Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Surat Panas Mahkamah Konstitusi

Surat MK ke Presiden menyulut kontroversi politik. Pemerintah tetap menolak membatalkan keputusan menaikkan harga BBM.

17 Oktober 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepucuk surat dilayangkan oleh Ke-tua Mahkamah Konstitu-si (MK), Jimly Asshiddiqie, kepada Pre-siden Susilo Bambang Yudho-yono. Isinya, MK memperta-nya--kan me-nga-pa peraturan pre-siden ten-tang kenaik-an harga bahan bakar mi-nyak mengacu pada U-ndang-Undang No-mor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. ”Kenapa bukan pada revisi MK atas dasar Undang-Undang Migas yang telah dilakukan putusan judicial review pada tanggal 21 Desember 2004 lalu,” tulis Jimly Asshiddiqie.

Surat MK yang dikirim pada 6 Okto-ber lalu itu, yang ditembuskan kepada enam lembaga tinggi termasuk ke Ke-tua DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), langsung membuat heboh. Sejumlah tokoh memberi reaksi terhadap surat itu dengan berbagai penafsiran. Ketua DPR Agung Laksono, mi-salnya, meminta agar surat MK tidak masuk ke wilayah politik. ”Saya ingatkan agar Ketua MK tidak memasuki wilayah politik,” kata Agung.

Reaksi yang lebih keras datang dari Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Ma-hendra. Dia mengatakan bahwa MK tidak berwenang mengingatkan atau me-negur pemerintah. Menurut Yusril, jika ada putusan MK yang dilanggar pemerintah, yang berwenang mengingat-kannya adalah DPR. ”Sebagai ustad, bo-leh bicara begitu (mengingatkan presi-den). Tetapi, sebagai Ketua MK, dia (Jim-ly) tidak dapat mengingatkan presi-den bahwa presiden salah,” kata Yusril.

Menghadapi deraan kritik itu, Jimly Asshiddiqie bergeming. Surat yang dikirimkan itu dianggapnya bersifat informatif dan tidak mencampuri urusan pe-merintah. ”Kami ha-nya menjalankan tugas untuk menjamin putus-an MK ti-dak diabaikan,’’ ujar Jimly. Surat ini adalah reaksi terhadap pemberlakuan Per-aturan Presiden Nomor 55/2005 (tentang harga jual eceran BBM dalam nege-ri). Peraturan ini yang kemudian dijadikan dasar pemerintah untuk menaikkan harga BBM pada 30 September lalu.

Menurut Jimly, peraturan tersebut meng-gunakan rujukan konsiderans yang tidak mempertimbangkan putusan MK, yakni merujuk pada Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Padahal, undang-undang itu telah direvisi MK tahun lalu atas permohonan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia. Dalam putusannya tanggal 21 Desember tahun lalu, MK menyatakan ada tiga pasal, antara lain pasal 28 ayat (2) yang menyebutkan ”Harga BBM dan gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar”, yang dinilai tidak memi-liki kekuatan hukum yang meng-ikat karena bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

Karena itu, menurut Jimly, penetap-an harga BBM dalam Peraturan Presi-den Nomor 55 tersebut tidak bisa menga-cu pada Undang-Undang No. 22/2001 ka-re-na undang-undang tersebut, terutama pasal 28 ayat (2) dan ayat (3), telah dikoreksi.

Masih menurut Jimly, suratnya kepada Presiden itu bukan untuk menilai kebijakan pemerintah ataupun materi Peraturan Presiden No. 55/2005, melain-kan soal ketertiban tata negara saja. ”Meng-ingat undang-undang (22/2001) yang dijadikan rujukan dalam konside-rans perpres (nomor 55) tidak mempertim-bangkan putusan MK, maka kami mengingatkan bahwa keputusan MK itu berlaku final dan mengikat,” kata Jimly.

Meskipun dinyatakan tidak menilai kebijakan pemerintah, tak urung surat MK tersebut menyulut emosi sejumlah pejabat pemerintah. Yusril, misalnya, meski menilai dalam surat MK itu tidak ada hal yang prinsipiil dan bersifat netral, menilai surat tersebut bisa membawa implikasi politik. ”Beberapa anggota DPR juga mengatakan (surat) ini akan dija-dikan dasar impeachment kepada Presiden,” kata Yusril.

Pernyataan soal kemungkinan im-peach-ment memang muncul. Wakil Ke-tua DPR Zainal Ma’arif menyatakan, surat Ketua MK dapat membuka peluang pemikiran anggota DPR/MPR untuk melakukan impeachment terhadap Presiden. ”Presiden bisa di-impeach de-ngan landasan surat MK. Tapi rasanya kok sulit karena impeachment perlu bia-ya besar,” ujar Zainal Ma’arif. Pandang-an Zainal juga dibenarkan Wakil Ke-tua Fraksi Kebangkitan Bangsa, Effendy Choiri. Meskipun surat MK menunjukkan adanya pertentangan antara Undang-Undang No. 22/2001 dan Peraturan Presiden No. 55/2005, sulit kiranya anggota DPR menjatuhkan Presiden.

Sebab, katanya, saat ini Presiden masih didukung partai penguasa, yaitu Gol-kar dan Demokrat. Partai lain, kecuali PDI Perjuangan, menurut Choiri kondisinya masih dalam kendali pemerintah. ”PKB juga sedang diganggu, sulit bergerak,” kata Choiri kepada Yophiandi dari Tempo.

Namun, meskipun peluang impeachment sangat kecil, Yusril mengatakan surat Ketua MK tersebut perlu ditanggapi karena persoalan surat tersebut te-lah menjadi perdebatan publik. ”Harus diluruskan agar informasinya balance, nanti terserah rakyat yang menilai siapa benar dan siapa salah,” kata Yusril

Pemerintah memang telah menanggapi surat Jimly. Seusai rapat kabinet terba-tas Senin pekan lalu, Menteri Koordina-tor Perekonomian Aburizal Ba-kri mengatakan bahwa penetapan harga BBM yang diatur dalam Peraturan Pre-siden No. 55/2005 tidak melanggar undang-undang. ”Dalam perpres tersebut harga BBM tidak diserahkan ke mekanisme pasar, tetapi disesuaikan de-ngan harga keekonomian yang bisa naik atau turun,” kata Aburizal.

Karena itu, menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, pemerintah belum berni-at merevisi kebijakan kenaikan harga BBM yang telah diputuskan dua pekan lalu itu. Pemerintah, kata Purnomo, juga tidak akan membatalkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001. ”Kami ha-nya akan menyesuaikan tiga pasal (yang telah dikoreksi Mahkamah Konstitusi),” kata Purnomo kepada Dimas Adityo dari Tempo.

Meskipun pemerintah bersikukuh tidak akan mengubah kebijakan kenaik-an har-ga BBM, sejumlah anggota DPR justru menilai surat MK sebagai ”warning” ke-pada pemerintah. Bagi Zai-nal, surat MK tersebut terkesan multitafsir, mi-sal-nya mengapa dulu pasif dan seka-rang ak-tif. ”Jadi, pemerintah harus tang-gap,” ka-ta politisi dari Partai Bintang Reformasi ini.-

Bahkan, surat MK ini bisa mendorong anggota DPR untuk mengkritisi kembali kebijakan kenaikan harga BBM yang diputuskan pemerintah. Senin pekan la-lu, misalnya, Fraksi PKB mengajukan per-mohonan kepada Ketua DPR Agung Laksono agar dilakukan sidang paripurna luar biasa untuk meninjau kenaik-an BBM yang kini dampaknya dinilai me-nyulitkan masyarakat. ”Kami tak me-nyangka kenaikan harga BBM menjadi dua kali lipat,” kata Badriyah Fayumi, Wakil Sekretaris Fraksi PKB.

Selain PKB, anggota Fraksi PDIP juga te-lah menggalang upaya dilakukan-nya hak interpelasi untuk memanggil Presi-den. ”Sudah ada sepuluh anggota yang tan--da tangan,” kata Jacobus K. Mayongpa-dang, Sekretaris Fraksi PDI Per-juang-an. Jum-lah pendukung hak interpelasi ini ten--tu sangat kecil diban-dingkan dengan ang-gota DPR yang menolak interpelasi. ”Ng-gak mungkin berhasil,” ka-ta Idrus Mar-ham, anggota DPR dari Fraksi Golkar.

Meskipun dukungan dari DPR kecil, anggota Fraksi PDI Perjuangan yakin langkahnya itu mendapat dukung-an masyarakat. ”Bolanya sekarang ada di masyarakat,” kata Ketua Fraksi PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo. Dengan surat MK itu, kata Tjahjo, masyarakat bisa mengajukan gugatan kepada Mahkamah Agung atau DPR tentang dua produk hukum yang bertentangan tersebut.

Gugatan memang telah dilakukan. Ma-syarakat Hukum Indonesia, Jumat pekan lalu, telah mengajukan hak uji materiil Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 ke Mahkamah Agung. Uji mate-riil itu dilakukan karena Peraturan Presi-den No. 55 tidak berlandaskan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 yang telah dikoreksi MK. ”Perpres tersebut bertentangan de--ngan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 (tentang pembentukan peratur-an perundang-undangan),” kata Kamal. Maka, bola politik yang disepak dari Mah-kamah Konstitusi dan sempat digocek di Se-nayan itu kini bergulir ke Mahkamah Agung.

Zed Abidien, Rengga Damayanti, Maria Ulfah (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus