PENGAMAT tenis boleh saja meramal, tetapi hasil di lapangan keras Australia Terbuka menentukan lain. Bahwa yang diramal Stefan Edberg, petenis nomor satu dunia, bakal keluar sebagai juara, terjungkir ketika Jim Courier mengangkat piala yang diisi boneka tinggi-tinggi di hadapan ribuan penonton. Ahad siang yang panas itu -- suhu di atas 50 derajat Celsius -- Courier memenuhi ambisinya sebagai juara. Dan ia juga memenuhi kaulnya, berenang di sungai yang berair keruh, tak jauh dari stadion. Courier menang dengan skor 6-3, 3-6, 6-4, dan 6-2. Lapangan keras Flinders Park, Melbourne, benar-benar jadi neraka bagi Edberg, 26 tahun. Pemuda jangkung setinggi 190,5 cm dari Vasterik, Swedia, itu benar-benar dibuat frustrasi. Passing Courier sering mematikan langkahnya. Buntutnya, Edberg, yang mirip aktor Robert Redford, yang biasanya tenang dan tak gampang marah itu sering keki. Untuk meredam kekesalan, ia menendang bola tenis sekenanya. "Saya kira hari ini servenya sangat buruk hingga saya bisa memetik keuntungan," kata Courier, 21 tahun, yang tingginya 183 cm. Lihat saja pada set ketiga, selagi posisi 54 untuk Courier. Dua kali Edberg melakukan double fault. Belum lagi kesalahan lain, misalnya, terlalu yakin bahwa servenya yang menggeledek tak mungkin dikembalikan Courier, lalu Edberg memburu ke net. Edberg banyak terkecoh. Dalam empat set selama dua jam 53 menit itu, permainan Edberg tak juga berkembang. Serve dan backhand andalannya bukan lagi pembunuh. Backhand Slicenya juga sering nyangkut di net. Rahasia pukulannya yang diunggul-unggulkan ("Biarlah jadi rahasia saya sendiri," katanya suatu kali), yang sebelumnya memang menghentikan langkah petenis Ceko-Slovakia, Ivan Lendl, ternyata tak muncul. Sukses Edberg selama ini tumbuh berkat garapan pelatih asal Inggris, Tony Pickard, yang telah menanganinya sejak 1983. Lalu lebih menanjak berkat "sentuhan" gadis model Annete Olsen, yang dipacari Edberg sejak 1987. Sebelum ini, Olsen adalah teman kumpul kebo petenis Swedia lainnya, Mats Wilander. "Olsen mampu menumbuhkan kepercayaan Edberg," kata Pickard. Soalnya, Edberg dikenal sebagai pemuda pemalu. Rahasia permainan Edberg itu ternyata dibuyarkan Courier. Partai yang merupakan ulangan final AS Terbuka tahun lalu itu -- di situ Edberg menang mudah atas Courier dengan 6-2, 6-4, 6-0 -- kini didominasi Caurier. Juara Prancis Terbuka tahun lalu itu tampil amat sempurna. Forehandnya yang lurus seperti pemain baseball sulit dikembalikan. Courier memang bekas pemain baseball. Ini merupakan kemenangan ketiga buat si rambut merah Courier selama tujuh kali pertemuannya dengan Edberg. Dan gelar grandslam kedua yang diraihnya. Ia muncul di final tanpa gembar-gembor, jauh dari publikasi. "Kemenangan kedua ini rasanya lebih manis," kata Courier, yang suka nyanyi sambil memetik gitar elektronik. Setelah kemenangan ini, ia akan berenang di Sungai Yarra, persis di seberang stadion Flinders Park. Courier masuk dunia tenis sejak berusia 13 tahun. Pada usia itu, lelaki asal Dade City, Florida, ini memutuskan masuk klub tenis Cincinnati Reds. Karier ini pun dititinya di Camp Tennis di Florida dalam asuhan Nick Bollettieri. Petenis Andre Agassi, Pete Sampras, dan Monica Seles juga digembleng di sini. Di rumahnya, ia punya lapangan tenis privat. Ia terjun ke pro tahun 1988 dengan peringkat ke-348. Tak lama kemudian, ia melejit ke peringkat ke-43. Dan pada Juli 1990, ia sudah menduduki nomor 14. Lalu melorot lagi ke peringkat ke-25 di akhir tahun 1990. Tapi, tahun lalu, Courier bangkit mengejutkan. Dari peringkat itu, ia melonjak ke atas karena mempecundangi lebih dari sepuluh pemain besar. Hasilnya, ia meraih peringkat kedua, dan mengantongi uang sekitar Rp 3,5 milyar. Pada Australian Open, yang berhadiah total sekitar Rp 9,5 milyar, Courier mengantongi hadiah sekitar Rp 450 juta. Bagi Courier, uang bukanlah segalanya. "Ketika saya tak punya uang, saya tetap merasa senang seperti sekarang dan tidak ada alasan untuk merasa lebih senang," katanya. Selain itu, ia tak suka mencari uang secara komersial lewat televisi seperti petenis Andre Agassi. Ia juga tak menyukai popularitas. "Ketenaran bukanlah sesuatu yang saya butuhkan," katanya. Hanya saja, "Celakanya, atau mungkin juga untungnya, saya makin lama makin terkenal," kata Courier. Pergi ke pusat perbelanjaan, restoran, atau bioskop dengan sesuka hati dan tanpa kejemuan. Ia memang bersahaja. Makanya, ketika diberi tahu bahwa ia langsung ke final tanpa bertanding karena Krajicek cedera, Courier kaget. "Ini tragis. Di satu pihak, saya didorong ke final, di lain pihak saya tidak bertanding," katanya. Di bagian putri, Monica Seles tetap nomor satu. Petenis asal Yugoslavia berusia 18 tahun ini tanpa kesulitan melahap unggulan ketujuh, Mary Joe Fernandez, 20 tahun, warga Amerika keturunan Kuba. Skornya cukup telak 6-2, 6-3 dalam waktu satu jam 23 menit. Tapi langkah si cantik Fernandez, yang didukung pelatihnya Harold Solomon (bekas pemain 10 besar dunia) untuk menuju final, tak bisa dianggap enteng. Apalagi ketika di semifinal Fernandez harus menghadapi petenis kece asal Argentina, Gabriela Sabatini, 21 tahun. Gaby, panggilan Sabatini, begitu yakin dengan kondisinya yang prima akan menggilas Fernandez. Keyakinan ini tambah mantap lantaran Gaby menjuarai turnamen New South Wales dua minggu sebelumnya. "Saya harap ini menjadi modal yang baik," kata Gaby. Tapi, di luar dugaan, Gaby dihajar Fernandez dengan skor 6-1, 6-4. "Saya harus mencari waktu yang tepat untuk masuk, karena Gaby memiliki pukulan passing yang kuat," kata Fernandez seusai pertandingan. Taktik ini sesuai dengan instruksi Solomon. Keagresifan itulah yang membuat Gaby frustasi hingga sering membuat kesalahan. "Saya bermain baik pekan lalu, tapi sekarang tidak," kata Gaby. Bagi Seles, pertemuannya dengan Fernandez merupakan partai finalnya ke-19 sejak 1990. Dari jumlah tersebut, ia mencatat 12 kali menang, termasuk di Australia, Prancis, dan AS Terbuka tahun 1991. Kelebihan Seles, selain pukulan kedua tangannya yang keras, ia mampu menutup lapangan. Tekadnya untuk menyuguhkan permainan terbaik terbukti. Ini gelar kelima seri grandslam yang diraihnya. Permainan cantik itulah yang membuat Yayuk Basuki bingung dan akhirnya menyerah 6-1, 6-1 di babak ketiga. "Rasanya Seles ada di mana-mana dan memukul beberapa bola," kata Yayuk tentang si nomor satu itu. Nah, siapa tak grogi. Widi Yarmanto dan Dewi Anggraeni (Melbourne)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini