Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Rugi dan diguncang suap

Profesional tulen memikat dan diharapkan bisa menutup defisit selama ini. ada yang menganggap galatama berhasil, kecuali suap yang mengguncangkan beberapa klub. (or)

27 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIR-AKHIR ini sulit menemui Nabon Noor di kantornya yang terletak di Hotel Kartika Plaza, Jakarta. Raja kapal itu kelihatannya sudah boyong ke Stadion Utama Senayan dan waktunya habis untuk mengurusi bisnis sepakbola. Ketua Bidang Liga Sepakbola Utama (Galatama itu memang akan menjadi tambah sibuk karena adanya rencana membuat liga sepakbola yang berdiri 3 tahun yang lalu itu melompat dari klub nonamatir nonprofesional menjadi profesional tulen. Niat menjadikan klub Galatama benar-benar profesional sesungguhnya sudah dimulai ketika gerakan sepakbola itu baru berusia 3 bulan. Acub Zainal dan T.D. Pardede termasuk yang paling ngotot waktu itu, sehingga Acub berani mengorbankan jabatan Ketua Komisi Galatama dalam masa kepengurusan Ali Sadikin, karena pikirannya ditolak. Ia berhenti dan Nabon Noor mengoper jabatan yang ditinggalkan Acub Zainal itu. Kalau dulu PSSI oleh beberapa pihak dirasakan membelenggu kehendak beberapa tokoh persepakbolaan untuk memprofesionalkan Galatama, maka dalam periode Syarnubi Said peluang ke arah itu terbuka. Kongres PSSI Desember 1981 di Taman Mini memberikan oto nomi penuh kepada Galatama sekalipun secara administratif berada di bawah PSSI. "Artinya meeeka bebas mengatu persoalan intern. Tapi kalau hendak bertindak ke luar negeri, maka PSSI yang atur," kata Hans A Pandelaki, Ketua Bidang Luar Negeri PSSI. Setelah berdiri 3 tahun dan kompetisi putaran kedua selesai 13 Maret yang lalu, tak satu klub pun yang bisa membiayai diri dari karcis penonton. Melihat mutu permainan yang diperkirakan tak banyak berubah dan minat penonton sulit ditebak, itulah agaknya yang mendorong berbagai pihak untuk menjadikan klub Galatama profesional penuh. Meskipun dalam putaran berikut penonton tak bakalan meningkat, dalam kedudukan profesional penuh diharapkan klub bisa mencari uang dari sponsor. Para pemain Pardedetex nanti, misalnya, barangkali akan mengenakan kaus bertuliskan carrier, perusahaan alat pendingin yang menjadi sponsornya. Sehingga defisit selama ini bisa ditutup. Tak ada sebuah klub dari 18 bual yang ada mengaku untung. Sekalipu Niac Mitra (Surabaya) yang dalam putaran kedua keluar sebagai juara, darl tiap pertandingan rata-rata mendapat uang Rp 8 sampai Rp 10 juta. Bahkan bila berjumpa dengan klub dari "papan atas" yang lain, seperti Warna Agung dan Jayakarta, minimal bisa mendapat Rp 20 juta. "Dari pertandingan melawan Jayakarta 13 Maret lalu kami mendapat Rp 30 juta. Tapi Niac Mitra masih defisit," kata M. Basri dari Niac Mitra. Menurut pengakuan Basri, pengeluaran rutin per bulan mencapai Rp 8 juta. "Defisit per bulan tak jelas. Tapi sejak berdiri 3 tahun yang lalu defisit kami sudah lebih dari Rp 100 juta," katanya menambahkan. Hanya kepandaian Agustinus Wenas sebagai bos Niac Mitra dan pecinta sepakbola itu yang bisa menyelamatkan klub itu dari kebangkrutan. Banyak pihak yang beranggapan defisit Niac Mitra tidak perlu sampai beaitu besar seandainya bonus yang diberikan sma dengan yang diberikan klub lain kepada pemain-pemainnya. Menurut manajer Niac Mitra, Acub Zainal, anak asuhannya tiap bulan menerima rata-rata Rp 250.000. Tetapi begitu klub itu mengalahkan Warna Agung di Senayan dalam pertandingan yang menentukan nasib klub dari Surabaya itu menjadi juara, Rudy Kelces dan kawan-kawan kabarnya mendapat uang insentif Rp 400.000 per orang. Begitu juga ketika menang melawan Jayakarta mereka dapat jumlah yang sama plus kapling 200 meter persegi. Tetapi adalah cita-cita Acub iamal dan pimpinan Niac Mitra lainnya untuk meningkatkan taraf hidup para pemain. "Dan kalau tak di bola lagi kemungkinan besar mereka akan ditampung di perusahaan yang mendukung Yayasan Mitra," cerita purnawirawan brlgjen yang bergerak di bisnis kayu dan film itu. Niac Mitra dulu dibiayai New International Amusement Center, perusahaan yang bergerak di bidang hiburan dan judi. Tapi setelah judi dilarang, klub itu dihidupi Yayasan Mitra yang ditopang oleh beberapa perusahaan. Acub yakin kalau sudah benar-benar profesional, Niac Mitra akan menguntungkan, karena bola, katanya, adalah " olahraga rakyat". " Sekarang saja kalau Niac Mitra bertanding di Surabaya penonton tak kurang dari 30 ribu," kata Acub. Rp 75.000. Kemungkinan keuntungan dari profesional tulen itu yang membuat Kaslan Rosidi akan tetap mengambil bagian dalam putaran ketiga nanti. Organisasi Cahaya Kita, juru kunci kompetisi 1980-1981, katanya akan dibenahi. Klub yang pernah menderita kekalahan 14-0 dari satu pertandingan dan memecat beberapa pemainnya seketika, menurut Kaslan, nanti akan menggaji para pemainnya sekitar Rp 75 ribu. "Tak ada alasan mengeluh mengenai gaji itu, karena pegawai negeri dengan ijazah SLP dan SLA seperti yang dimiliki para pemainnya bergaji tak lebih dari itu," katanya. Dia yakin dengan status profesional, defisit Rp 3,5 juta/bulan seperti selama ini, bisa diatasi dengan penghasilan dari sponsor. Tokoh-tokoh pengusaha yang berdiri di belakang klub mungkin tidak terlalu risau dengan jutaan rupiah yang telah terbuang. Ada semacam kenikmatan yang mereka peroleh. "Yang keluar sudah Rp 280 juta sejak lahir. Uang masuk cuma seperempatnya. Tapi tak apa. Saya mau mempraktekkan pengetahuan sepakbola saya. Dan hitung-hitung ikut membin, sepakbola di tanah air," ujar Johni Pardede, manajer merangkap pelatih dari klub sepakbola milik ayahnya, T.D. Pardede. Kenikmatan dengan memiliki sebuah klub memang masih harus dibayar mahal. Apalagi kalau dilihat pengaruhnya terhadap mutu persepakbolaan. Ketua Umum PSSI Syarnubi Said dalam pembukaan Sidang Paripurna Pengurus PSSI, 10 Maret, menyinggung tentang kegagalannya dalam membina Galatama. Ini dia dasarkan pada prestasi tim nasional yang terdiri dari pemain-pemain Galatama yang dibinanya 2 tahun--dan gagal melulu. Sedangkan Nabon Noor melihat dari segi munculnya bintang-bintang baru. Kemajuan cukup memuaskan, katanya, terutama untuk klub yang berada di "papan tengah". Mercu Buana yang masuk tahun 1980 dan pemain-pemainnya diambil dari "kehun", bisa masuk 6 besar Galatama. Nabon menyebutkan Badiaradja Manurun Arselan dan Siswanto Edy adalah hasil Mercu Buana, klub yang dibiayai pengusaha besar Probosutejo. "Yang gagal adalah dalam pembinaan mental," kata Nabon Noor pengusaha kapal berusia 52 tahun yan mirip bintang film Anthony Queen itu. Suap Ia tak bersedia menyebutkan nama-nama pemain. Tetapi, klub Buana Putra, Tidar Sakti dan klub yang dipimpinnya sendiri, Perkesa 78, menurut Nabon 'mempunyai pemain yang berindikasi terlibat suap." Suap ini yang mengguncang klub-klub Galatama dari dalam. Bekas pemain nasional Sutjipto Suntoro yang akhir-akhir ini sibuk mengurus yayasan pembinaan bekas pemain nasional, berhenti sebagai pelatih Buana Putra karena bosnya, Sk. 11. Wibowo, tak mau memecat pemain yang menurut dia menerima suap. Tuduh-menuduh menerima suap antara pemain Cahaya Kita dengan Kaslan Rosidi juga sempat dilaporkan kepada Ketua Galatama. Jaka Utama dari Lampung yang menjuarai sepakbola dalam PON yang lalu, dibekukan juga karena gara-gara suap. Marzuli Warganegara kecewa atas keputusan Pengadilan Negeri Lampung yang membebaskan penyuap. Ia kelihatannya sudah enggan membiayai klub yang bermarkas di Tanjungkarang itu. Dioper orang lain juga tak mau. "Saya sudah rugi terlalu banyak. Tiap bulan saya keluarkan Rp 9 juta. Kalau dibeli orang Rp 10 juta lebih baik tak usah. Saya masih bisa hidup menanam singkong atau cabe," kata pengusaha peternakan dan pertanian itu. Usia 3 tahun bagi Galatama mungkin masih terlalu muda. Tetapi Endang Witarsa, bekas pelatih tim nasional dan UMS 80 menganggap bukan itu soalnya. "Dari semula para pengurus harus menjalankan apa yang telah menjadi ketentuan. Jadwal pertandingan harus berjalan, begitu juga ketentuan lain, seperti adanya kompetisi untuk tim junior. Dan orang yang mengurus haruslah yang punya dedikasi tinggi," kata Witasa. "Galatama baru akan mantap sesudah 6 tahun," ujar Ketua Pelaksana Harian PSSI, Soeparjo Pontjowinoto. Dua tahun pertama pengenalan, dua tahun berikutnya pemantapan dan 2 tahun lagi mantap betul-betul." Tapi menjelang tahap-tahapan itu berakhir, dia sendiri curiga kalau-kalau Galatama akan hancur karena kehilangan penonton. Untuk mencegah hal itu salah satu cara, kata Soeparjo, ialah memberikan pelayanan yang lebih baik bagi penonton. Misalnya pembelian karcis, tanpa calo atau merasa aman memarkir kendaraan selagi menonton. Krisis penonton itu memang nampak mulai mengancam. Ketika Cahaya Kita berhadapan dengan Niac Mitra di Stadion Pluit pertengahan Januari penonton yang tertarik hanya sekitar 500 orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus