PECANDU golf seperti orang sakit. Mereka berusaha terus
menyembuhkan penyakit yang bernama handicap (nilai kesulitan).
Untuk itu mereka terkadang harus bermain sebaris dengan pemain
profesional lokal engan tarif Rp 15.000. Bisa juga berlatih di
tempat latihan (driving range) seperti Senayan, dengan ongkos
sekitar Rp 3.000/jam.
Kalau selama ini guru mereka hanya pemain-pemain pro yang hampir
semuanya anak Betawi, 20-21 Maret yang lalu mereka mendapat
kesempatan belajar pada seorang kampiun asal Australia, Graham
Marsh.
Pemain berusia 38 tahun itu kelihatannya memberikan petunjuk
yang agak berbeda dengan ajaran pro lokal. Terutama pada titik
pusat keseimbangan yang ditempatkan mantap di tengkuk. Berlainan
dengan yang dikenal selama ini, yaitu bertumpu pada kepala.
Sedangkan prinsip mendapatkan tenaga pukulan, tidak ada sesuatu
yang baru dari Graham Marsh tambah luas lingkaran centrifugal,
tambah jauh jangkauan bola. "Tarik back swing dengan enak dan
hantamkan kepala stick ke bola dengan follow through lurus ke
depan Cuma ini rahasia drive," katanya di depan sekitar 70
penonton di lapangan golf Pondok Indah, Jakarta.
Beberapa pemain golf ber-handicap kecil kurang bersemangat untuk
bertanya dalam acara yang disebutkan "Graham Marsh Golf Clinic"
itu. "Dia memang pemain yang baik, tetapi bukan coach yang
bagus," kata seorang pemain.
Graharm memiliki sekolah golf di Australia, tapi dia sendiri
tidak mengajar. Perusahaan penerbangan Cathay Pacific
mengontraknya sebagai konsultan golf karena sikapnya. "Orangnya
tidak kaku," ujar Ira Liauw dari perusahaany ang menyebutkan
diri "penerbangan para pemain golf" itu.
Marsh tidak percaya pada buku-buku petunjuk golf. Mungkin karena
itu orang ini jadi menarik "Anda jangan salah, buku yang ditulis
Arnold Palmer atau Jack Nicklaus bukanlah petunjuk bagaimana
main. Mungkin dia tidak cocok untuk anda. Karena buku itu adalah
buku tentang bagaimana Niclaus bermain golf. Jangan
mentang-mentang sudah membaca, lantas berkata 'nah ini dia saya
sudah dapat' . . ." kata Graham sambil tersenyum simpul.
Dia boleh berkata begitu mengenai Jack Nicklaus yang digelari
"beruang emas". Tapi yang pasti Graham termasuk pemain
berkaliber tinggi--termasuk 10 pemain terbaik di dunia. Tahun
1977 dia hampirsaja menumbangkan Nicklaus dalam pertandingan
ulang, karena keduanya mencacat angka sama.
Buat para pecandu di Indonesia, Nicklaus adalah "macan" yang
harus diikuti. Tetapi apa yang menjadi pegangan para pemain di
sini dan diperoleh dari Nicklaus yang bertangan kecil itu,
justru diperbaiki Graham Marsh. Mitos tentang jari manis dan
jari tengah yang memegang pegangan stick, didobrak Graham Marsh.
"Peganglah dengan jari tengah, jari manis dan kelingking,
seperti ini," katanya memperagakan pegangan dengan tangan kiri.
Lantas jari tengah dan jari manis tangan kanannya memperkuat
pegangan tangan kiri tadi.
Menurut dia kemahiran bermain golf, sama dengan olahraga lain,
harus dengan latihan terus-menerus. "Pahami teknik memukul
dengan baik dan belajar dari kesalahan. Cuma ini yang bisasaya
katakan, saya tak punya rahasia lain," katanya.
Hanya pegolf asing yang banyak bertanya. Sedangkan orang
Indonesia yang di Jakarta saja diperhitungkan mencapai 5000
pemain kurang begitu bergairah dengan "clinic" itu. Terutama
pada waktu pelajaran diberikan hari Sabtu pukul 2 siang. Mungkin
mereka masih di kantor. Atau yakin kampiun dari Australia itu
toh tidak dengan begitu saja bisa mengobati "penyakit" mereka.
Mungkin juga karena Graham Marsh bukan orang baru lagi buat
mereka.
Memang dia bukan orang asing di sini . Tahun 1975 dia keluar
sebagai juara Indonesia Open. Tiga tahun kemudian muncul lagi di
Jakarta untuk duel dengan Johny Miller dari Amerika. Mungkin
namanya sudah pudar di mata mereka, karena dalam pertandingan 5
jago golf dunia di kota judi Sun City, Afrika Selatan, 4 Januari
yang lalu, dia tidak diundang untuk memperebutkan hadiah
setengah juta dollar.
Memang puncak-kebesaran jago Australia ini antara 1968 sampai
1976, ketika dia merajai lapangan di tiga benua. Hanya di
Amerika Serikat ketika itu dia tidak bisa banyak bicara. Kecuali
sekali pada tahun 1977 dia memenangkan hadiah pertama sebesar
US$ 45.000 dalam turnamen Heritage Classic di Carolina. Sekarang
dia sudah mundur sama sekali dari gelanggang di AS dah lebih
memusatkan perhatian pada turnamen di Jepang. Sekalipun begitu
dia masih termasuk deretan 8 besar pegolf berpenghasilan tinggi
dengan hasil sekitar Rp 40 juta setahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini