AKHIR-AKHIR ini sulit menemui Nabon Noor di kantornya yang
terletak di Hotel Kartika Plaza, Jakarta. Raja kapal itu
kelihatannya sudah boyong ke Stadion Utama Senayan dan waktunya
habis untuk mengurusi bisnis sepakbola. Ketua Bidang Liga
Sepakbola Utama (Galatama itu memang akan menjadi tambah sibuk
karena adanya rencana membuat liga sepakbola yang berdiri 3
tahun yang lalu itu melompat dari klub nonamatir nonprofesional
menjadi profesional tulen.
Niat menjadikan klub Galatama benar-benar profesional
sesungguhnya sudah dimulai ketika gerakan sepakbola itu baru
berusia 3 bulan. Acub Zainal dan T.D. Pardede termasuk yang
paling ngotot waktu itu, sehingga Acub berani mengorbankan
jabatan Ketua Komisi Galatama dalam masa kepengurusan Ali
Sadikin, karena pikirannya ditolak. Ia berhenti dan Nabon Noor
mengoper jabatan yang ditinggalkan Acub Zainal itu.
Kalau dulu PSSI oleh beberapa pihak dirasakan membelenggu
kehendak beberapa tokoh persepakbolaan untuk memprofesionalkan
Galatama, maka dalam periode Syarnubi Said peluang ke arah itu
terbuka. Kongres PSSI Desember 1981 di Taman Mini memberikan oto
nomi penuh kepada Galatama sekalipun secara administratif berada
di bawah PSSI. "Artinya meeeka bebas mengatu persoalan intern.
Tapi kalau hendak bertindak ke luar negeri, maka PSSI yang
atur," kata Hans A Pandelaki, Ketua Bidang Luar Negeri PSSI.
Setelah berdiri 3 tahun dan kompetisi putaran kedua selesai 13
Maret yang lalu, tak satu klub pun yang bisa membiayai diri dari
karcis penonton. Melihat mutu permainan yang diperkirakan tak
banyak berubah dan minat penonton sulit ditebak, itulah agaknya
yang mendorong berbagai pihak untuk menjadikan klub Galatama
profesional penuh.
Meskipun dalam putaran berikut penonton tak bakalan meningkat,
dalam kedudukan profesional penuh diharapkan klub bisa mencari
uang dari sponsor. Para pemain Pardedetex nanti, misalnya,
barangkali akan mengenakan kaus bertuliskan carrier, perusahaan
alat pendingin yang menjadi sponsornya. Sehingga defisit selama
ini bisa ditutup.
Tak ada sebuah klub dari 18 bual yang ada mengaku untung.
Sekalipu Niac Mitra (Surabaya) yang dalam putaran kedua keluar
sebagai juara, darl tiap pertandingan rata-rata mendapat uang Rp
8 sampai Rp 10 juta. Bahkan bila berjumpa dengan klub dari
"papan atas" yang lain, seperti Warna Agung dan Jayakarta,
minimal bisa mendapat Rp 20 juta. "Dari pertandingan melawan
Jayakarta 13 Maret lalu kami mendapat Rp 30 juta. Tapi Niac
Mitra masih defisit," kata M. Basri dari Niac Mitra.
Menurut pengakuan Basri, pengeluaran rutin per bulan mencapai Rp
8 juta. "Defisit per bulan tak jelas. Tapi sejak berdiri 3 tahun
yang lalu defisit kami sudah lebih dari Rp 100 juta," katanya
menambahkan. Hanya kepandaian Agustinus Wenas sebagai bos Niac
Mitra dan pecinta sepakbola itu yang bisa menyelamatkan klub itu
dari kebangkrutan.
Banyak pihak yang beranggapan defisit Niac Mitra tidak perlu
sampai beaitu besar seandainya bonus yang diberikan sma dengan
yang diberikan klub lain kepada pemain-pemainnya. Menurut
manajer Niac Mitra, Acub Zainal, anak asuhannya tiap bulan
menerima rata-rata Rp 250.000. Tetapi begitu klub itu
mengalahkan Warna Agung di Senayan dalam pertandingan yang
menentukan nasib klub dari Surabaya itu menjadi juara, Rudy
Kelces dan kawan-kawan kabarnya mendapat uang insentif Rp
400.000 per orang. Begitu juga ketika menang melawan Jayakarta
mereka dapat jumlah yang sama plus kapling 200 meter persegi.
Tetapi adalah cita-cita Acub iamal dan pimpinan Niac Mitra
lainnya untuk meningkatkan taraf hidup para pemain. "Dan kalau
tak di bola lagi kemungkinan besar mereka akan ditampung di
perusahaan yang mendukung Yayasan Mitra," cerita purnawirawan
brlgjen yang bergerak di bisnis kayu dan film itu. Niac Mitra
dulu dibiayai New International Amusement Center, perusahaan
yang bergerak di bidang hiburan dan judi. Tapi setelah judi
dilarang, klub itu dihidupi Yayasan Mitra yang ditopang oleh
beberapa perusahaan.
Acub yakin kalau sudah benar-benar profesional, Niac Mitra akan
menguntungkan, karena bola, katanya, adalah " olahraga rakyat".
" Sekarang saja kalau Niac Mitra bertanding di Surabaya penonton
tak kurang dari 30 ribu," kata Acub.
Rp 75.000.
Kemungkinan keuntungan dari profesional tulen itu yang membuat
Kaslan Rosidi akan tetap mengambil bagian dalam putaran ketiga
nanti. Organisasi Cahaya Kita, juru kunci kompetisi 1980-1981,
katanya akan dibenahi. Klub yang pernah menderita kekalahan 14-0
dari satu pertandingan dan memecat beberapa pemainnya seketika,
menurut Kaslan, nanti akan menggaji para pemainnya sekitar Rp 75
ribu. "Tak ada alasan mengeluh mengenai gaji itu, karena pegawai
negeri dengan ijazah SLP dan SLA seperti yang dimiliki para
pemainnya bergaji tak lebih dari itu," katanya. Dia yakin dengan
status profesional, defisit Rp 3,5 juta/bulan seperti selama
ini, bisa diatasi dengan penghasilan dari sponsor.
Tokoh-tokoh pengusaha yang berdiri di belakang klub mungkin
tidak terlalu risau dengan jutaan rupiah yang telah terbuang.
Ada semacam kenikmatan yang mereka peroleh. "Yang keluar sudah
Rp 280 juta sejak lahir. Uang masuk cuma seperempatnya. Tapi tak
apa. Saya mau mempraktekkan pengetahuan sepakbola saya. Dan
hitung-hitung ikut membin, sepakbola di tanah air," ujar Johni
Pardede, manajer merangkap pelatih dari klub sepakbola milik
ayahnya, T.D. Pardede.
Kenikmatan dengan memiliki sebuah klub memang masih harus
dibayar mahal. Apalagi kalau dilihat pengaruhnya terhadap mutu
persepakbolaan. Ketua Umum PSSI Syarnubi Said dalam pembukaan
Sidang Paripurna Pengurus PSSI, 10 Maret, menyinggung tentang
kegagalannya dalam membina Galatama. Ini dia dasarkan pada
prestasi tim nasional yang terdiri dari pemain-pemain Galatama
yang dibinanya 2 tahun--dan gagal melulu.
Sedangkan Nabon Noor melihat dari segi munculnya bintang-bintang
baru. Kemajuan cukup memuaskan, katanya, terutama untuk klub
yang berada di "papan tengah". Mercu Buana yang masuk tahun 1980
dan pemain-pemainnya diambil dari "kehun", bisa masuk 6 besar
Galatama. Nabon menyebutkan Badiaradja Manurun Arselan dan
Siswanto Edy adalah hasil Mercu Buana, klub yang dibiayai
pengusaha besar Probosutejo. "Yang gagal adalah dalam pembinaan
mental," kata Nabon Noor pengusaha kapal berusia 52 tahun yan
mirip bintang film Anthony Queen itu.
Suap
Ia tak bersedia menyebutkan nama-nama pemain. Tetapi, klub
Buana Putra, Tidar Sakti dan klub yang dipimpinnya sendiri,
Perkesa 78, menurut Nabon 'mempunyai pemain yang berindikasi
terlibat suap."
Suap ini yang mengguncang klub-klub Galatama dari dalam. Bekas
pemain nasional Sutjipto Suntoro yang akhir-akhir ini sibuk
mengurus yayasan pembinaan bekas pemain nasional, berhenti
sebagai pelatih Buana Putra karena bosnya, Sk. 11. Wibowo, tak
mau memecat pemain yang menurut dia menerima suap.
Tuduh-menuduh menerima suap antara pemain Cahaya Kita dengan
Kaslan Rosidi juga sempat dilaporkan kepada Ketua Galatama. Jaka
Utama dari Lampung yang menjuarai sepakbola dalam PON yang lalu,
dibekukan juga karena gara-gara suap. Marzuli Warganegara kecewa
atas keputusan Pengadilan Negeri Lampung yang membebaskan
penyuap.
Ia kelihatannya sudah enggan membiayai klub yang bermarkas di
Tanjungkarang itu. Dioper orang lain juga tak mau. "Saya sudah
rugi terlalu banyak. Tiap bulan saya keluarkan Rp 9 juta. Kalau
dibeli orang Rp 10 juta lebih baik tak usah. Saya masih bisa
hidup menanam singkong atau cabe," kata pengusaha peternakan dan
pertanian itu.
Usia 3 tahun bagi Galatama mungkin masih terlalu muda. Tetapi
Endang Witarsa, bekas pelatih tim nasional dan UMS 80 menganggap
bukan itu soalnya. "Dari semula para pengurus harus menjalankan
apa yang telah menjadi ketentuan. Jadwal pertandingan harus
berjalan, begitu juga ketentuan lain, seperti adanya kompetisi
untuk tim junior. Dan orang yang mengurus haruslah yang punya
dedikasi tinggi," kata Witasa.
"Galatama baru akan mantap sesudah 6 tahun," ujar Ketua
Pelaksana Harian PSSI, Soeparjo Pontjowinoto. Dua tahun pertama
pengenalan, dua tahun berikutnya pemantapan dan 2 tahun lagi
mantap betul-betul."
Tapi menjelang tahap-tahapan itu berakhir, dia sendiri curiga
kalau-kalau Galatama akan hancur karena kehilangan penonton.
Untuk mencegah hal itu salah satu cara, kata Soeparjo, ialah
memberikan pelayanan yang lebih baik bagi penonton. Misalnya
pembelian karcis, tanpa calo atau merasa aman memarkir kendaraan
selagi menonton.
Krisis penonton itu memang nampak mulai mengancam. Ketika Cahaya
Kita berhadapan dengan Niac Mitra di Stadion Pluit pertengahan
Januari penonton yang tertarik hanya sekitar 500 orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini