Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Pertukaran Budaya Ala Peixoto

Penulis Portugal, José Luis Peixoto, berbagi proses kreatifnya sebagai novelis laris. Buku adalah cara terbaik untuk pertukaran budaya.

16 November 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
José Luis Peixoto -Dok. Pribadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPANJANG tahun ini, tak kurang dari selusin negara dikunjungi José Luis Peixoto. Salah seorang novelis terlaris dari Portugal dan peraih berbagai penghargaan itu memulai tur dari India pada awal tahun dan akan memungkasinya di Meksiko pada akhir bulan ini. Pada pengujung Oktober lalu, ia menyambangi Indonesia untuk menjadi pembicara dalam Ubud Writers & Readers Festival.

Seusai perhelatan tiga hari di Bali itu, pria kelahiran Galveias, Ponte de Sor, 4 September 1974, tersebut mendatangi Jakarta. Pada hari pertamanya di Ibu Kota, ayah dua anak itu bertemu dengan Kelompok Pencinta Bacaan Anak. Penulis buku anak A Mãe que Chovia (2012) itu mengatakan tidak memulai kariernya sebagai penulis buku anak. “Enam tahun lalu, saya merasa membutuhkan eksperimen baru sehingga mulai menulis buku yang didedikasikan kepada anak-anak,” ujarnya di Gedung Tempo, Jakarta, Rabu tiga pekan lalu.

Di Depok, Jawa Barat, lulusan Modern Languages and Literature Universidade Nova de Lisboa itu memberikan kuliah umum di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Peixoto juga membagikan sejumlah tip dan trik menulis novel kepada publik dalam diskusi di Tempo Institute. Direktur Tempo Institute Mardiyah Chamim mengatakan Peixoto adalah penulis luar negeri pertama dalam acara tersebut, yang juga dihadiri Duta Besar Republik Portugal untuk Indonesia Rui Fernando Sucena do Carmo.

Peixoto telah mempublikasikan secara internasional enam novel, empat cerita pendek, dua buku nonfiksi, dua buku anak, dan empat kumpulan puisi. Menurut dia, buku adalah cara terbaik untuk pertukaran budaya. “Kami di Portugal mungkin mendengar atau menyaksikan berita tentang kecelakaan pesawat beberapa hari lalu, tapi kami tidak tahu lebih banyak mengenai budaya Indonesia,” kata penulis Nenhum Olhar (2000), novel pertamanya, yang meraih penghargaan Jose Saramago Literary Award 2001.

Novel yang diterbitkan di Amerika Serikat dengan judul The Implacable Order of Things itu menjadi salah satu buku terbaik 2007 pilihan The Financial Times. Novel ketiganya, Cemitério de Pianos (2006), yang mengangkat kisah tragis pelari maraton Portugal yang meninggal saat berlomba di Olimpiade Stokholm 1912, Francisco Lazaro, diganjar penghargaan sebagai novel asing terbaik di Spanyol pada 2007. Novel keempatnya, Livro (2010), menjadi novel terbaik di Eropa pada 2013. Adapun Galvieas (2014) dinobatkan sebagai novel terbaik di Portugal pada 2016.

Peixoto mengatakan buku-bukunya telah diterjemahkan ke 26 bahasa. Namun belum ada satu pun yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia. “Ada pembicaraan dengan beberapa penerbit, tapi belum bisa saya ungkap saat ini,” ujarnya saat ditanyai ihwal kemungkinan penerjemahan karyanya ke bahasa Indonesia. Karya mutakhir Peixoto adalah buku nonfiksi O Caminho Imperfeito, yang diterbitkan di Meksiko pada tahun ini.

Buku nonfiksi pertama Peixoto adalah Dentro do Segredo, Uma Viagem na Coreia Norte (Inside the Secret, A Journey in North Korea) yang terbit pada 2012. Untuk menulis buku itu, Peixoto lima kali mengunjungi Korea Utara. “Sebagai sebuah negara, Korea Utara, seperti Anda ketahui, sangat tidak biasa. Bukan hanya sistem politiknya yang sangat berbeda, tapi juga kebudayaan dan peradabannya,” ucap pria yang pernah menjadi guru sebelum memutuskan berkarier sebagai penulis itu.

DODY HIDAYAT


 

José Luis Peixoto:

Inspirasi Saya dari Pengamatan

José Luis Peixoto, 44 tahun, pernah disebut oleh José Saramago, peraih Hadiah Nobel Kesusastraan 1998, sebagai salah satu ilham yang paling mengejutkan dalam kesusastraan Portugal dan tak diragukan menjadi penerus penulis besar. Peixoto mengaku mendapatkan inspirasi untuk karya-karyanya dari pengamatannya pada setiap hal di sekitarnya. Berikut ini petikan wawancara dengan penulis yang kerap dijuluki “Saramago Baru” itu.

 

Apa tema utama buku-buku yang Anda tulis?

Kebanyakan novel saya mengangkat tema identitas dan keluarga. Identitas Portugis adalah budaya, sejarah, dan karakteristik yang membuat kami berbeda dengan bangsa lain. Ini subyek penting dalam buku-buku saya. Untuk menciptakan refleksi ini, saya banyak menulis tentang daerah tempat saya lahir, Alentejo, yang merupakan wilayah paling tradisional dan terpencil di Portugal. Adapun di level individu, saya tertarik mengembangkan ide tentang konsep keluarga. Saya merasa, dalam tataran budaya, identitas kita tersentuh oleh negara dan wilayah asal kita, dan pada dimensi yang lebih dalam, yakni level emosional, keluarga kita adalah akar dari siapa diri kita.

Dari mana Anda mendapat inspirasi untuk buku-buku tersebut?

Saya memperhatikan semua hal di sekitar saya. Setiap pengamatan bisa menjadi bagian dari sebuah buku. Segala sesuatu bisa menjadi penting. Biasanya, saya mencoba memilih tema yang saya anggap fundamental. Saya tidak mau menghabiskan waktu saya dan waktu pembaca dengan menulis subyek yang tidak relevan. Itulah sebabnya saya percaya bahwa seorang penulis harus selalu peduli terhadap segala hal di sekitarnya dan mesti berusaha mendapatkan informasi.

Bagaimana cara Anda menciptakan dan menghidupkan karakter dalam novel?

Sering kali saya mencampur imajinasi dan pengalaman pribadi saya untuk menciptakan karakter. Saya juga menulis tentang orang yang tidak mungkin saya temui, tapi orang itu ada. Dalam semua kasus, saya merasa penting menggunakan pengalaman, referensi saya yang terkait dengan orang. Karakter hanya bisa tampak nyata jika saya memberikan karakteristik yang nyata dari apa yang saya lihat dan alami sendiri. Tapi karakter juga sebuah konstruksi kesusastraan sehingga harus bekerja dengan perangkat yang berasal dari fiksi.

Ketika terjadi gempa di Palu, ada pemuka agama mengatakan itu hukuman dari Tuhan kepada pendosa. Rohaniwan Gabriel Malagrida mengucapkan hal serupa ketika gempa dan tsunami melanda Lisabon pada 1 November 1755. Apakah kepercayaan itu masih ada dalam masyarakat modern Portugal?

Gempa bumi Lisabon adalah bagian dari sejarah kami. Peristiwa itu terjadi hampir tiga abad silam. Di negara kami, bahkan orang paling religius pun paham bahwa itu bencana alam yang bisa dijelaskan melalui sains. Kepercayaan bahwa bencana adalah hukuman dari Tuhan muncul dari masa kebodohan. Tidak ada yang berpikir seperti itu di Portugal.

DODY HIDAYAT

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dody Hidayat

Dody Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini, alumnus Universitas Gunadarma ini mengasuh rubrik Ilmu & Teknologi, Lingkungan, Digital, dan Olahraga. Anggota tim penyusun Ensiklopedia Iptek dan Ensiklopedia Pengetahuan Populer.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus