarnya di TIM itu. "Penonton yang baik juga harus memberikan saran, kritik, atau paling tidak mempertanyakan seluruh rangkaian susunan program dan acara." Ia mengkritik TVRI sebagai media pemerintah masih sering menyiarkan pidato, upacara pengguntingan pita tanpa editing yang baik. Tentang hal ini ia pernah melakukan penelitian (TEMPO, Media, 26 Juni). Pengunjung ceramahnya pun waktu itu ikut menyinggung, misalnya, acara musik Irama Gurun Sahara yang dirasakan orang kelanjutan acara Mimbar Agama Islam, sedang penyanyinya berpakaian seperti penari jaipong. Semua kritik itu seolah tak dihiraukan pihak TVRl dan atasannya. Tapi ternyata Drs. Sumadi, Dirjen RTF (Radio Televisi dan Film) Deppen, mendengar juga segala yang dipergunjingkan orang. Berbicara dengan wartawan TEMPO D.S. Karma pekan lalu Drs. Sumadi memberikan reaksinya. Inilah sarinya: Tentang banyak kritik yang seolah tak digubris. Soalnya, kami harus pandai-pandai menilainya. Mungkin ada penonton televisi yang tidak suka pada acara seni budaya daerah (acara Bhinneka Tunggal Ika, misalnya). Tapi penonton lainnya justru suka. TVRI punya tugas mengembangkan seni budaya daerah, hasil kreativitas daerah umumnya. Semua kritik masyarakat jelas berpengaruh di tubuh TVRI. Ada Bapersi (Badan Perencanaan Siaran yang selalu berapat tiap Kamis. Badan ini selain merencanakan siaran, juga memperhatikan, mencatat dan memperbincangkan setiap kritik dan protes masyarakat. Berkat kritik masyarakat, misalnya, acara Derap Pramuka diubah, tak hanya baris-berbaris atau pembacaan janji Pramuka. Pendeknya, kami tak akan bersifat ndableg (keras kepala dan tak peduli) terhadap kritik masyarakat. Tentang acara yang semberono, asal jadi. Ini biasanya terjadi bila ada kesulitan dengan pengisi acara. Pada waktu latihan, misalnya, justru peserta inti tak datang. Auu rekaman baru bisa dilakukan pada hari acara yang direncanakan harus disiarkan. Hingga kami tak punya waktu memperbaikinya. Dalam keadaan seperti itu, acara Irama Gurun Sahara menampilkan penyanyi berpakaian sepert penari jaipong. Kami selalu menghimbau para pengisi acara, terutama, para artis, agar berpakaian wajar-wajar saja. Kami, tentu, tak sengaja bikin acara jelek -- mana ada yang mau berbuat begitu Kalau masih ada acara yang dinilai kurang baik --tentang produksi, presentasi atau editingnya -- saya terus terang saja, waktu ini TVRI sedang kekurangan tenaga yang benar-benar ahli secara teknis produksi siaran televisi. TVRI kini punya 9 stasiun pemancar (termasuk TVRI Pusat, Jakarta) dan 156 stasiun relay. Semuanya harus dipimpin tenaga senior. Usaha penyediaan tenaga belum bisa mengejar perkembangan peralatan teknis. Untuk memperbaiki mutu produksi diperlukan 2 macam latihan (rehearsal) bagi pengisi acara. Yakni, dry rehearsal (membaca naskah, gerak-gerik di studio, dan lain-lain) dan camera rehearsal (bagaimana angle-nya, dekor sesuai atau tidak, dan lain-lain) kami sampai kini belum pernah melakukan camera rehearsal, karena kamera yang ada cuma cukup buat rekaman jadi. Tentang survei selera publik. Kami sering mengadakan audience research. Terakhir, bekerja sama dengan Universiras Hasanuddin, Ujungpandang, 3 tahun lalu, kami mengadakan penelitian. Sebelumnya, pernah dengan Unpad, UI dan UGM. Satu hal yang terungkap secara umum pada setiap penelitian itu: pola masyarakat menonton televisi. Yakni, prioritas pertama, orang menonton televisi karena acara hiburan, musik, nyanyi, lawak, pendeknya amusement. Prioritas kedua, pada siaran berita, yang berarti masyarakat punya perhatian pada kejadian dalam dan luar negeri. Ketiga, pada penerangan, pendidikan dan acara serupa itu. Kami menerapkan hasil penelitian itu dalam bentuk "bagaimana membawakan acara penerangan semenarik seperti acara hiburan." Misalnya, melalui acara film Si Unyil. Si Unyil oleh Unicef (badan PBB) dijadikan contoh film penerangan untuk negara berkembang lainnya. Bekerjasama dengan PPFN (Pusat Produksi Film Negara, produser Si Unyil), Unicef akan mencetak buku tentang Si Unyil sebagai bahan pendidikan dan penerangan. Juga Unicef memberi bantuan US$ 50.000 per tahun (dalam jangka waktu 2 tahun). Tentang lembaga penampung pendapat masyarakat. Tidak perlu. Sudah ada Dewan Siaran Nasional Radio dan Televisi. Para anggotanya (50 dari pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat) bertugas menampung saran dan pendapat masyarakat. Tentang monopoli pengelolaan. Dari statistik yang kami buat, ternyata hanya 23% saja acara yang bersifat seremonial dan yang dirasakan menjemukan. Terutama siaran berita pukul 19.00. Tapi tak benar TVRI didominasi pemerintah. Apalagi ada Dewan Siaran Nasional (terakhir diperbarui Menpen Ali Moertopo pada 1981). Kami memang mengalami kesulitan mencegah menteri atau pejabat yang minta kami meliput kegiatannya atau departemennya -- bukan kegiatan pembangunan dan manfaatnya. Mengenai pengelolaan televisi oleh swasta. Harus dilihat situasinya, memungkinkan atau tidak. Biayanya besar, dari mana bisa hidup? Tahun 1962 waktu TVRI baru muncul, misalnya, biaya produksinya US$ 2,5 juta, pada hal siarannya cuma 1 jam per hari. Belum biaya gedung, tanah dan sebagainya. Yang menghidupi TVRI kita sekarang kan iuran dan anggaran berdasar APBN, sedang iklan tak bisa lagi. TV NHK (Nippon Hoso Kiokai) di Jepang memang bisa hidup tanpa iklan. Tapi pesawat televisi yang dimiliki masyarakat 27 juta dan kesadaran membayar iuran tinggi (99,99%). Kita baru memiliki 3 juta pesawat televisi dan kesadaran membayar iuran rendah. Kami belum melakukan pendekatan kepada pemerintah tentang kemungkinan TVRI membuka kembali siaran iklan atau melalui channel khusus. Tapi anggaran yang kami terima dari pemerintah memang hanya pas-pasan. Tentang rencana perbaikan menyeluruh. Hasil Rakorpim (rapat koordinasi pimpinan) di Surabaya baru-baru ini a.l. mencakup masalah perbaikan siaran. Akan ada pola baru siaran mulai 1 April. Selain itu, untuk mengatasi masalah penyediaan tenaga dan peningkatan mutu produksi, kami sedang membangun proyek MMTC (Multi Media Training Centre) di Yogyakarta. Diharapkan tahun 1984 sudah mulai beroperasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus