JANGAN harap sekarang bisa bertemu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Maluku di kantornya di Ambon. Pekan lalu, mereka ramai-ramai—sedikitnya 40 orang—datang ke Jakarta. Pelesir? Tidak. Mereka mendatangi kantor Departemen Dalam Negeri untuk menemui Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno. Tujuannya: menyampaikan hasil sidang paripurna DPRD setempat, awal pekan lalu, yang menolak penundaan pemilihan Gubernur Maluku.
Sikap mereka merupakan reaksi terhadap keputusan Jakarta. Hari Sabarno dalam suratnya kepada pimpinan DPR Daerah Maluku, 17 September lalu, meminta agar para wakil rakyat di ibu kota Provinsi Maluku itu menunda proses pemilihan gubernur sampai ada hasil konsultasi lebih lanjut antara penguasa darurat sipil daerah dan pusat.
Isi surat Hari tersebut mengundang reaksi keras dari DPRD Maluku. Betapa tidak? Hingga akhir September lalu, mereka telah menyelesaikan proses pendaftaran para calon gubernur dan wakilnya. Hingga kini tercatat tak kurang dari 20 kandidat yang akan memperebutkan kursi M1 (Maluku 1, gubernur) dan M2 (wakil gubernur).
Di antara para kandidat itu terdapat M. Saleh Latuconsina. Gubernur Maluku yang segera habis masa jabatannya ini kembali maju bertarung dengan para calon lain. Mereka adalah Ketua DPRD Ambon, Z. Sahuburua, S.H.; Rektor Universitas Pattimura, Mus Huliselan; Ketua Pengurus Pusat Partai Golkar, Freddy Latumahina; dan Presiden Direktur PT Kwarta Daya Pratama, Yusuf Rahimi.
Hari dan tanggal pemilihan para kandidat pun telah ditetapkan: Selasa, 29 Oktober. Namun, tekad DPRD menggelar proses suksesi terganjal keputusan Menteri Dalam Negeri. Menurut Saleh Latuconsina, alasan Jakarta lebih pada "prediksi pusat terhadap keadaan keamanan di Maluku menjelang suksesi".
Alasan Jakarta terbukti. Tiga hari berturut sepanjang pekan kemarin, misalnya, teror bom menghajar Ambon. Jantung pegawai Kantor Pos dan Giro dan ratusan siswa SMU Negeri 1 Ambon sempat kembang-kempis gara-gara ancaman peledakan bom per telepon. Sejauh ini polisi cuma menemukan satu bom rakitan di Warung Telekomunikasi Mima di Jalan Yan Pays. Satu bom lainnya yang ditemukan di kawasan Batu Gantung telanjur meledak ketika tengah diamankan di pos militer setempat. Enam orang pun cedera.
Tapi, apakah ledakan bom rakitan itu benar-benar akibat konflik antar-kelompok masyarakat? Wakil Ketua DPRD Ambon, John Mailoa, mencium bau rekayasa di balik maraknya aksi peledakan yang meneror warga kotanya. Beberapa rekan kerja John sesama wakil rakyat juga mengendus bau serupa.
Berlainan dengan sikap Jakarta, para wakil rakyat di Maluku melihat kondisi daerahnya masih cukup layak untuk menggelar pemilihan gubernur dan wakilnya. John mengaku tak heran jika teror bom yang kembali marak belakangan dijadikan "pembenaran" bagi keputusan pemerintah pusat membekukan pemilihan gubernur dan wakilnya untuk periode 2002-2007.
Itulah yang mendorong para nyong Ambon rame-rame pata cengke ke Jakarta. Namun, Hari Sabarno berkukuh agar para wakil rakyat Maluku melihat lebih dulu status daerahnya—yang status darurat sipilnya masih belum dicabut oleh pemerintah pusat. Artinya, kata Hari, "Kegiatan politik yang berjalan, termasuk suksesi kepala daerah, harus seizin penguasa darurat sipil pusat." Ia menepis tudingan adanya pertimbangan bahaya gerakan Republik Maluku Selatan di balik keputusannya.
Namun, izin atau restu dari pusat ini di mata sebagian anggota DPRD tidak konsisten. Peraturan Pemerintah No. 23/1959 tentang Keadaan Bahaya, yang menjadi dasar penetapan status darurat sipil, ternyata tidak diberlakukan oleh Jakarta ketika warga setempat menggelar pemilihan Wali Kota Ambon dan tiga bupati.
Inkonsistensi inilah yang mendorong para wakil rakyat Maluku ramai-ramai datang ke Jakarta. Selain dengan Hari Sabarno, mereka juga minta bertemu dengan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Kepala Polisi Republik Indonesia, Jenderal Da'i Bachtiar. Mereka mendesak pencabutan surat keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut.
Widjajanto, Friets Kerlely, Deddy Sinaga, dan TNR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini