Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Korupsi atau Salah Prosedur?

Duta Besar Indonesia untuk Singapura dipulangkan. Karena soal uang?

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA Anda mengeluh kenapa Singapura terlalu bersih dan terlalu steril, cobalah masuk ke sebuah gedung di Jalan Chatsworth. Ada suasana alternatif di situ. Di salah satu ruangannya, puntung-puntung rokok—sampah yang haram dibuang sembarangan di negeri itu—bebas berserakan. Tidak hanya itu, pipa saluran airnya mampet. Padahal tak jauh dari tempat itu terdapat sebuah kantin yang menjadi tempat santap siang para pegawai kantor. Aroma tak sedap sering berbaur dengan menu makan siang. Gedung Kedutaan Besar Indonesia itu memang seperti gubuk di negeri paling resik tersebut. Beberapa ruangannya tak terawat. Kertas pelapis dindingnya sudah banyak yang terkelupas. "Dah tak ada dana untuk ganti, mungkin," ujar salah seorang staf kedutaan dengan logat Melayu. Benarkah? Masa sih Departemen Luar Negeri tak sanggup lagi memperbaiki kantornya sendiri? Pernyataan staf itu tidaklah mengejutkan bila disandingkan dengan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang disampaikan di parlemen, akhir September lalu. Menurut laporan lembaga itu, bersama kedutaan besar di Cina, Kedutaan Besar Indonesia di Singapura kurang biaya akibat korupsi: penyimpangan pengelolaan uang negara bukan-pajak. Kategori penyimpangannya tak main-main, di atas rata-rata! Jumlah dana yang belum disetor ke rekening Bendaharawan Penerima Sekretariat Jenderal Departemen Luar Negeri, menurut laporan itu, lumayan besar, yakni US$ 7,4 juta atau sekitar Rp 66 miliar. Padahal dana itulah yang dipakai untuk kelangsungan kegiatan di kedutaan itu sendiri, termasuk tentu saja perawatan gedung. Selain itu, BPK mencatat adanya konflik kepentingan yang rawan menimbulkan korupsi: bendaharawan rutin perwakilan Indonesia di Singapura dan Beijing ternyata merangkap fungsi sebagai bendaharawan penerima. Jelas ini tidak sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN. Ke manakah perginya duit itu? Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda menyatakan penyimpangan yang ditemukan oleh BPK pada April 2002 semata terjadi karena keterlambatan penyetoran. Pada Juli 2002, seluruh dana tersebut sudah berada di kas negara di Jakarta. "Jadi, tidak ada yang dikorupsi," kata dia. Meski demikian, tindakan Hassan memulangkan Duta Besar Indonesia untuk Singapura, Johan Syahperi, pada 1 Agustus lalu memunculkan kecurigaan. Biasanya seorang duta besar bertugas 3 sampai 4 tahun, sedangkan Johan sendiri baru bertugas kurang-lebih satu setengah tahun. Apalagi, setelah pemulangan itu, Johan dalam status tidak memiliki pekerjaan hingga sekarang. "Di situ kami sudah curiga," kata Joko Susilo, anggota Komisi I DPR, yang mengurusi soal luar negeri dan pertahanan. Saat berkunjung ke Singapura Juli lalu, dia melihat Johan kehilangan semangat. Dan belakangan, Hassan memang mengakui pemanggilan pulang itu berkaitan dengan soal uang. Oleh bawahannya, Johan dikenal memiliki gaya hidup mewah. "Istrinya paling sering berbelanja barang mewah," kata seorang staf yang menolak disebut namanya. Dari segi prestasi, diplomat karir yang dikirim ke Singapura pada September 2000 itu juga dinilai tidak istimewa, bahkan cenderung buruk. Baik dalam soal pencurian pasir maupun terorisme, kata staf tadi, Johan lebih banyak cuek. Bagaimanapun, prestasi buruk tidak selalu berarti korup. Sementara TEMPO tak bisa menghubungi Johan, juru bicara kedutaan di Singapura, Nining J. Rochadiat, menjelaskan bahwa penyimpangan itu bukan merupakan korupsi. "Itu terjadi karena kesalahan prosedur administrasi saja," katanya. Munculnya keperluan mendadak, kata Nining, memaksa kedutaan memakai uang yang seharusnya disetor ke rekening Menteri Keuangan. Departemen Luar Negeri mengatakan masih terlalu awal berbicara soal sanksi. "Kasus ini masih dalam tahap pemeriksaan," kata Marty Natalegawa, juru bicara departemen itu. "Inspektorat jenderal sedang melakukannya. Apa hasilnya, kita belum tahu," katanya. Namun Joko Susilo, yang melihat bahwa kasus ini cenderung merupakan bentuk korupsi, meragukan prospek pemeriksaan itu. Dalam beberapa kasus, kata dia, banyak pelanggaran yang terjadi di lingkungan Departemen Luar Negeri menguap begitu saja. "Kasus seperti ini tidak pernah sampai ke pengadilan, selalu dipetieskan. Deplu selalu menganggap masalah itu sebagai persoalan internal." Irfan Budiman, Fajar W.H., Rumbadi Dalle (Singapura)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus