Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Buku yang Menembus Batas

Hasil karya penulis Indonesia masih sulit menembus pasar penerbitan luar negeri. Perlu bekerja sama dengan agen naskah.

17 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepucuk e-mail mampir ke alamat Nung Atasana, Selasa malam pengujung Februari lalu. E-mail menarik itu dari sebuah penerbit terkenal di New York, yang menyampaikan minatnya menerbitkan The Question of Red, versi bahasa Inggris novel Amba yang ditulis sendiri oleh pengarangnya, Laksmi Pamuntjak.

Setelah membicarakan tawaran itu dengan penerbit PT Gramedia Pustaka Utama dan pengarangnya, Nung pun melayangkan beberapa resensi The Question of Red ke penerbit Amerika Serikat tersebut. Jauh hari ia telah menyiapkan ulasan buku itu—ditulis seorang tokoh sastra Australia dan Indonesia serta seorang wartawan Pakistan. Tak lupa Nung juga menyusulkan PDF dari novel edisi bahasa Inggris itu.

Amba, yang diperkenalkan kepada khalayak internasional dalam Frankfurt Book Fair 2013, jelas bukan jago kandang. Belakangan, penerbit Spanyol dan Italia berminat menerbitkan buku itu. Menurut Nung, ada puluhan karya penulis Indonesia yang diikutkan di pameran Frankfurt 2013 yang menarik minat penerbit luar. "Paling kurang 50 buku," ujar Nung, kini Direktur Borobudur Literary Agent (lihat boks).

Karya penulis Indonesia relatif tak dikenal di dunia internasional. Oka Rusmini, 46 tahun, harus berjuang bertahun-tahun sebelum penerbitan novelnya di luar negeri. Tarian Bumi, novelnya yang diterbitkan oleh Indonesia Tera pada 2000, baru go international tujuh tahun kemudian. Penerbit Jerman, Bad Honnef Horlemann, mengantarnya ke pasar internasional pada 2007 dengan judul Erdentanz.

Padahal Tarian Bumi memiliki daya tarik internasional. Buku ini berkisah tentang perempuan Bali yang dihadapkan pada persoalan kasta dan sering menjadi rujukan para Indonesianis, seperti Harry Aveling, Pamela Allen, dan Mikihiro Moriyama, ketika berbicara tentang Bali dan Indonesia.

Dalam paper-nya, Paradise on Earth? The Enigmatic Island, Pamela Allen merujuk pada Tarian Bumi ketika menerangkan masalah kasta. Berlainan dengan anggapan umum bahwa sistem kasta adalah relatif sederhana di Bali, Tarian Bumi menampilkan hal sebaliknya. Novel itu menceritakan empat generasi perempuan Bali yang hidupnya didominasi terutama oleh dua kerinduan: keinginan menjadi cantik dan bersuamikan seorang brahmana. Dua hal yang tak selalu sukses mendatangkan kebahagiaan.

Tak memiliki agen naskah, Oka memanfaatkan setiap kesempatan bertemu dengan penerbit luar. Perjuangannya dimulai dengan membuat rilis berisi ringkasan semua buku karyanya dalam bahasa Inggris. "Rilis seperti booklet dan dibagikan kepada orang-orang yang saya lihat ada peluang." Di Singapore Writers Festival dan Ubud Writers Festival, ia memperkenalkan diri dan membagikan rilis kepada semua orang yang berpotensi menerbitkannya.

Pucuk dicita ulam tiba. Dalam sebuah undangan diskusi penulis tamu di Universitas Hamburg pada 2003, tiga tahun setelah Tarian Bumi diterbitkan, peluang itu terbuka. Bad Honnef Horlemann menawarkan diri untuk menerbitkan bukunya. "Penerbitan itu suatu kebetulan," ujarnya.

Setuju untuk diterbitkan, Oka menyerahkan segenap urusan penerjemahan kepada penerbit itu. Tidak mengerti soal kontrak, ia juga meminta beli putus hak cipta untuk rentang waktu tertentu. "Saya tidak tahu harus menetapkan biaya berapa jika dengan royalti," katanya. Sikapnya itu juga didasari kekhawatiran bahwa penulis Indonesia belum punya daya tawar kuat terhadap penerbit asing.

Memang, sejak diterbitkan di Jerman, Tarian Bumi seperti bergerak memasarkan dirinya sendiri. Penerbit Inggris dan Swiss pun menawarinya dan kemudian menerbitkan buku itu. Oka kini sedang menunggu tawaran dari penerbit dari Italia.

Menurut Oka, tugas menghadapi penerbit luar negeri seharusnya diambil alih oleh agen naskah Indonesia. Penulis Indonesia, dia menambahkan, tidak memiliki cukup waktu dan kemewahan seperti penulis di luar, yang bisa mapan dari menulis. "Penulis kita tidak menangani seperti di luar negeri," ujarnya.

Nasib Oka Rusmini seperti nasib Eka Kurniawan, 38 tahun. Enam tahun menunggu, barulah penulis Cantik Itu Luka (2002) dan Lelaki Harimau (2004) ini berhasil menerbitkan kedua bukunya tersebut di luar negeri. Penerbit Jepang, Shinpusha, menerbitkan novel Cantik Itu Luka pada 2006. Proses penerbitan buku tentang penderitaan seorang perempuan yang dipaksa menjadi pelacur di zaman kolonial itu terbilang mulus.

Seorang penerjemah Jepang di Semarang, Ribeka Ota, tertarik pada karya Eka itu dan menerjemahkannya tanpa setahu Eka. Ribeka kemudian menawarkan kepada penerbit di Jepang. Penerbit Jepang menghubungi Eka dan penerbit bukunya. Setelah dicapai persetujuan, proses selanjutnya ditangani agen naskah Tuttle-Mori Agency. Agen inilah yang membuat kontrak antara pengarang dan penerbit.

Saat ini Cantik Itu Luka dan Lelaki Harimau sudah teken kontrak dengan penerbit di Amerika, Inggris, dan Prancis. Untuk ketiga penerbitan ini, Eka juga tidak menggunakan agen naskah. Cantik Itu Luka dikontrak penerbit Amerika, New Directions Publishing, setelah ada yang menerjemahkannya tanpa setahu Eka. Sedangkan Lelaki Harimau dikontrak oleh penerbit dari London dan Prancis.

Erwin Zachri


Borobudur Menembus Penerbit Luar

Borobudur Agency dibentuk oleh Ikatan Penerbit Indonesia pada pertengahan 2013. Agen ini didirikan untuk mengantisipasi persiapan Indonesia sebagai tamu kehormatan pameran buku Frankfurt pada 2015.

Literary agent atau agen naskah belum lazim di Indonesia. Agen naskah Maxima Creative Agency, misalnya, sekadar berfungsi sebagai penjual, yang mewakili penerbit luar negeri untuk menjual hak cipta kepada penerbit Indonesia. Sedangkan Borobudur mewakili penerbit dan pengarang Indonesia untuk menjual hak ciptanya ke luar negeri.

Tak tersedianya agen naskah lokal memaksa beberapa penulis Indonesia menggunakan agen dari luar negeri. Pramoedya Ananta Toer, Richard Oh, dan Leila S. Chudori, misalnya, menggunakan Pontas Literary Agent, yang berpusat di Barcelona. "Indonesia memang tertinggal jauh sekali soal literary agent," ujar Leila.

Adapun Andrea Hirata menggunakan Kathleen Anderson Literary Management, New York, sebagai agen naskah untuk buku Laskar Pelangi. "Laskar Pelangi telah diterbitkan ke 19 bahasa dari rencana 30 bahasa," kata Selvy dari manajemen Andrea.

Nung Atasana mengatakan kini Borobudur tengah mencari dan menyeleksi konten Indonesia yang kira-kira pas dipasarkan kepada penerbit luar negeri. Untuk pengarang yang sudah siap menjual hak ciptanya ke luar negeri, mantan International Marketing General Manager PT Gramedia Pustaka Utama ini menganjurkan agar karya bahasa Indonesia diterbitkan dulu sembari menyiapkan edisi bahasa Inggris. "Tanpa terjemahan tidak mudah. Agen naskah tidak berikan itu," ujarnya.

Leila menyatakan hal yang sama. Menurut penulis novel Pulang ini, jika menggunakan agen naskah asing, sebaiknya buku sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris. Sayang, Pulang belum diterjemahkan sewaktu penerbit luar tertarik.

Penerjemah dan Ketua Yayasan Lontar, John McGlynn, memang sudah mempunyai kontrak kerja sama dengan Pontas Literary Agency. McGlynn menawarkan beberapa judul dan Pontas memutuskan mengambil novel Pulang dulu untuk langkah pertama setelah membaca draf awal penerjemahan novel itu. Pontas juga menjadi wakil Leila untuk penerjemahan selain bahasa Inggris.

Selesai diterjemahkan, naskah diedit oleh editor internasional. Langkah terakhir, Pontas akan menawarkan kepada beberapa penerbit besar agar distribusinya meluas, melampaui Asia. "Itu untungnya menggunakan literary agent. Tentu saja nantinya ada pembagian persentase," katanya.

Untuk buku sastra, Amba karangan Laksmi Pamuntjak dan Pengakuan Eks Parasit Lajang karya Ayu Utami berhasil menarik minat penerbit luar. Nung mengatakan Amba sudah tersedia dalam bahasa Inggris dan Indonesia, sementara karya Ayu sedang dalam penerjemahan. Selain itu, buku anak-anak karangan Murti Bunanta cukup banyak diminati.

Nung mengatakan saat ini Borobudur Agency menjalin kerja sama dengan agen naskah di lima negara, yaitu Turki, Korea Selatan, Thailand, Cina, dan Malaysia. "Salah satu keuntungan menggunakan literary agency, mereka sudah punya kontak dan mengetahui ke penerbit mana naskah itu akan ditawarkan. Agen juga menyaring naskah itu berbobot atau tidak," ujarnya.

Erwin Zachri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus