Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Emas Dapat, Mutu ...

2 emas diraih Nico Thomas, 20, di kls layang terbang & Adrianus di kelas bulu pada kejuaraan piala presiden ke-9. Mutu kejuaraan merosot. Ketetapan pembatasan peserta oleh panitia banyak dikritik.

15 Februari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEGAGALAN Pertina mencapai target yang dijanjikan, pada SEA Games Bangkok baru-baru ini, tampaknya jadi pelajaran. Menurunkan kembali atlet-atletnya, di kejuaraan Piala Presiden ke-9 yang barlangsung sepekan semenjak 2 Februari di Senayan, pengurus tinju amatir itu tidak lagi menjanjikan target yang diinginkan. Maka, ketika di akhir kejuaraan tinju itu, Minggu malam pekan lalu, dua dari delapan petinju mereka yang masuk final merebut emas, siapa berani bilang itu bukan prestasi. Apalagi, jika dibandingkan dengan hasil nihil emas pada kejuaraan tahun lalu. Bisa merebut dua emas masing-masing dari Nico Thomas, 20, di kelas layang terbang (berat badan 45 hingga 48 kg) dan Adrianus Taroreh yang gilang-gemilang di kelas bulu (lihat Boks) di kejuaraan yang diikuti sekitar 60 petinju dari 13 negara, prestasi petinju Pertina kali ini bisa dianggap memadai. "Tinju tak sama dengan adu lari yang bisa ditargetkan," alasan Ketua Umum Pertina Saleh Basarah kepada TEMPO. Boleh jadi ia memang kapok bikin target-targetan. Buat Indonesia, hasil di Istora Senayan tahun ini, seperti diutarakan dengan bersemangat oleh Ketua Panitia Penyelenggara merangkap Ketua Bidang Pembinaan Pertina Bob Nasution, "Memuaskan." Tetapi, beberapa negara peserta sempat mengkritik penyelenggaraan kejuaraan yang sudah berlangsung sejak 1976 itu. Hampir semua peserta menilai mutunya tahun ini merosot. Pertama, kata Lee Kyu Man, 52, manajer tim Korea Selatan, karena absennya regu kuat juara umum tahun lalu, Amerika Serikat, dan Filipina. Dan yang kedua, "Saya agak menyayangkan, kejuaraan yang sudah diakui AIBA (Asosiasi Tinju Amatir Internasional) makin tak menyeleksi peserta yang ikut," kata Lee. Contoh, katanya lagi, ada negara yang datang dengan petinju pilihan. Korea Selatan, yang dalam kejuaraan itu juga memperoleh dua medali emas, misalnya, antara lain membawa Whang Kyung Sup, juara yunior dunia, kelas layang. Tapi, ada negara lain, Kuwait umpamanya, yang membawa petinju tak berpengalaman. Yang juga dikritik, misalnya oleh peserta dari Uni Soviet, adalah diberlakukannya pembatasan bagi peserta dari Eropa dan AS untuk ikut di semua kelas. Panitia memang sudah menetapkan mulai tahun ini tidak membolehkan petinju dari AS dan Eropa ikut bertanding di kelas atas (berat, ringan-berat, dan menengah). "Untuk memberi kesempatan bagi petinju Asia, termasuk kita, merebut medali emas," kata Bob Nasution. Tapi pembatasan ini disayangkan. "Kami jadinya hanya bisa ikut pada 8 kelas dari biasanya 11 kelas pada kejuaraan sebelumnya," kata Artem Lavrov, 52, pelatih kepala tim Uni Soviet. Ia tetap menganggap pembatasan tersebut mengurangi mutu kejuaraan. Lavrov bisa memahami apa yang diinginkan negeri Asia, termasuk tuan rumah, dari pembatasan itu. Namun, ia menilai itu tak bijaksana. "Kenapa tak dibatasi saja usia peserta di kelas-kelas atas itu," ujarnya. Jika ini yang dilakukan, katanya, mereka tahun depan bisa mengirim petinju yuniornya. Cara pembatasan yang sekarang dilakukan dianggapnya terlalu sepihak. "Mungkin ini yang menyebabkan tim AS tak jadi datang," sambungnya agak menduga-duga. Ketidakhadiran AS memang sempat merepotkan panitia. Misalnya, mereka terpaksa membeli piala baru -- pengganti piala bergilir yang kini disimpan AS sebagai juara umum tahun lalu -- buat diperebutkan para peserta yang ikut sekarang. Saleh Basarah mengatakan, panitia sebenarnya sudah lama mengundang tim AS. "Mungkin mereka tak punya dana buat datang kemari," katanya sambil membantah ketidakhadiran AS itu menurunkan pamor kejuaraan kali ini. Kepada TEMPO Sekretaris Jenderal AIBA, Profesor Anwar Chowdori, juga tidak sependapat dengan penilaian beberapa peserta tentang kemerosotan pamor kejuaraan kali ini. AS, katanya, memang regu kuat. Tapi, bukan yang terkuat. Jadi, tak mutlak bisa dianggap penyebab mundurnya kualitas kejuaraan. "Keputusan mengadakan pembatasan itu baik. Soalnya, dari pengalaman selama ini, di kelas atas tadi, amat sering petinju Asia jadi korban KO petinju Eropa dan Amerika," kata Chowdori. Jadi, mungkin supaya itu tak terus terjadi, dan agar perolehan medali bisa merata, ia mengesampingkan keluhan yang menilai pembatasan itu merendahkan mutu kejuaraan. Padahal, pembatasan itu pun sesungguhnya tak sepenuhnya menggembirakan negara peserta dari Asia. Korea Selatan misalnya. "Kami perlu bertanding lawan mereka untuk bisa dapat pengalaman. Atau setidak-tidaknya melihat mereka bertinju di atas ring," kata Lee Chung Ha, pelatih yang sudah tiga kali mendampingi para petinju Korea Selatan ke kejuaraan Piala Presiden. Ini agaknya bisa diartikan agar kejuaraan yang sekarang diselenggarakan dengan dana sekitar Rp 140 juta itu dipertahankan mutunya. Bukan sekedar jadi ajang untuk perebutan medali emas sala, tanpa peserta yang berbobot. MS Laporan T.H. & A.S. (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus