DARI Yogya memang belum muncul pemain bulutangkis berkaliber
Rudy Hartono atau Liem Swie King. Tapi sekolah bulutangkis sudah
muncul di sana sejak 1974. Meskipun baru taraf percobaan. Dr.
Triwibowo bersama Djiman Santoso waktu itu sangat prihatin
melihat yerkembangan klub di Yogya yang timbul tenggelam.
Berdasar pengalaman sebuah klub bulutangkis akan bubar bila
ditinggal pembinanya. Lalu timbul gagasan untuk membentuk sebuah
lembaga yang lebih mantap dan berkesinambungan. "Pilihan jatuh
pada sekolah bulutangkis," kata Triwibowo.
Secara resmi sekolah itu bernama Sinar Mataram (SM) yang berdiri
sejak akhir Februari 1975, di bawah Yayasan Pendidikan Olahraga
Sinar Mataram. Triwibowo pula yang kemudian menjadi kepala
sekolah itu. Ketua Umum PBSI yang waktu itu masih dijabat Drs.
Soedirman, menyambut gembira. Melihat kesungguhan dan
pengetahuan pembinanya, Soedirman yakin Sinar Mataram bisa
membentuk dan mempersiapkan calon juara. Benar juga. "Hampir
semua pemain top Yogya sekarang ini berasal dari sekolah
bulutangkis," kata Ir. Samsi, Ketua Pengda PBSI Yogyakarta Waktu
PON di Jakarta tahun lalu, 6 dari 8 pemain bulutangkis DIY
berasal dari SM.
Minat warga Yogya pada sekolah ini cukup besar. Setiap
pendaftaran dibuka tak kurang 50 orang anak (berumur 10 sampai
dengan 12 tahun) yang mendaftar. Mereka harus testing, seperti
berlari di tempat. Mencoba memukul shuttle cock atau sit-up dan
membayar Rp 500. "Kalau waktu dites tak bisa apa-apa, terpaksa
tak diterima," kata Kaling Sumardjo, pembina Sinar Mataram. Kini
Sinar Mataram mempunyai 93 murid untuk kelas pemula, pelengkap
dan pemula pematang. Mereka diasuh oleh 7 pembina, 4 di
antaranya dari FKIK IKIP Yogya.
Golongan Tak Mampu
Lama pendidikan 3 tahun. Pelajaran diberikan tiga kali dalam
seminggu. Masing-masing dua sampai tiga jam dimulai pukul 1
siang. Latihan fisik antara lain circuit training, yaitu latihan
merangkum semua gerakan yang diperlukan dalam permainan. Ada
juga latihan teknik, misalnya bagaimana backhand yang baik.
Sportivitas dan disiplin juga ditekankan pada sekolah ini.
Sehingga Nyonya Sianawaty Robby yang putranya beberapa kali tak
masuk karena sakit, sadar pentingnya disiplin. "Kalau tak
diminta izin takut dikeluarkan," katanya. Yang masih kurang, SM
belum punya sarana yang memadai. Sampai kini masih menyewa
Gedung Olahraga Kridosono di Kotabaru, Yogya. Kalau gedung itu
disewa untuk umum, sekolah pun diliburkan.
Sumber pendapatan dari uang sekolali Rp 2.500 - Rp 3.000 per
bulan belum bisa menunjang dana pembinaan. Untuk uang sewa
gedung sudah Rp 140 ribu sebulan. Untuk membeli shuttle cock dan
sekedar transpor pembina dan karyawan Rp 150 ribu/bulan. "Tenaga
kami gratis, karena kami memang berangkat dari kemauan," kata
Djiman Santoso, wakil kepala sekolah ini. Meskipun banyak
kekuralngan kini Sinar Mataram malah sudah berniat untuk
mengilmiahkan bulutangkis. Tapi menurut Rudy Hartono, Ketua
Bidang Pembinaan PBSI, sekolah bulutangkis akan menjadi baik
bila bukan hanya mempelajari bulutangkis tok. "Tapi juga harus
mencari sistem yang terbaik. Pola-pola permainan yang baru dan
yang lebih komplit," katanya.
Yang memprihatinkan Triwibowo sekarang adalah pembinaan terhadap
lulusan SM. "Kalau kami disuruh membina, kami harus angkat
tangan," katanya Klub-klub di Yogya dinilainya tak memadai.
Sehingga bibit yang baik itu akan kandas begitu saja. Selain itu
kemauan anak-anak itu pun kurang. Contohnya, dari 45 anak yang
dibina sejak 1975 hingga 1980, yang bertahan tinggal sembilan
orang. "Jadi yang dYopout tinggi sekali," kata Triwibowo.
Bebas Bayaran
Sekolah bulutangkis Prasetya Mulya (PM), Jakarta agak lain. Di
samping menampung anak-anak pemula bulan Juni nanti, PM akan
membina pemain tingkat taruna hingga ke jenjang nasional. Hal
ini sudah dilakukan Juni tahun lalu dan sudah melahirkan pemain
nasional, Eddy Kurniawan yang ikut memperkuat tim Indonesia ke
All England.
Dari hasil pencarian bakat, mereka kemudian dididik di Ragunan.
Kalau ternyata dalam waktu yang telah ditentukan tak berkembang,
mereka dipulangkan ke daerah asal.
Sampai tahun ini PM telah membina delapan orang. Mereka dilatih
Rudy Hartono, Christian, Minarni dan Retno Kustiyah. Setiap
bulan sekolah ini mendapat bantuan biaya pembinaan dari Yayasan
Prasetya Mulya yang didukung 70 pengusaha sebesar Rp 1,4 juta.
Uang itu digunakan untuk membeli shuttle cock, vitamin,
obat-obatan, honor pelatih dan sewa asrama. Para pemain tidak
dipungut bayaran.
Tapi untuk kelas pemula yang dibuka untuk umum (umur 8 - 14
tahun PM tetap menarik iuran sekitar Rp 10 ribu/bulan plus uang
pangkal Rp 15 ribu. Mereka masuk tanpa dites. Sesudah mendapat
pendidikan 6 bulan, mereka disaring untuk dinaikkan ke tingkat
yang lebih tinggi. "Sesudah dididik lalu keluar dan mencari klub
mana saja juga boleh," kata Retno Kustiyah, pelatih.
Direncanakan kurang lebih 60 anak yang akan ditampung. Duapuluh
dari mereka diambil dari golongan tak mampu. Gedung sekolahnya
akan dibangun di sebelah RS Fatmawati, Cilandak, Jakarta.
"Sekolah seperti itu perlu untuk pembinaan," kata Rudy Hartono.
Sebab yang dilihatnya sekarang, banyak pemain yang asal main
saja. Atau bermain bagus tapi kurang ada petunjuk berlatih
sehingga pukulannya lemah. Hal ini menurut Rudy bisa didandani
di klub atau sekolah bulutangkis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini