Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lima tahun lalu, sejumlah mahasiswa berkonsultasi kepada saya tentang gagasan mereka berkampanye menyadarkan pemilih sebelum pemilihan kepala daerah. Untuk mencegah makin banyaknya politik uang dalam bentuk “serangan fajar”, mereka punya inisiatif memakai kata-baris (tag-line) atau semboyan “Ambil uangnya, ketika memilih gunakan hati nurani!”. Selain saya koreksi semboyan yang agak insinuatif karena cenderung ke partai tertentu tersebut, dengan getir saya sampaikan bahwa itulah gambaran karakter konstituen di Indonesia.
Tampaknya para mahasiswa itu sadar bahwa tidak mungkin lagi mereka menyadarkan pemilik suara memakai standar moral. Mustahil mereka memperhatikan semboyan yang memakai kata-kata bahwa politik uang itu haram, bahwa semestinya “serangan fajar” tidak mereka terima, atau bahwa menentukan pilihan politik berdasarkan uang suap yang mereka peroleh adalah dosa. Kesimpulan lain adalah warga-pemilih kebanyakan sudah sangat pragmatis dan tidak ada lagi punya standar moralitas politik yang kuat di Indonesia.
Untuk membenahi sejumlah persoalan mendasar terkait dengan tingginya biaya politik dan meluasnya operasi mafia anggaran publik di Indonesia, kesimpulan atau premis pokok di atas harus diakui dan disepakati sebagai masalah fundamental. Penolakan dan pengingkaran atas kesimpulan ini hanya akan membawa kita makin tenggelam dalam lingkaran-setan korupsi politik yang akan terus mengerdilkan kedewasaan politik bangsa Indonesia. Warga-pemilih di Indonesia sangat beragam. Meskipun kelompok kelas menengah makin besar dan sebagian elite politik menyadari pentingnya moralitas politik, sebagian besar warga-pemilih (silent majority) adalah mereka yang masih belum memiliki kesadaran politik yang memadai ketika masuk ke bilik suara dalam pilkada ataupun pemilihan umum.
“One Man One Vote”
RENDAHNYA kesadaran politik sebagian besar warga-pemilih mengakibatkan mereka kurang paham mengenai prinsip utama demokrasi, yaitu “one man one vote” (George Howell, 1880), seorang konstituen bernilai satu suara. Secara fundamental, keberhasilan demokrasi menghendaki prinsip ini mutlak, tidak boleh bergeser sedikit pun. Artinya, demokratisasi sudah pasti tidak akan berjalan apabila manfaat intrinsik itu sudah dikotori oleh parameter-parameter material sehingga pada titik ekstrem orang menggunakan prinsip “one million one vote”, satu juta rupiah bernilai satu suara.
Sementara itu, rujukan yang paling banyak dikutip mengenai makna demokrasi adalah yang dikatakan Abraham Lincoln pada 1863 di atas makam Gettysburg, yaitu government of the -people, by the people, and for the people (pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat). Dalam pidato di atas makam para pahlawan yang melawan perbudakan dan penindasan itu, terkandung makna hakiki bahwa rakyat yang sudah siap berdemokrasi semestinya tidak silau oleh keuntungan jangka pendek karena demokrasi itu sendiri adalah cita-cita yang akan memberikan manfaat berkelanjutan dalam jangka panjang.
Berdasarkan pengalaman lapangan para mahasiswa sosiologi politik di atas, tampaknya justru inilah masalah pokok yang terjadi di Indonesia. Prinsip “one man one vote” (OMOV) tidak berlaku karena wujud kesadaran politik warga-pemilih telah terjerembap ke pragmatisme material. Warga-pemilih tidak mampu lagi membedakan mana tujuan jangka pendek dan mana tujuan jangka panjang sehingga mudah dikelabui jargon-jargon profan para politikus yang juga hanya memiliki orientasi kepentingan untuk jangka pendek.
Karena tidak berlakunya prinsip OMOV dalam banyak mekanisme representasi politik, semua insentif material menjadi semacam kaidah umum yang mengakibatkan bobroknya sistem politik di Tanah Air. Peluang memperoleh imbalan material itu juga ditangkap oleh para politikus yang memang tidak lagi mengandalkan kemampuan dan nurani untuk mengabdi kepada rakyat, tapi sekadar menggunakan naluri politik buat mencari keuntungan material yang sifatnya sempit dan jangka pendek.
Muara Kepentingan
SISTEM pemilu saat ini masih menuntut partai untuk menyediakan ratusan miliar rupiah bagi ongkos kampanye hingga biaya pengawasan dan pengawalan perolehan suara. Ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 yang menjadi pedoman penyelenggaraan Pemilu 2019 menyebutkan dana sumbangan perseorangan kepada partai politik maksimal Rp 2,5 miliar. Tapi tidak jelas sanksi apa yang akan diberikan jika sebuah partai melanggar batas besaran sumbangan tersebut. Transparansi keuangan partai masih menjadi persoalan di banyak negara maju dan, bagi Indonesia, yang masih belajar tentang sistem keuangan partai politik, aspek ini merupakan titik lemah yang sangat mendasar. Sejauh ini, tidak ada satu pun partai yang mendapat sanksi, dibekukan, apalagi dibubarkan karena masalah dana kampanye, meskipun hal itu dimungkinkan oleh undang-undang. Semua ini terjadi karena biaya politik yang demikian besar berimpit dengan kepentingan para politikus dan pegiat partai untuk memperoleh imbalan material dari banyak aktivitas politiknya.
Muara kepentingan yang sama juga menjelaskan mengapa mafia anggaran di Dewan Perwakilan Rakyat masih saja beroperasi dan bahkan makin meningkat sejalan dengan kegiatan politik di Tanah Air. Di jajaran puncak pimpinan lembaga legislatif bahkan sudah ada tiga orang yang tersangkut mafia anggaran, yaitu mantan Ketua DPR, Setya Novanto; mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah, Irman Gusman, dan belakangan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan. Modus operandi korupsi politik itu sebenarnya cukup mudah dilacak dan sudah diketahui oleh umum. Namun pembuktian dalam kasus-kasus megakorupsi politik sering bertele-tele dan kurang memiliki efek jera bagi para politikus.
Di aras menengah, operator mafia anggaran itu begitu banyak, dari Badan Anggaran atau anggota Komisi XI DPR, bendahara partai, pejabat eselon II di Kementerian Keuangan, pimpinan satuan kerja di kementerian teknis, auditor Badan Pemeriksa Keuangan yang mengatur status audit keuangan daerah, hingga bupati/wali kota dan sejumlah pejabat teras di berbagai daerah. Kasus mafia anggaran yang tengah diperkarakan Komisi Pemberantasan Korupsi saat ini setidaknya berasal dari sembilan daerah, di antaranya Halmahera Timur, Kampar, Labuhanbatu Utara, Kota Dumai, Balikpapan, Tasikmalaya, dan Taba-nan. Tidak tertutup kemungkinan kasus-kasus serupa terjadi di banyak daerah lain.
Obyek patgulipat antara politikus dan para pejabat di tingkat pusat ataupun daerah itu adalah dana transfer daerah, baik yang berbentuk dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), maupun dana insentif daerah (DID). Sejak diusulkan para anggota DPR pada 2005, DID sudah ditengarai akan banyak menimbulkan masalah karena ciri pokok sistem alokasinya yang mirip dengan dana gentong-babi (pork-barrel), yang bahkan di Amerika Serikat dan Filipina hendak dihapus karena penuh dengan kemungkinan korupsi politik.
Para pejabat di Kementerian Keuangan bersama politikus Senayan menjajakan jatah DAU, DAK, atau DID kepada daerah. Lalu, demi memastikan jatah itu benar-benar dialokasikan kepada mereka, para pejabat daerah melobi dengan dana yang berasal dari anggaran daerah. Uang jasa (fee) yang diminta anggota DPR dan pejabat pemerintah pusat berkisar 3-7 persen dari total anggaran. Namun, mengingat alokasi dana yang dikucurkan ke daerah itu cukup besar dan terbagi ke banyak daerah, penghasilan operator mafia anggaran tersebut bisa cukup fantastis. Dari hasil pengusutan KPK, pejabat di Kementerian itu bisa memperoleh Rp 125 juta untuk sekali transaksi. Bayangkan kalau pola ini berlaku di semua daerah, yang kini jumlahnya mencapai 524 menurut catatan Kementerian Dalam Negeri.
Banyak di antara operator mafia anggaran yang tidak menggunakan cara transfer melalui rekening perbankan karena kemungkinan terendus oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Para operator mafia anggaran itu terungkap, misalnya, menyewa sebuah unit apartemen khusus untuk menyembunyikan fee yang berasal dari transaksi-transaksi busuk penyelewengan anggaran publik. Intinya, makin canggih pengawasan keuangan dan sistem audit, makin berkembang trik-trik mafia anggaran untuk menyiasati sistem.
Bangsa Indonesia sedang berada di persimpangan mengatasi korupsi politik dalam anggaran publik. Sudah saatnya upaya pemberantasan korupsi dilakukan dari hulu ke hilir. Di hulu, pemberantasan korupsi politik harus dimulai melalui pemahaman kolektif bahwa prinsip demokrasi OMOV harus disertai dengan langkah mengikis sikap pragmatis konstituen dan calon politikus. Bagaimanapun, demokrasi hanya akan lebih bermakna jika prinsip-prinsip dasar tentang transparansi dan akuntabilitas keuangan partai politik bisa dijamin baik. Mengingat para politikus yang sudah pasti punya kepentingan sempit terkait dengan karier politiknya, desakan terhadap transparansi dan akuntabilitas keuangan harus berasal dari rakyat secara umum.
Di hilir, KPK harus konsisten melakukan penindakan hukum terhadap pelaku korupsi politik dan operator mafia anggaran. Penyadapan komunikasi anggota DPR, pelacakan pertemuan rahasia anggota mafia anggaran, operasi tangkap tangan, dan tindak lanjut penanganan kasus korupsi anggaran tetap perlu diintensifkan. Apalagi menjelang pemilu, yang kita harapkan merupakan tonggak demokrasi yang lebih berkualitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo