Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sehari menjelang acara amal Run to Rebuild, yang dimulai pada Sabtu pekan lalu, Hendra Wijaya justru merasa lebih santai. Tak ada lagi latihan yang digeber. Dia memilih menikmati harinya dengan beristirahat. ”Sekarang tinggal menikmati nonton dan makan saja,” kata pria yang dikenal sebagai pelari ultramaraton itu.
Bersama timnya, Hendra sudah menyusun rapi logistik, nutrisi, makanan, dan pakaian di kendaraan pengiring. Meski memiliki tim kesehatan dan ambulans sendiri, dia masih mengepak perlengkapan medis terpisah di kendaraan logistik untuk berjaga-jaga. Hendra bahkan menyiapkan delapan pasang sepatu lari. ”Antisipasi kalau hujan,” ujarnya, Jumat pekan lalu. ”Biar nyaman karena perjalanan jauh sepatu cepat aus.”
Hendra akan berlari sejauh 2.400 kilometer dalam lomba lari donasi untuk membantu warga yang terkena dampak gempa di Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tengah itu. Dimulai dari gedung Balai Kota Bogor, Jawa Barat, pada 17 November, Hendra akan berlari dalam 24 hari dan finis di Palu. ”Lawan pelari sebenarnya dirinya sendiri,” kata Hendra, yang pernah berlari di pegunungan Himalaya dan Alpen, Gurun Gobi, hingga Kutub Utara.
Meski Run to Rebuild dibuat sebagai acara amal, Hendra sengaja memasang target tempuh layaknya mengikuti lomba. Setiap hari dia akan menempuh jarak 100 kilometer dengan waktu kurang dari 18 jam. Target waktu tersebut menjadi standar kualifikasi untuk lari ultramaraton sejauh 100 kilometer. ”Saya ingin di bawah 16 jam supaya bisa beristirahat lebih maksimal,” ujarnya.
Olahraga lari jarak jauh membawa perubahan besar dalam hidup Hendra. Dia keranjingan berlari setelah mengalami kecelakaan sepeda yang membuat tangan kirinya patah pada 2008. ”Belajar sendiri, enggak pernah juga pakai pelatih, apalagi berlatih di trek kayak atlet itu,” kata Hendra, yang merupakan pemilik perusahaan garmen PT Rajawali Mulia Perkasa.
Berawal dari sekadar lari-lari hanya untuk menjaga kondisi tubuh, Hendra menjajal maraton, triatlon, dan ultramaraton. Dia orang Indonesia pertama yang berlari sejauh 566 kilometer dalam delapan hari di Kutub Utara pada 2015. Hendra juga menyelesaikan Legends 5, lima lomba ketahanan tubuh dengan jarak lebih dari 300 kilometer. ”Awalnya penasaran saja, ternyata bisa juga, ya,” ujar Hendra, 52 tahun.
Rasa penasaran juga membawa Adita Irawati terjun ke dunia lari jarak jauh. Awalnya dia hanya menikmati kegiatan lari santai bersama anak-anaknya di taman dekat rumahnya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Adita bahkan tak punya latar belakang olahraga lari. ”Enggak kejar target apa pun, cuma mencoba 3 kilometer ternyata bisa, akhirnya diteruskan,” kata anggota staf khusus presiden itu di kantornya, awal November lalu.
Adita menjajal kompetisi lari pertama ketika bekas perusahaannya, PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel), menggelar lomba lari 5 kilometer (5K) dan 10 kilometer pada 2013. Ikut di kategori 5K, mantan Vice President Corporate Communications Telkomsel itu menyelesaikan lomba lebih cepat dari waktu yang ditetapkan panitia. ”Dapat medali jadi motivasi saya dan tertantang ikut lagi,” ujar Adita, tertawa.
Sejak saat itu, Adita kian keranjingan berlatih dan ikut lomba. Kawasan Senayan dan Monumen Nasional menjadi lokasi latihan yang paling sering didatangi karena dekat dengan kantornya. Dalam sepekan, setidaknya dia berlatih empat kali masing-masing sejauh 10 kilometer. ”Kalau akhir pekan, long run lebih dari 20 kilometer. Cari tempat yang enak, kayak lokasi car-free day,” katanya.
Lain lagi Chaidir Akbar, yang terjun ke dunia lari justru karena masalah kesehatan dan kelebihan berat badan. Bekerja membuatnya bisa menikmati makanan enak, tapi berdampak buruk pada hasil timbangan. Dari biasanya hanya 60 kilogram, berat badan Chaidir pernah menembus 90 kilogram. ”Titik baliknya setelah saya sering sakit,” ucap pekerja bidang keuangan yang berkantor di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, itu.
Sempat menekuni olahraga sepeda selama sekitar 10 tahun, Chaidir tetap tak puas atas hasilnya. Dia lalu berkenalan dengan triatlon pada 2012. ”Langsung berlatih renang dan lari karena mau ikut lomba triatlon di Bintan,” katanya, Selasa pekan lalu. ”Padahal saya enggak pernah lari atau renang jauh sebelumnya.”
Berhasil di Bintan membuat Chaidir makin bersemangat. Setahun berikutnya, dia mengikuti lomba triatlon di Bali dan Jakarta. Lomba maraton dan ketahanan tubuh seperti Ironman juga dijajal. Pada Juli lalu, Chaidir menyelesaikan Gold Coast Marathon di Australia dengan waktu 3 jam 9 menit. Catatan waktu ini cukup untuk lolos kualifikasi Boston Marathon, salah satu ajang maraton elite di dunia. ”Lumayanlah untuk kategori pelari 36 tahun,” ujarnya, tertawa.
Oktober lalu, Chaidir mengikuti ITB Ultra dengan rute Jakarta-Bandung sejauh 174 kilometer. Dia menyelesaikannya kurang dari 30 jam dan menempati peringkat keempat. Chaidir puas atas debut ultramaratonnya itu. ”Dua pelari di atas saya itu anggota Kopassus, seorang lagi atlet spesialis ultramaraton,” kata Chaidir, yang belajar soal teknik lari dan ketahanan tubuh dari membaca buku, berselancar di Internet, dan berdiskusi dengan koleganya.
Adita Irawati juga mengikuti ITB Ultra di kategori tim dua pelari. Ia memulai paruh kedua dengan jarak sekitar 85 kilometer yang dimulai dari kawasan Puncak, Jawa Barat. Masalah terbesar muncul setelah menempuh sekitar 40 kilometer. Di kawasan Citatah, jalur larinya berada di jalan raya yang sudah dipenuhi bus dan truk yang berderet beberapa kilometer. Polusi, macet, dan bising mendera para pelari. ”Macet total karena pas malam Minggu,” ujarnya. ”Tapi itu risiko yang harus diterima pelari ultramaraton.”
Menurut dia, latihan rutin bisa menaikkan kemampuan fisik untuk berlari hingga ratusan kilometer. Namun kesiapan mental penentu baik-buruknya hasil yang dicapai pelari. Ketika rasa lelah mendera, mental ikut terpengaruh dan pelari ragu terhadap kemampuannya. ”Kadang nanya ke diri sendiri, ’Apa sih yang dicari lari jauh begini?’,” kata Adita, yang pernah mengikuti Bali Marathon 2014 serta Jakarta Marathon dan Chicago Marathon tahun lalu.
Chaidir Akbar mengatakan risiko yang mereka hadapi tak bisa diprediksi. Dia pernah mengalami masalah besar kala mengikuti Hardikal Triathlon yang digelar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut pada 2013. Saat itu Chaidir memulai lomba dengan berenang menyeberangi Selat Madura dari Surabaya. Baru satu kilometer berenang, dia diserbu ubur-ubur. Banyak peserta lain juga mengalaminya. ”Punggung, kepala, dan leher saya disengat,” ucapnya.
Kerumunan ubur-ubur biasa naik ke permukaan saat matahari terbit. Kebetulan kala itu dimulai pada pukul enam pagi. Meski disengat, Chaidir tak menyerah. Dia berhasil mencapai Madura, tapi melenceng jauh dari titik finis. Racun ubur-ubur akhirnya membuat Chaidir tumbang. ”Pusing banget waktu itu. Sampai enggak bisa berdiri lagi,” kata Chaidir, yang menghabiskan tujuh hari dirawat di rumah sakit di Bintaro, Jakarta.
Selain bergantung pada latihan, para pelari sangat bergantung pada sepatu yang menjadi tumpuan mereka. Adita mengatakan tak pernah berkompromi dengan kualitas sepatu. Baginya, sepatu ibarat investasi untuk melindunginya dari cedera. ”Kalau beli sembarangan, nanti ongkos ke dokternya malah lebih mahal,” ujar Adita, yang memiliki lebih dari lima pasang sepatu lari dengan kisaran harga di atas Rp 2 juta tapi menolak menyebut mereknya.
Adapun Chaidir jarang membeli sepatu sendiri karena mendapat sponsor. Pada 2012-2018, sepatu larinya disediakan -League, yang juga sering membuatkan Chaidir sepatu bertema khusus. Kini Chaidir mendapat sokongan dari Hoka One One, produsen sepatu khusus lari jarak jauh dari Prancis. ”Kalau dihitung-hitung, selama ini sudah lebih dari 30 pasang sepatu.”
GABRIEL WAHYU TITIYOGA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo