BANYAK yang menarik perhatian masyarakat Indonesia mengenai
sidang UNCTAD-V di Manila, walaupun sekarang sudah lalu dan
seolah-olah lekas dilupakan. Oleh karena sidangnya diadakan di
tempat yang dekat, maka banyak sekali perhatian di negeri kita.
Oleh karena dekatnya maka cukup banyak wartawan Indonesia dapat
dikirim. Laporan-laporannya baik dan banyak mendidik masyarakat
pembaca yang berminat kepada persoalannya. Katanya,
wartawan-wartawan Indonesia ini di Manila juga dilayani cukup
baik oleh para pejabat anggota delegasi Indonesia. Setiap minggu
ada pertemuan briefing. Timbul suatu pertanyaan: kalau delegasi
(Pemerintah) Indonesia dapat bersifat mengajak dan terbuka
kepada pers mengenai suatu masalah dunia mengapa tidak dapat
dilakukan uluran dan pembinaan yang sama untuk mengcover
masalah-masalah ekonomi dalam negeri? Pers yang mengerti dan
gairah ternyata dapat memainkan peranan yang positif dalam
pendidikan dan penerangan masyarakat.
Mengenai kesudahannya sendiri, umum berpendapat hasilnya tidak
seberapa. Seorang anggota delegasi mengatakan tiga tahun lalu,
di Nairobi, hasilnya lebih nyata, yakni pendobrakan dalam hal
Dana Bersama.
Tapi, penilaian banyak tergantung dari sikap diplomasi juga.
Ketua Konperensi, Menteri Carlos Romulo dari Pilipina, tidak mau
menamakannya suatu kekalahan, namun juga bukan suatu kemenangan.
Beliau tidak ingin melihat sidang UNCTAD ini sebagai suatu
konfrontasi antara yang miskin dan yang kaya di dunia ini. "Kita
harus menyadari UNCTAD bukanlah suatu pertemuan hanya satu kali
saja (one shot affair). UNCTAD adalah suatu rangkaian pertemuan
yang berjalan terus. Yang penting adalah kontinuitasnya, dan
untuk memelihara suatu diskusi yang hidup dan saling memberi
rangsangan. Hasil akhir UNCTAD adalah suatu akomodasi, bukan
suatu kekalahan, ataupun suatu kemenangan," kata Romulo.
Kalau kita membaca pernyataan dari delegasi Amerika Serikat maka
yang ditekankan juga tercapainya beberapa resolusi yang memberi
harapan, misalnya dalam bidang perdagangan internasional,
komoditi, teknologi, bantuan kepada negara-negara yang paling
terbelakang, dan sebagainya. Delegasi Amerika Serikat
beranggapan hasil sidang UNCTAD V itu sungguh-sungguh (honest).
Artinya, kalau pendapat negara industri kelompok-77 masih
terlalu jauh perbedaannya, maka lebih baik hal demikian
dinyatakan, daripada membuat resolusi yang tokh tidak dapat
dijalankan.
OPEC Menang
Rupanya, tempat sidang di Manila, yakni di Asia (Tenggara) ada
pengaruhnya: semangat kooperatif dan akomodatif dari Asia dalam
dialog Utara-Selatan ini memang merupakan suatu kenyataan
sehari-hari.
Semangat Amerika Latin dan Afrika Hitam sering lebih radikal. Di
UNCTAD, kelompok-77 mempunyai kelebihan suara. Oleh karena itu
selalu ada kemungkinan untuk memaksa suatu resolusi dengan
pemungutan suara. Tapi kalau negara-negara industri tidak mau
menyetujui resolusi demikian maka pelaksanaannya juga tidak
dapat dipaksa. Dalam hal demikian, apakah lebih baik tidak
dibuat suatu resolusi dan mengajak negara-negara industri untuk
melanjutkan pembicaraannya di sidang atau di forum yang
berikutnya? Atau memaksa suatu resolusi di mana golongan negara
berkembang menang suara, tapi tidak ada pelaksanaan, walaupun
ada suatu "kemenangan moril" yang dapat dipakai untuk menekan
negara industri dalam pertemuan selanjutnya? Sering
negara-negara Afrika dan Amerika Latin mempunyai selera politik
yang lain daripada negara-negara Asia.
Delegasi Indonesia merasa bahwa dalam bidang komoditi telah
tercapai kemajuan yang cukup berarti. Ini mungkin juga berkat
ketrampilan diplomasi Saudara Alex Alatas yang memimpin
negara-negara kelompok-77 di komisi ini lagipula pokok
pembicaraan ini sudah dilicinkan di Jenewa.
Isyu lain yang sebetulnya sangat penting, yakni perdagangan
internasional dan proteksionisme, tidak dapat mendatangkan
kemenangan bagi negara berkembang. Tuntutannya adalah untuk
membuka kembali perundingan MTN Tokyo Round. Tapi negara
industri sama sekali tidak mau melayani. Dapat dimengerti, oleh
karena di antara mereka sendiri isyu ini sangat sulit dan peka.
Mereka mau lekas-lekas meratifikasi apa yang baru saja telah
disetujui di antara mereka sendiri. Ini berarti bahwa negara
berkembang harus menerima saja segala peraturan permainan yang
sudah ditetapkan dalam hasil Tokyo Round ini, dan merundingkan
konsesi-konsesi secara bilateral. Sebetulnya, timing dari
pembicaraan mengenai proteksi ini juga tidak baik. Harus
menunggu keadaan dan waktu yang lebih baik.
Persatuan barisan negara berkembang di Manila juga tidak terlalu
kokoh. Tidak aneh karena negara berkembang ini beraneka ragam.
Masalah minyak bumi di Manila hampir memecah barisan, karena
negara-negara Amerika Latin merasa terpukul oleh
kenaikan-kenaikan harga, sedangkan negara-negara OPEC tidak mau
memasukkan persoalan ini dalam agenda di Manila. Akhir-akhirnya
negara-negara OPEC "menang", tapi mereka harus sadar dan
waspada, bahwa masalah harga minyak ini betul-betul menyusahkan
banyak negara-negara teman yang lain, dan sesuatu sikap dan usul
untuk menolong harus datang kelak. Negara-negara OPEC yang kaya
harus membantu negara-negara berkembang yang mendapat kesulitan
besar. Kalau tidak, persatuan ini tidak akan dapat langgeng.
Siasat Kembar
Setelah UNCTAD-V, bagaimana meneruskan perjuangannya? Masih
banyak kesempatan. Tahun ini akan ada suatu konperensi
internasional (PBB) besar mengenai teknologi dan pembangunan.
Maka kemufakatan yang telah timbul di Manila, tapi yang masih
memerlukan kebulatan, dapat diteruskan pembicaraannya.
Prinsipnya suatu Code of Conduct untuk pengalihan teknologi
sudah mendapat kemufakatan, tapi mengenai luas isinya dan apakah
harus mengikat atau suka rela, ini masih belum disetujui bulat.
Secara optimis mungkin kita dapat mengharapkan kebulatan ini
merupakan soal waktu (yang mungkin masih memerlukan beberapa
tahun).
Dalam musim rontok tahun 1980 akan ada Sidang Khusus PBB untuk
menentukan Siasat Pembangunan Dekade 1980. Sidang ini sangat
penting, dan dapat dipandang sebagai medan perjuangan besar lagi
untuk berusaha memperoleh kemajuan bagi tersusunnya Orde Ekonomi
Dunia yang baru.
Selain daripada sidang dan forum PBB, masih ada banyak pertemuan
lain dalam rangka dialog Utara-Selatan, yang semua penting dalam
rangka memelihara kesinambungan dialog itu.
Kelompok-77 sebelum datang ke Manila, telah mempersiapkan siasat
perjuangannya di Arusha, Tanzania. Mereka menelorkan Arusha
Declaration. Perjuangannya bersiasat kembar: di satu fihak
diusahakan negosiasi dengan negara industri untuk merebut
berbagai konsesi, di lain fihak dipersiapkan usaha-usaha
berdikari dalam semangat collective selfreliance. Setelah
perundingan dengan negara-negara kelompok-B (industri) tidak
menghasilkan banyak, maka siasat kedua, collective
self-reliance, harus diamalkan.
Konsep ini terdiri dari dua pl ogra kerja sama ekonomi,
Economic Cooperation among Developing Countries (ECDC), dan
kerja sama teknik, Technical Cooperation among Developing
Countries (TCDC). Semuanya ini sebetulnya sudah ada
permunculan-permunculannya secara spontan. Di kawasan ASEAN kita
sudah mengamalkannya dalam batas-batas yang mungkin. Sidang di
Manila juga mau memprakarsai suatu kerja-sama di bidang
perdagangan antara negara berkembang, seperti di ASEAN dengan
sistim preferensi dagang. Kesulitan masih banyak sekali, tapi
banyak juga tergantung dari semangat dan kemauan politik.
Apakah hasil-hasil UNCTAD-V ini vital bagi Indonesia? Dalam
jangka pendek tidak, karena ekonomi Indonesia kebetulan kuat
berkat minyak bumi dan komoditi-komoditi yang sedang mengalami
konjungtur tinggi. Tapi dalam jangka panjang kepentingan
Indonesia sungguh besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini