Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Klenteng Siapa Punya

Sengketa lahan mendera beberapa klenteng di Tanah Air. Umat Konghucu terancam tak dapat beribadah.

17 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengumuman bertinta merah itu masih terpasang di sudut papan di ruang tak berdinding dalam area Klenteng Cung Ling Bio, Banjar Tengah, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Bali, akhir Februari lalu. Isinya melarang kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh umat di luar sekte Tri Dharma secara organisasi.

Pengurus Klenteng, William Gunarso, mengatakan pengumuman itu dipasang karena organisasi Konghucu ingin mengadakan acara di tempat tersebut. "Tidak mungkin di suatu organisasi bisa dua. Di sini namanya Tri Dharma, masak Konghucu mau gabung di sini?" ujarnya di lokasi Klenteng Cung Ling Bio, 28 Februari lalu.

Meskipun mencakup Konghucu, Tri Dharma, menurut Susasono Hadi dari Bimbingan Masyarakat Buddha Jembrana, adalah salah satu sekte dalam agama Buddha dengan majelisnya, Tri Dharma Indonesia, berpusat di Surabaya. Dia mengatakan Tri Dharma memiliki tiga ajaran, yaitu Konghucu, yang mengatur ajaran manusia dengan manusia; Tao, yang mengatur manusia dengan Tuhan; dan Buddha, yang berada di tengah-tengah.

Tak ayal larangan itu diprotes pengurus Konghucu. Sekretaris Majelis Agama Konghucu Indonesia Negara, Yuslim Hendra, menuding pengurus klenteng di ujung barat Pulau Bali itu telah merampas hak kepengurusan klenteng dari umat Konghucu. Padahal, Yuslim menambahkan, saat pembangunan klenteng itu pada 1997, dia terlibat sebagai salah satu anggota panitia pembangunan. Hingga tujuh bulan lalu, ia juga ikut memberi iuran tiap bulan. Namun, setelah itu, dia dikeluarkan dari keanggotaan.

"Karena mereka berkukuh tidak mau mengenal Konghucu," ujarnya. Dia mengakui umat Konghucu memang membentuk Majelis Agama Konghucu pada Oktober 2010, yang disahkan Kantor Kementerian Agama pada 15 Desember 2010.

Karena larangan itu, Yuslim meminta Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Bali melakukan mediasi agar umat Konghucu kembali diizinkan melaksanakan persembahyangan di Klenteng Cung Ling Bio. Seingat dia, pengumuman larangan itu ada sejak Juni 2013. "Karena tidak boleh beribadah berkelompok, kami keberatan," katanya.

Pascamediasi, yang dilakukan di kantor Kementerian Agama Jembrana, 28 Februari lalu, FKUB Provinsi Bali bersama seluruh rombongan langsung meninjau klenteng seluas 800 meter persegi itu. Dialog pun kembali dilakukan di sana. Sempat terjadi ketegangan setelah pengelola menolak melakukan pencabutan pengumuman larangan itu.

Ketua FKUB Provinsi Bali Ida Bagus Gede Wiyana mengatakan ada perbedaan prinsip dan keyakinan di antara kedua umat. Namun FKUB tidak mau masuk ke ranah keyakinan itu. "Hanya, yang terpenting sekarang umat masih bisa bersembahyang dan hidup rukun bersama-sama," ujarnya.

Dari mediasi itu dihasilkan beberapa kesepakatan penyelesaian konflik antar-umat. Di antaranya, Klenteng Cung Ling Bio tidak melarang umat Konghucu beribadah. "Asalkan mereka mendapat restu dari pengelola Konco ini," ucapnya. Selain itu, mereka bersepakat tentang adanya batasan mengenai waktu untuk beribadah di klenteng sesuai dengan aturan yang dibuat oleh pengelola.

Menurut Susasono Adi, mediasi serupa pernah dilakukan kepada kedua pihak pada 1 Maret 2013. Mediasi yang difasilitasi Kementerian Agama Kantor Kabupaten Jembrana itu juga mencapai kesepakatan serupa.

Uung Sendana L. Linggaraja, Wakil Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia, mengatakan pelarangan umat Konghucu beribadah di klenteng memiliki sejarah panjang. Pada zaman Orde Baru, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pembatasan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.

Karena terdesak, umat Konghucu pun bergabung dengan Perhimpunan Tempat Ibadah Tri Dharma—yang diakui sebagai badan keagamaan oleh pemerintah—untuk menyelamatkan aset Klenteng Cung Ling Bio. "Di situlah aset Klenteng beralih ke Yayasan Tri Dharma," ujar Uung. Hal ini, menurut dia, terjadi di beberapa daerah dengan kondisi yang hampir sama.

Di Samarinda, misalnya, sengketa lahan pengelola Klenteng Thian Gie Kiong di Jalan Yos Sudarso menyebabkan ratusan penganut Konghucu tak bisa lagi masuk ke lingkungan klenteng dan menjalankan kebaktian rutin sejak 11 Maret 2011. "Padahal sejak seratus tahun dibangunnya klenteng, kami bersama-sama menggunakan klenteng sebagai tempat ibadah," kata Tundra Kosasih, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia Kalimantan Timur.

Konflik perebutan lahan bermula saat Yayasan Dharma Bhakti berhasil mengantongi hak milik menyangkut tanah. Yayasan yang baru berdiri pada 1994 itu menguasai lahan yang berhadapan dengan pelabuhan Samarinda tersebut pada sekitar 2005. Itu terjadi setelah pihak Yayasan memenangi gugatan kepada ketua dan penasihat pengelola klenteng. Di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, Yayasan menang. Sejak menguasai klenteng dengan modal sertifikat hak milik, Yayasan langsung mengambil alih pengelolaan klenteng. "Dengan sertifikat itu, Yayasan mengusir paksa pengurus klenteng," ujar Tundra, yang kala itu menjabat sekretaris pengelola klenteng.

Ketua Yayasan Dharma Bhakti Maslan Tanzi tak menanggapi tudingan Tundra. Ia mengatakan Klenteng Thian Gie Kiong adalah rumah ibadah Tri Dharma tempat Konghucu, Tao, dan Buddha bisa beribadah. "Saya sebagai perwakilan Buddha di FKUB bertanggung jawab menjaga kerukunan umat beragama. Tak ada larang-melarang mereka yang ingin beribadah," katanya.

Ketua FKUB Kalimantan Timur Asmuni Ali mengatakan sudah pernah memediasi kedua pihak yang berkonflik setahun lalu. "Hasilnya, klenteng menjadwalkan waktu bagi umat Konghucu beribadah," ujarnya. Setelah itu, Asmuni mengaku tak pernah lagi melakukan mediasi. Ia menilai dari hasil mediasi tersebut semua masalah sudah rampung. Dalam setiap pertemuan, Maslan Tanzi dan Tundra sering bertemu dan tak ada konflik. "Tapi mereka memang saling menahan diri," ucapnya.

Menurut Tundra, umat Konghucu memilih mengalah. Dalam setahun terakhir mereka tak lagi menggelar ibadah di depan klenteng. Seorang penganut Konghucu meminjamkan rukonya di Jalan Jenderal A. Yani, Samarinda, untuk tempat kebaktian. "Setiap Rabu malam kebaktian digelar rutin di sana," ujarnya.

Kasus serupa terjadi di Pekalongan. Sengketa lahan Klenteng Po An Thian di Jalan Blimbing, Sampangan, Kota Pekalongan, berujung pada gugatan pengurus Yayasan Tri Dharma kepada pengurus Majelis Agama Konghucu Indonesia (Makin) Pekalongan pada 2 Agustus 2011. Pengurus Makin diminta membayar ganti rugi sewa lahan sebesar Rp 430 juta atau Rp 10 juta per tahun selama 43 tahun. Selain itu, pengurus Yayasan meminta dilakukan sita jaminan terhadap tanah dan bangunan yang ditempati Makin.

Namun gugatan itu ditolak. Setelah itu, giliran Sekretaris Makin Pekalongan Herman Mulyanto yang mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Semarang karena Pengadilan Pekalongan menilai penerbitan sertifikat tanah milik Yayasan Tri Dharma oleh kantor Badan Pertanahan Negara sah menurut hukum. Herman menemukan sejumlah kejanggalan di balik terbitnya sertifikat itu. Ia berkukuh klenteng itu dibangun para leluhur yang mayoritas beragama Konghucu.

Ketika proses banding Makin, Yayasan kembali menggugat lewat Pengadilan Pekalongan. Kali ini gugatan atas nama Yayasan. Di lain pihak, putusan Pengadilan Tinggi Semarang menguatkan putusan pengadilan negeri yang menolak gugatan Yayasan. Sedangkan gugatan kedua Yayasan juga ditolak. Saat ini Yayasan mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Tengah atas putusan pengadilan negeri yang menolak gugatan keduanya pada medio 2013. "Kami masih menunggu putusan banding dari Pengadilan Tinggi Semarang," kata Ketua Yayasan Tri Dharma Klenteng Po An Thian Heru Wibawanto Nugroho awal Maret ini.

Meski Yayasan Tri Dharma dan Makin Pekalongan masih bersengketa, kondisi tersebut tidak berpengaruh pada aktivitas umat Konghucu di Klenteng Po An Thian. Selain rutin menghadiri kebaktian di Lithang (tempat ceramah) Makin Pekalongan, umat Konghucu Pekalongan tetap bebas datang ke klenteng untuk berdoa. "Umat yang rutin ikut kebaktian di Lithang ada sekitar 50 orang. Kebaktian itu sekali dalam sepekan," ujar Herman.

Ketua FKUB Kota Pekalongan Ahmad Marzuki mengatakan upaya menyelesaikan permasalahan di antara kedua pihak secara kekeluargaan sudah tiga kali dilakukan. "Mediasi pernah di Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat, ruang Sekretaris Daerah, terakhir di rumah Wakil Wali Kota selaku Dewan Pembina FKUB," kata Ahmad, 2 Maret lalu.

Tapi upaya mediasi tersebut tidak membuahkan hasil, sehingga kedua pihak memilih penyelesaian masalah lewat jalur hukum. "Proses hukum yang sedang berjalan ini tidak berpengaruh sama sekali terhadap umat mereka. Secara umum situasi tetap kondusif," ujar Ahmad.

Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama Mubarok membenarkan ada sengketa di klenteng di Bali, Samarinda, dan Pekalongan. Namun ia membantah ada pelarangan ibadah umat Konghucu di klenteng. "Itu sengketa antarpengurus. Mungkin ada pengurus yang dilarang," ucapnya.

Menurut dia, persoalan yang terjadi di klenteng itu adalah sengketa aset. "Ya, nanti yang menentukan dokumen. Kalau merasa punya hak, diselesaikan di pengadilan kalau memang tidak bisa secara musyawarah," katanya.

Erwin Zachri, Putu Hery Indrawan, Firman Hidayat, Dinda Leo Listy

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus