MENGEJUTKAN. Ada 200 lukisan asli karya pelukis-pelukis Prancis terpuruk dan berdebu. Ada lukisan cat minyak, cat air, grafis, lito, dan sketsa. Selama 30 tahun, harta budaya itu tergeletak begitu saja di sebuah ruangan pengap di Museum Nasional, Jakarta. Di antaranya terdapat karya pelukis terkenal seperti karya Kandisky, Vasarely, Arp, Hans Hartung, Sonia Delaunay, dan Zao Wou Ki. Lukisan yang sangat langka itu dilengkapi dengan dokumen yang sudah lusuh. Nomor registrasinya ditempel sembarangan di kanvas, nama pelukisnya ada yang salah eja dan tertukar. Sampai pekan lalu, lukisan-lukisan itu tengah dibenahi. Adalah Atik Subangun, wanita pelukis, yang berjasa menemukan dan menyelamatkan karya-karya mahal itu. Direncanakan pembenahan dan pemeliharaan kembali lukisan-lukisan itu baru bisa selesai sekitar November mendatang. Karya langka itu berjubel di sebuah ruangan berukuran 4 x 7 meter yang dindingnya sebagian berlumut. Ada AC di lantai tiga itu, tapi sudah lama tidak berfungsi. Lukisan itu masih menggantung di sketselnya seperti ketika terakhir kali dipamerkan di Jakarta pada tahun 1960. Beberapa di antaranya rusak berat. Misalnya, karya pelukis Pignon (1956) berlubang-lubang dimakan ngengat di seputar piguranya. Juga ada sebuah sketsa yang tidak lagi bisa dikenali nama pelukisnya. Karya pelukis lain seperti Kandisky dan Vasarely disimpan di lemari kayu di ruangan sebelahnya. Ceritanya bermula di Paris dua tahun lalu, ketika Atik bertemu dengan Pierre Labrousse, guru besar bahasa Indonesia di sana. Pierre memberi tahu bahwa pada tahun 1959 Prancis pernah menyumbangkan sejumlah besar lukisan kepada Indonesia. Ia juga memperlihatkan kliping koran Prancis yang memuat berita mengenai "hadiah" itu. Atik penasaran, dan selama enam bulan mencari tahu ke sana kemari. Akhirnya, novelis Ramadhan K.H., yang tinggal di Paris, memberi tahu bahwa ada orang yang tahu perihal hibah lukisan-lukisan tersebut, yaitu Ilen Surianegara -- kini Direktur Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Amerika -- yang ketika itu menjadi Atase Penerangan dan Kebudayaan pada KBRI di Paris. Ketika Ilen hendak pulang ke Tanah Air pada 1959, ada rekannya, Etienette Binessou, yang kepingin ikut ke Indonesia. Ia pejuang hak asasi manusia yang bersimpati pada perjuangan Indonesia. Sejak 1920, ia sudah akrab dengan Mr. Soebardjo, Menlu RI yang pertama. Mereka berpikir apa yang bisa diperbuat untuk membantu kemajuan rakyat Indonesia. "Bagaimana kalau kita bawa lukisan-lukisan Prancis agar bisa dipelajari rakyat di sana?" kata Ilen. Binessou segera menghubungi para pelukis, dan terkumpullah sekitar 200 lukisan itu. "Yang mengharukan, para pelukis itu membawa sendiri karya mereka dengan taksi, menggotong sendiri sambil menaiki tangga gedung kedutaan," cerita Ilen. "Mereka begitu tulus. Inilah yang disebut diplomasi kebudayaan, yang tak mungkin terjadi dalam sejarah diplomatik kapan pun," tambahnya. Nilai lukisan itu menjadi tinggi karena merupakan hadiah langsung dari pelukisnya. Setelah dipamerkan di KBRI Paris, lukisan itu diboyong ke Jakarta dan sempat dua kali dipamerkan: di Gedung Harmoni (1959) dan di Museum Nasional (1960), dibuka oleh Presiden Soekarno. Setelah itu, harta budaya itu disimpan di museum, dan tak seorang pun yang peduli bagaimana nasibnya. Sampai akhirnya ditemukan oleh Atik Subangun. Wanita pelukis ini kemudian menghubungi Marcel Bonneff dari Ecole Francaise d'extreme Orient di Jakarta -- lembaga Prancis untuk penelitian kebudayaan di Timur Jauh. Menurut Bonneff, pemerintah Prancis sangat tertarik pada koleksi yang sangat langka itu dan bersedia membantu menyelamatkannya. "Kami tengah mencari ahli konservasi lukisan di Prancis yang bisa memberi advis untuk memelihara karya-karya itu," katanya. Sementara menunggu ahli yang dijanjikan itu, kini Atik dan petugas Museum Nasional melakukan inventarisasi dan menyiapkan katalog. Setelah renovasi selesai, menurut rencana, lukisan-lukisan itu akan dipamerkan November mendatang "untuk menghidupkan hubungan kebudayaan Indonesia-Prancis". Mengingat langkanya lukisan itu, harganya bisa dipastikan sangat mahal. Atik sendiri tidak bisa memastikannya, tapi diperkirakan sekitar 20.000 franc atau sekitar Rp 60 juta sebuah. Harga ini di mata para kolektor seni rupa di Prancis sana. Setidaknya, "Koleksi itu bisa menjadi bahan studi para seniman kita," kata Sanento Yuliman kepada Dwiyanto Rudi S. dari TEMPO. Bahwa penyimpanannya kurang memadai hingga banyak yang rusak, kritikus seni rupa itu khawatir, "kita bisa dianggap tak berbudaya karena tak bisa menghargai koleksi tersebut." Budiman S. Hartoyo, Siti Nurbaiti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini