PRESTASI di cabang atletik masih merangkak. Hasil kejuaraan
nasional pekan lalu di stadion utama Senayan, Jakarta, belum
memberi harapan untuk bisa merebut medali dalam SEA Games X di
tempat yang sama September nanti.
Tahun 1978, adalah lari 100 m gawang, pancalomba, lempar cakram,
dan lari 1.500 -- semuanya nomor puteri -- memperbaiki rekor.
Pekan lalu catatan prestasi sedikit saja, yaitu lari 400 m
gawang 64,8 detik (Eklevina Rumayauw), lari 100 m gawang 1576
detik dan pancalomba 3014 (Irawati Subiyono), lontar martil
43,44 m (ir. Komot Heruwatno).
Di mana kesalahannya? Stanley Gouw, bekas pelatih atlit nasional
Lelyana Tjandrawidjaja, melihat sistim pembinaan atletik masih
belum terarah. Misalnya, seorang pelatih, terutama di luar
Jakarta, masih menangani banyak atlit dan banyak nomor. "Kalau
saja kita bisa menerapkan perbandingan 1 pelatih untuk 3 atlit,
itu sudah bagus sekali," kata Gouw. Di luar Jawa, ada yang 1
banding 10, dan dengan ragam nomor.
Di Jakarta, daerah yang punya sarana dan pelatih cukup banyak,
hampir sama saja keadaannya. Misalnya, pembinaan di sekolah
khusus olahragawan di Ragunan -- untuk belasan pelajar dari
cabang atletik -- cuma dilakukan oleh Steve Thenu.
Pelatih kepala PASI Jakarta Wuryanto M.Ed. tak hanya
mempersoalkan perbandingan antara pelatih dan atlit, tapi juga
kurangnya frekwensi pertandingan. "Sedikitnya dalam 1 tahun
perlu diselenggarakan 30 pertandingan," katanya. Di Jakarta,
walaupun ada kompetisi bulanan antar klub, seorang atlit baru
mengikuti paling banyak 15 kali kejuaraan dalam 1 musim. Di
daerah lain frekwensinya jauh lebih rendah.
Dengan segala kekurangan itu, tentu saja, semua 15 atlit
terpilih Indonesia gagal total dalam kejuaraan atletik Asia Mei
lalu di Tokyo. Bahkan rekor nasional pun tak ada yang diperbaiki
mereka. Merosot? "Bukan," bantah pelari Carolina Riewpassa.
"Lawan yang jauh lebih maju." Namun Sri Purwidiati di Tokyo
hanya mampu melangkahi mistar pada ketinggian 155 cm, sama
dengan kemampuannya dalam kejuaraan nasional pekan lalu. "Saya
nggak habis ngerti, kok loncatan saya cuma begitu," kata Sri.
Padahal ia pernah mencapai 162 cm.
Dengan materi seperti sekarang, tim atletik Indonesia mungkin
akan sulit untuk unggul dalam SEA Games X. Di nomor puteri,
misalnya, Carolina yang diandalkan harus bersaing berat dengan
Usanee Laopinkarn, pelari 100 m dan 200 m dari Muangthai. Usanne
adalah pemegang medali emas Asian Games VIII. Rekornya dalam
nomor lari 200 m, misalnya, adalah 24,81 detik. Sedang catatan
terakhir Carolina 25,3 detik. Belum lagi terhitung pelari
Malaysia, dan Birma. "Untuk nomor puteri memang agak berat buat
kita," kata Gouw. Dalam SEA Games IX, 1977, Carolina meraih 1«
medali emas -- nomor 100 m waktu itu adalah juara kembar.
Gouw melihat peluang di nomor putera, terutama 4 x 400 m an 400
m gawang, didasarkan pada kemampuan Mujiono, Haryanto, Melly
Moffu, Mathias Mambay, dan Rachman Zakin. Kelimanya mencatat
waktu yang imbang, rata-rata sekitar 48 detik. Dengan itu saja
mereka cuma ketinggalan 1 detik dari prestasi regu Malaysia (3
menit 11,1 detik) yang tercatat sebagai rekor SEA Games.
Di nomor lari 400 m gawang, harapan mungkin ada pada Melly
Moffu. Prestasi terbaiknya adalah 51,9 detik. Dalam kejuaraan
kemarin, sekalipun tetap merenggut medali emas, ia cuma membetot
waktu 52,7 detik. Saingannya dari Malaysia sudah mencatat tempo
48,7 detik. "Asalkan Melly ditangani secara baik, saya yakin
angka itu bisa didekatinya," kata Gouw. "Anak ini punya
potensi."
Tak Minta Medali
Ketua Bidang Pembinaan PASI, Sukoyo, tampaknya mencoba mengejar
waktu. Sekalipun KONI Pusat cuma memberikan jatah 3 pelatih
untuk menangani 34 atlit cabang atletik, ia akan menyertakan
sejumlah pembantu dengan tanggungan PASI. "Kita berharap lebih
baik dari SEA Games IX " katanya.
Presiden Soeharto muncul secara tak resmi di stadion utama
Senayan (14 Juni sore). "Beliau tidak minta medali untuk SEA
Games X nanti," kata seorang tokoh PASI yang tak mau ditulis
nama. "Beliau hanya ingin melihat atletik bisa digemari sampai
ke desa-desa. Pemassalan ini diharapkan untuk mendatangkan
prestasi nanti."
Kehadiran Kepala Negara itu -- pertama kali dalam sejarah
kejuaraan nasional atletik -- jelas mendorong semangat para
atlit. Ada pula itu ditafsirkan orang sebagai 'sentilan' untuk
para pejabat di daerah agar menggelorakan semangat beratletik di
kawasan masing-masing.
Tim DKI Jakarta pekan lalu menempati urutan teratas dalam
pengumpulan medali. Mereka mengantongi 20 medali emas, 11 perak,
dan 10 perunggu. Di bawahnya menyusul kontingen Jawa Timur
(12-17-12), Jawa Barat (4-5-7), Irian Jaya (2-4-5), dan Jawa
Tengah (1-0-2). Tak membawa pulang medali sama sekali adalah tim
dari Sumatera Selatan, Riau, Aceh dan Sulawesi Tenggara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini