LANGKAH jago muda asal Afrika Selatan, Wayne Ferreira, dan petenis Belanda Richard Krajicek, yang sama-sama berusia 20 tahun, akhirnya mandek di semifinal. Padahal, banyak penonton berharap mereka bisa menjadi "pembunuh" jago tua. Pada babak-babak awal, hal itu sudah mereka buktikan. Ferreira, peringkat 45 ATP (Asosiasi Tenis Profesional), sudah mengganjal John McEnroe dengan straight set 6-4, 6-4, 6-4. Tumbangnya Mac, begitu panggilan McEnroe, patut dikasihani mengingat ayah tiga anak itu sudah berubah perangai, tidak lagi memaki-maki wasit. Apalagi sebelumnya Mac telah menjungkirbalikkan Boris Becker dan Emilio Sanchez. Ia sudah merebut simpati penonton. Namun, semangat besar Mac dipadamkan Ferreira. "Gerakan-gerakannya mudah diterka," kata Ferreira. Bahkan dengan agak sombong ia mengaku, "Saya bergerak mengejar bola lebih cepat daripada pukulan bolanya." Permainan Mac akhirnya tidak berkembang. Bolanya banyak menyangkut di net. Sayangnya, di semifinal gerak Ferreira dibendung Stefan Edberg 7-6 (7-2), 6-1, 6-2. "Saya banyak meraih breakpoint tapi tidak saya manfaatkan," kata Ferreira. Untuk merebut set pembukaan, Ferreira berusaha mendikte lawan. Tapi Edberg tak mau didikte. Ia meningkatkan tekanan hingga membuat irama permainan Ferreira menurun drastis. "Matahari menyengat di set kedua," alasan Ferreira. Nasib Richard Krajicek, peringkat 46 ATP, lebih menyedihkan. Ia mundur karena cedera bahu kanannya. "Ini keputusan paling sulit yang pernah saya buat," kata Krajicek. Seumur hidup, katanya, inilah peluang bertanding di semifinal grand slam yang buyar. Dengan tinggi badan 194 sentimeter, Krajicek punya pukulan voli yang jitu. Backhand dan forehandnya juga yahud. Dan servisnya yang menggeledek itulah (207 km per jam) yang menjadi andalannya. "Saya yakin, servis saya sangat bagus," kata Krajicek. Dengan modal itu, ia membabat Michael Chang di babak awal. Setelah mengalahkan Chang, Krajicek menghadapi juara Wimbledon 1991, Michael Stich. Petenis Jerman berusia 23 tahun ini sudah tiga kali mengalahkan Krajicek. Stich pun punya ground stroke (pukulan dasar) yang nyaris sempurna. Topspin (pukulan pelintir) Stich sangat bervariasi. Pukulan geledek Stich rata-rata 197 km per jam. Stich mempunyai kelemahan suka meledak-ledak, memakimaki wasit. Di lapangan keras Melbourne, Stich terjerembab di tangan Krajicek. Dalam duel maraton lima set itu, Krajicek mempermalukan Stich dengan 23 pukulan ace -- servis langsung masuk. Bahkan Krajicek hanya kehilangan tiga nilai dari tiga set terakhir. "Saya tidak bisa menempatkan bola dengan baik sehingga saya kalah. Dan saya pikir, saya bertanding dengan diri saya sendiri," kata Stich, yang mengakui servis lawannya memang bagus. Keberhasilan Krajicek itu tidak lain berkat dukungan kedua pelatihnya, Rohan Goetske (pelatih lapangan) dan Ted Troost (pelatih fisioterapi dan relaxation exercise). Krajicek sadar, sejak kekalahan lima set atas Ivan Lendl di AS Terbuka tahun lalu, karena fisik yang terasa cepat lelah, ia perlu menggembleng diri. "Saya harus yakin tetap bugar 100 persen pada setiap grand slam," katanya. Ucapan itu terbukti dengan melajunya Krajicek ke semifinal menghadapi Jim Courier. Jika ia berhasil lolos, akan menantang Edberg di final. "Saya pernah mengalahkan Edberg dan McEnroe. Saya bermain amat bagus dan bisa menguasai diri," sesumbarnya. Sayang, langkahnya itu buyar. Bahu kanannya cedera saat bermain ganda bersama Jan Siemerink. Pelatih Ted Troost tidak mampu mengatasi rasa sakit itu. Saat latihan pagi hari menjelang ketemu Courier, nyeri itu masih terasa kalau dipakai servis. Jika dipaksakan, rasa sakit itu merambak. "Sangat mengerikan. Bisa-bisa saya tidak mampu mengangkat tangan saya," kata Krajicek. Maka, tak ada pilihan lain kecuali mundur! WY dan Dewi Anggraeni (Melbourne)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini