Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Bahasa, Dusta, Nyawa

Salah satu superioritas manusia atas makhluk lain adalah kemampuannya berbahasa.

16 November 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bahasa, Dusta, Nyawa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu superioritas manusia atas makhluk lain adalah kemampuannya berbahasa. Itu bukan berarti makhluk lain tidak memiliki kemampuan tersebut. Namun tingkat kompleksitas bahasa manusia secara fakta jauh melampaui yang lain.

Dalam bukunya, Sapiens, sejarawan Yuval Noah Harari menjelaskan bahwa semut dapat mengomunikasikan lokasi gula dan monyet dapat memberi tahu kawannya jika ada bahaya. Namun hanya manusia yang dapat menciptakan beragam kalimat kompleks dan koheren yang memberikan keunggulan tidak hanya dalam mempertahankan hidup, tapi juga dalam mengomunikasikan sesuatu yang abstrak dan fiktif.

”Sepupu” kita, Homo neanderthalensis, memang mempunyai volume otot dan otak yang lebih besar, tapi mereka tak mahir berbahasa seperti kita. Keunggulan berbahasa inilah yang memungkinkan Homo sapiens berburu dengan koordinasi dan strategi dalam sebuah grup. Karena itu, tidak aneh jika kitalah yang menjadi apex predator dan menyabet gelar makhluk termaut di muka bumi meski tak sekuat gajah, segesit citah, atau sebuas singa.

Kemampuan berbahasa tentu bagai pisau bermata dua. Di satu sisi memungkinkan pertukaran ilmu dan budaya, membuka jalur perdagangan, serta menciptakan peradaban. Di sisi lain memungkinkan kita menyusun narasi kebohongan yang bertujuan menindas, menyerang, dan melakukan kekejaman lain.

Dengan propaganda bertubi-tubi, sebagian besar warga Korea Utara, misalnya, dipaksa percaya bahwa mereka tinggal di negeri terbaik dengan pemimpin yang sempurna. Padahal tidak sedikit warganya yang meregang nyawa dan tewas karena siklus kelaparan. Bahasa pun dijadikan alat penipuan, pembenaran, dan akhirnya penindasan. ”Kediktatoran totaliter” disebut ”republik demokratis”, ”kelaparan” disebut ”perjuangan”, dan ”perbudakan” disebut ”kebebasan”, kata Masaji Ishikawa, pembelot Korea Utara, dalam bukunya, A River in Darkness.

Namun hal itu jauh lebih ”ringan” dibandingkan dengan beragam kebohongan dan permainan bahasa yang dilakukan untuk menjustifikasi agresi dan peperangan. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana negara adidaya Amerika Serikat berbohong tentang senjata pemusnah massal yang dituding dimiliki Irak sebagai alasan untuk memulai perang (casus belli).

Ketika dunia internasional skeptis, para petinggi Amerika menciptakan kebohongan baru dengan mengatakan perang itu dilakukan untuk ”menjadikan Irak mercusuar demokrasi di Timur Tengah” dan ”menumbuhkan perdamaian di Timur Tengah”, bahkan perang Irak sendiri ”bersifat preemtif” dan ”akan berlangsung singkat” karena penduduknya memandang tentara Amerika sebagai ”pembebas”: 15 tahun, 935 pernyataan yang salah (baca: dusta), dan US$ 2 triliun, kemudian lebih dari 600 ribu nyawa penduduk sipil melayang—kurang-lebih sebesar jumlah penduduk ibu kota Amerika, Washington, DC. Terasa sekali kebenaran ucapan penyair Yunani, Aeschylus: ”Dalam perang, kebenaran adalah korban pertama.”

Dalam penindasan dan peperangan, permainan bahasa diperlukan untuk memudahkan proses penganiayaan dan pembunuhan. Karena itu, perlu sebuah proses yang disebut dehumanisasi. Menurut jurnalis perang Chris Hedges dalam bukunya, War Is a Force That Gives Us Mean-ing, dehumanisasi tidak hanya sebatas proses meniadakan kemanusiaan seseorang atau menyamakannya dengan binatang, tapi mencakup juga proses dikotomi antara ”pasukan kebaikan” dan ”pasukan kejahatan”. Ketika para prajurit sudah dicekoki dengan bahasa-bahasa dehumanisasi terhadap ”musuh”, mereka pun bisa dengan entengnya menekan tombol untuk melepaskan gas beracun di ruang tahanan Auschwitz, menebas leher manusia di Mako Brimob, atau melepaskan tembakan ke ratusan musuh di Ramadi. Sebab, ”musuh” bukan lagi manusia, melainkan ”babi”, ”thaghut”, dan ”binatang buas”.

Pengakuan Chris Kyle, penembak jitu Navy Seal Amerika termaut, memvalidasi fenomena dehumanisasi ini. Ketika ditanyai apakah menyesal telah membunuh lebih dari 160 musuh di Irak, Chris Kyle mengatakan ”tidak sama sekali” karena ”mereka” bukanlah manusia (seutuhnya), melainkan ”barbarian” dan ”binatang buas”.

Era post-truth saat ini celakanya justru menyuburkan hoaks, menawarkan ”fakta alternatif”, dan melahirkan manusia kebal fakta. Kebohongan ”kecil” seperti ”bumi itu datar” mungkin tidak berakibat fatal. Namun kebohongan besar seperti ”makin banyak pistol (atau nuklir), makin aman dunia ini” dan yang terparah, ”pemanasan global hanyalah fiksi”, pasti berakibat fatal. Amat ironis (dan sedikit puitis) jika kemampuan berbahasa yang menjadikan manusia superior justru akan menamatkannya.

*) PEMERHATI SOSIAL

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus