Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tontowi Ahmad mengacungkan tiga jari setelah menekuk pasangan asal Cina, Zhang Nan/Zhao Yunlei, di partai final ganda campuran All England 2014 di National Indoor Arena, BirmingÂham, Inggris, Ahad pekan lalu. Sedangkan rekannya, Liliyana Natsir, mendeprok di lapangan sambil mengepalkan kedua tangan.
"Kami bersyukur bisa mencetak hat-trick," kata Liliyana dengan mata berkaca-kaca. "Karena ini tidak mudah. All England adalah turnamen bergengsi dan bersejarah. Tiga gelar berturut-turut di turnamen ini menjadi hasil luar biasa."
Tontowi/Liliyana melibas Zhang Nan/Zhao Yunlei dua set langsung dengan skor 21-13 dan 21-17. Menonton duel dua ganda campuran peringkat pertama (Zhang Nan/Zhao) dan kedua (Tontowi/Liliyana) dunia ini seperti menyaksikan siaran ulang. Tahun lalu, di partai yang sama, Tontowi/Liliyana juga menaklukkan Zhang /Zhao dengan skor 21-13 dan 21-17. Bahkan durasi pertandingannya pun sama: 42 menit! Gelar All England pertama Tontowi/Liliyana diraih pada 2012.
Tiga kemenangan beruntun ini membuat Tontowi/Liliyana menyamai rekor legenda bulu tangkis dunia asal Korea Selatan, Park Joo-bong. Park bersama rekannya, Chung Myung-hee, mengoleksi gelar All England pada 1989-1991.
Hat-trick ini menggenapi kebahagiaan tim Indonesia yang berangkat ke BirmingÂham. Beberapa jam sebelumnya, duet Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan juga sukses menyabet trofi dari nomor ganda putra. Mereka mengalahkan pasangan unggulan kedua asal Jepang, Hiroyuki Endo/Kenichi Hayakawa, dua set langsung dengan skor kembar 21-19 dan 21-19. Ini menjadi kemenangan pertama tim ganda putra Indonesia setelah mandul selama 11 tahun di All England!
"Saya senang dan sangat bangga," ujar pelatih tim ganda putra Indonesia, Herry Iman Pierngadi. Ia masih teringat kemenangan Sigit Budiarto/Candra Wijaya di final All England 2003. Itu kemenangan terakhir Indonesia di ganda putra sebelum Hendra/Ahsan merebutnya lagi.
Dua gelar juara All England yang diboyong Tontowi/Liliyana dan Hendra/Ahsan, menurut Christian Hadinata, adalah hasil yang luar biasa. Meski begitu, peraih dua gelar All England pada 1972 dan 1973 ini mengaku tak terkejut.
"Karena mereka memang punya kualitas yang mumpuni," kata Christian, yang kini menjabat anggota staf khusus bidang pendidikan dan pelatihan di Pengurus Besar Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia.
Christian mengatakan sejak awal tahun ini Liliyana dan Tontowi sudah menargetkan hat-trick di All England. Begitu juga Hendra dan Ahsan. Keduanya sudah mencicipi berbagai gelar juara tapi belum pernah meraih trofi All England. Tahun lalu keduanya kandas di semifinal, sehingga motivasi mereka pun menggebu.
Kombinasi antara motivasi, jam terbang, dan teknik mumpuni inilah yang membuat keempat pemain itu kemudian sukses di All England—turnamen bulu tangkis Âinternasional paling bergengsi sekaligus paling tua. "Ini juga berkat terobosan-terobosan yang dilakukan Pak Gita," ucap Christian.
Gita yang dimaksud adalah Gita Wirjawan. Bekas Menteri Perdagangan ini mengambil alih PBSI pada September 2012. Sejak itu, ia langsung melakukan perubahan. Gita, misalnya, mengakhiri kontrak dengan Yonex, yang selama 40 tahun terakhir menjadi sponsor tunggal PBSI.
Sebagai gantinya, ia menggaet enam sponsor baru: Victor, Li-Ning, Babolat, Flypower, Astec, dan Reinforce Speed. Yonex tetap menjadi sponsor, hanya kali ini perusahaan asal Jepang itu harus rela berbagi dengan enam perusahaan sponsor lain.
Sistem kontrak pun diubah, dari semula bersifat kolektif—perusahaan sponsor mengikat kontrak dengan PBSI—menjadi kontrak individu. Dengan sistem baru ini, perusahaan sponsor bisa langsung mengontrak atlet tanpa melalui PBSI.
Di ASEAN, menurut Kepala Bidang Dana Usaha dan Keanggotaan PBSI Joseph Halim, baru Indonesia yang menerapkan konsep ini. Bahkan raksasa bulu tangkis Cina masih menerapkan kontrak kolektif, dengan Li-Ning—produsen alat olahraga—sebagai sponsornya.
Tak aneh jika atlet Indonesia kemudian jadi rebutan perusahaan sponsor. Maklum, selama ini mereka dikuasai Yonex. Nama besar semacam Liliyana, Tontowi, Hendra, dan Ahsan sudah pasti akan mendongkrak citra dan angka penjualan jika dijadikan ikon produk mereka.
Itu sebabnya, pada 22 Februari 2013, ketujuh sponsor itu langsung meneken kontrak dengan para pemain. Yonex merekrut 21 pemain (termasuk Ahsan/Hendra), Victor 24 pemain (termasuk Liliyana/Tontowi), Flypower 19 pemain, Li-Ning 9 pemain, Astec 8 pemain, Reinforce Speed 5 pemain, dan Babolat 4 pemain.
Joseph Halim mengatakan kontrak itu dilakukan langsung antara perusahaan sponsor dan atlet. Sedangkan PBSI, kata dia, "Hanya memonitor agar tak ada atlet yang dirugikan dalam kontrak tersebut."
Sebagian besar kontrak itu berdurasi dua tahun dengan nilai total Rp 33,2 miliar. Rinciannya: Rp 17,34 miliar pada 2013 dan Rp 15,86 miliar pada 2014. Besaran kontrak untuk setiap pemain tentu saja berbeda. Butet—sapaan Liliyana—dikabarkan mendapat bagian terbesar.
Ia mendapat tak kurang dari Rp 1,3 miliar per tahun. Padahal, menurut Richard Mainaky, pelatih kepala ganda campuran, Butet hanya mendapat Rp 300 juta per tahun ketika PBSI masih menerapkan kontrak kolektif. Adapun nilai kontrak Tontowi mencapai Rp 1,1 miliar pada 2013.
Pada tahun yang sama, Hendra dan Ahsan mendapat US$ 100 ribu atau sekitar Rp 1,1 miliar dari Yonex. Tahun ini, menurut Halim, nilai kontrak keempat pemain tersebut bisa melonjak hampir dua kali lipat. "Itu belum termasuk bonus jika mereka memenangi turnamen," ujarnya.
Bukan hanya para pemain senior yang mendapatkan sponsor, pemain muda pun kebagian berkah. Januari lalu, 11 pemain belasan tahun di pemusatan latihan tim nasional di Cipayung, Jakarta Timur, resmi digaet Yonex, Li-Ning, Astec, dan Victor. Nilai kontrak mereka Rp 50-200 juta per tahun.
Dengan sistem kontrak individu, semua duit dari sponsor tak lagi ditampung PBSI, tapi langsung dikirim ke rekening tiap pemain. Maka kesejahteraan para atlet pun terdongkrak. "Karena sekarang 100 persen duitnya untuk atlet," kata Halim.
Tak mengherankan jika para pemain kini lebih termotivasi meraup sebanyak mungkin trofi. Sebab, jika prestasi mereka melempem, sponsor bakal kabur. "Karena kontrak kami luar biasa, jadi kami harus berusaha memberi hasil yang luar biasa juga," ujar Tontowi.
Kondisi ini berbeda jauh ketika sistem kontrak kolektif masih diberlakukan. Saat itu, meski tak bisa meraih prestasi, pemain tak perlu risau ditinggal sponsor karena sudah ada sponsor tunggal yang dikontrak PBSI. Maka pemain kalah atau menang, "gaji" tetap jalan. Sistem ini menyeret para pemain ke zona nyaman. Akibatnya, tak ada motivasi yang menggebu. Prestasi pun terus melorot: tersingkir di Piala Thomas dan Uber 2012 dan tak pernah menang di Piala Sudirman sejak 1989.
Terobosan Gita dengan sponsor individu kemudian mengusik rasa nyaman itu. Kini pemain harus terus berkompetisi. Tak hanya agar bisa berprestasi, tapi juga agar bisa meraih kontrak tertinggi. Sistem ini menjadi dongkrak baru untuk menggenjot prestasi pemain. "Sistem ini sangat positif untuk memotivasi pemain," kata Christian Hadinata.
Selasa malam pekan lalu, rombongan tim Indonesia tiba di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Kemunculan Liliyana, Tontowi, Hendra, dan Ahsan langsung diserbu seratusan penggemar. Meski terlihat kelelahan, Hendra sudah membidik tiga gelar lagi. "Target saya berikutnya Piala Thomas, Kejuaraan Dunia (Agustus), dan Asian Games (September)."
Dwi Riyanto Agustiar, Gadi Makitan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo