JAKARTA menutup tahun 1982 dengan acara yang cukup unik: rally
jalan kaki. lomba 28 Desember itu menjadi lebih menarik karena
yang menyelenggarakannya adalah penderita cacat tungkai (Yayasan
Paraplegia Indonesia) bekerja sama dengan Persatuan Gerak Jalan
Jakarta.
"Jalan kaki merupakan kekayaan yang tak ternilai bagi
orang-orang seperti kami ini," ujar Kusbiono Sarmanhadi,
pencetus ide lomba jalan kaki dengan sistem rally itu.
Sebelumnya dia terkenal sebagai penyelenggara berbagai macam
rally mobil. Sehari-hari bekerja sebagai notaris. Dan ke
mana-mana-bergerak dengan bantuan kursi rodanya.
Sekitar 700 peserta yang terbagi dalam 127 regu dilepas Gubernur
DKI, Suprapto, dengan kibaran bendera start di lapangan Monas.
Para peserta kebanyakan orang-orang yang nampaknya sudah biasa
mengikuti lomba gerak jalan. Ada regu yang terdiri dari suami
istri dan tiga anak.
Tetapi yang paling mengesankan bagi para penonton adalah para
penderita cacat yang memakai tongkat. Begitu pula enam regu
putra-putri yang terdiri dari para pemakai kursi roda.
Kemudian ada pula regu campuran pejalan kaki sejati dengan
penderita cacat tungkai. Mulai pukul 6 pagi mereka harus
menempuh rute sepanjang 20 km menyusuri jalan-jalan di daerah
Menteng. Berputar-putar di sana, kemudian kembali ke garis
finish di kantor balai kota.
Perlombaan yang berdasarkan ketepatan waktu ini kelihatannya
cukup menegangkan saraf para peserta. Panitia sengaja memberikan
soal yang terkadang bisa mengecohkan peserta. Seluruh rute harus
ditempuh dengan mengandalkan peta dengan arah jalan yang
dilukis seperti bunga tulip dengan tanda-tanda yang
membingungkan. Sehingga bisa terjadi satu regu saling berpapasan
dengan regu lain di satu jalan.
Satu regu yang terdiri dari seorang tua berusia hampir 70 tahun,
seorang anak kecil dan tiga orang dewasa kelihatan agak
kocar-kacir barisannya, tiba-tiba berhenti di persimpangan
jalan. "Kita disuruh belok ke kanan, tapi kok tak ada jalan ke
kanan," omel si kakek. Untuk mengatasi kesulitan mereka terpaksa
mundur kembali ke belakang.
Nama-nama untuk pos tempat melapor sengaja diberikan nama-nama
yang lucu supaya menghibur. Seperti Pakde Boy, Kesusu dan
Kebangetan. Di pos yang bernama Bloon banyak peserta yang merasa
dipermalukan. Seorang komandan regu menyerahkan kartu untuk
dicap di pos ini. "Lho kok sudah ada capnya," sambut panitia
tertawa. Rupanya regu ini tersasar dalam mencari arah.
Soal-soal yang diberikan panitia itu terkadang membikin jengkel
dan putus asa sebagian peserta. Banyak yang bergerak tanpa
mempedulikan arah lagi, begitu jarak sudah lebih separuh yang
ditempuh. Malahan 16 regu, saking kesalnya, langsung pulang dan
tidak pernah muncul di garis finish.
Para peserta yang sampai di balai kota (peserta terakhir masuk
pukul 12.30) kelihatannya masih segar. "Hal ini disebabkan
perhatian kami tertumpah pada soal yang diberikan, sehingga kami
lupa berapa jarak yang sudah ditempuh," kata Nur Arifin, peserta
yang pernah menjuarai gerak jalan Jakarta-Bogor.
Para peserta cacat tungkai yang memakai kursi roda semuanya
sampai di finish. "Buat kami bukan kemenangan yang terpenting,
tapi ambil bagian," ujar Liong Beng sambil tersenyum dari kursi
rodanya.
Rally yang berlangsung dengan soal-soal yang rumit itu rupanya
balik memukul panitia. Sebab untuk menentukan siapa yang
berhasil menang dan merebut piala bergilir gubernur, diperlukan
waktu 20 hari untuk menghitung catatan-catatan yang masuk.
Pertengahan Januari ini nama-nama pemenang baru bisa diumumkan.
Menurut Kusbiono Sarmanhadi, penilaian rally jalan kaki ini
lebih sulit dibandingkan rally mobil. Sebab selain ketepatan
waktu, dinilai pula kerapihan dan sopan santun peserta
mempergunakan jalan. "Kalau ada trotoar mereka harus berjalan di
trotoar," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini