Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yopie Hidayat
Kontributor Tempo
Tarik-ulur mempertahankan nilai rupiah berlangsung makin ketat. Sentimen negatif terus menerpa dan Bank Indonesia mau tak mau harus menaikkan dosis obat kuat untuk rupiah. Kamis pekan lalu, BI menaikkan lagi bunga rujukannya menjadi 6 persen. Inilah keenam kalinya bunga BI 7-Day Repo Rate naik selama 2018.
BI mengantisipasi tekanan buruk terhadap rupiah yang lagi-lagi berasal dari statistik neraca keluar-masuknya dolar. Pada hari yang sama sebelum kenaikan bunga, Badan Pusat Statistik memaparkan lambannya kinerja ekspor Indonesia. Selama Oktober 2018, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit US$ 1,82 miliar. Walhasil, dalam kurun Januari-Oktober 2018, defisit perdagangan Indonesia mencapai US$ 5,6 miliar.
Pada gilirannya, defisit perdagangan ini membuat neraca transaksi berjalan Indonesia makin buruk. Neraca transaksi berjalan adalah penjumlahan neraca perdagangan dan neraca transaksi jasa. Dan selama ini Indonesia selalu mencatatkan defisit transaksi jasa. Menurut data BI, defisit neraca transaksi berjalan pada Januari-September 2018 sudah mencapai US$ 22,4 miliar, melampaui defisit 2017 selama setahun penuh yang sebesar US$ 17,3 miliar.
Defisit yang kian besar tentu tak bisa dibiarkan. Jika defisit terus menanjak tak terkendali, otomatis nilai tukar rupiah akan terus tertekan akibatnya. Ini semata-mata hukum besi pasar yang paling dasar. Defisit transaksi berjalan berarti dolar yang masuk dari perdagangan barang dan jasa lebih kecil daripada pengeluarannya. Pasokan dolar yang lebih sedikit akan membuat harganya lebih mahal, dus membuat kurs rupiah makin melorot.
Obat dari BI berupa kenaikan bunga memang dapat mengatasi kekurangan dolar ini. Urutan logikanya: jika bunga di Indonesia lebih tinggi, investor akan tertarik datang membawa dolar membeli berbagai surat utang di pasar. Masuknya dolar akan menambal defisit transaksi berjalan sehingga secara keseluruhan neraca pembayaran Indonesia tetap positif.
Sayangnya, obat kuat bunga tinggi itu terbukti tidak ampuh. Meski sebelumnya BI sudah lima kali menaikkan bunga, aliran dolar masuk lewat pasar uang malah negatif, minus US$ 1,27 miliar selama sembilan bulan pertama 2018. Naiknya bunga tetap tak mampu menahan keluarnya dolar karena situasi pasar global memang sedang mengetat. Bunga The Federal Reserve naik dan likuiditas dolar terus berkurang di pasar global.
Sumber dolar yang lain bagi Indonesia, investasi langsung, juga menyurut tajam alirannya. Sepanjang Januari-September 2018, menurut catatan BI, dolar yang masuk melalui investasi langsung hanya US$ 9,95 miliar. Sebagai perbandingan, dalam kurun yang sama tahun lalu, arus dolar yang masuk lewat investasi langsung sudah mencapai US$ 14,54 miliar, dan akhirnya mencapai US$ 19,28 miliar selama 2017. Hingga akhir tahun nanti, pencapaian investasi langsung tampaknya tak akan mampu menyamai derasnya aliran tahun lalu.
Karena aliran dolar dari investasi portofolio malah minus dan arus investasi langsung menyusut tajam, defisit transaksi berjalan pun tidak tertutup. Maka, selama sembilan bulan 2018, secara keseluruhan neraca pembayaran Indonesia mencatatkan defisit US$ 12,55 miliar. Itulah sebabnya nilai rupiah terus tertekan selama 2018.
Naiknya bunga untuk keenam kalinya pada Kamis pekan lalu memang sedikit mengerem pelemahan rupiah. Hingga Jumat petang pekan lalu, nilai rupiah mampu bertahan sekitar 14.600 per dolar Amerika Serikat, sedikit lebih baik ketimbang hari-hari sebelumnya yang berkisar 14.700. Tapi sepertinya obat kenaikan bunga hanya berefek sementara, seperti lima kali kenaikan sebelumnya. Pada saat yang sama, dunia usaha harus bersiap menanggung dampak samping bunga tinggi: pertumbuhan ekonomi makin lambat.
Peringkat Kredit Indonesia
Standard & Poor's
Rating BBB- Outlook Stable
Fitch Ratings
Rating BBB Outlook Stable
Moody's Investor Service
Rating Baa2 Outlook Stable
Japan Credit Rating Agency
Rating BBB Outlook Stable
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo