HAMPARAN merah menutupi Pantai Tarahan, Lampung, sejak setengah tahun lalu. Bukan permadani, tapi hamparan tanah. Luasnya mencapai 15 hektare. Kini bahkan lapisan tanah yang merupakan hasil reklamasi itu sudah menggusur deretan pohon bakau dan batubatu, yang biasanya merupakan tempat bersantai remaja Lampung pada sore hari. Diam-diam, sebuah tempat rekreasi telah hilang. Dan tak ada yang protes. Juga tidak banyak orang luar yang tahu. Masalahnya baru terangkat ke permukaan ketika muncul keluhan dari perusahaan batu bara PT Bukit Asam di surat kabar, dua minggu lalu. BUMN ini menambang di Sumatera Selatan. Tapi, untuk pengiriman bahan bakar itu ke PLTU Suralaya di Jawa Barat, ia harus melewati Lampung. Ternyata, Bukit Asam pernah mengadukan masalah reklamasi kepada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Lampung. Tapi surat protesnya tidak ditanggapi. BUMN ini akhirnya terpaksa melempar keluhan ke media massa. Sementara itu, reklamasi jalan terus siang malam. Puluhan truk berseliweran menumpuk tanah di sepanjang pantai. Akibatnya, jarak antara daratan baru ini dan dermaga tempat berlabuh kapal pengangkut batu bara terus mengecil. Dan kini tinggal 100 meter. Inilah yang dikhawatirkan direksi Bukit Asam. Mereka takut, tanah baru yang meninggi di sebelah kanan dermaga dapat membalikkan empasan ombak sehingga menyulitkan kapal yang hendak bersandar. Karena di situ pun tak ada tanggul, dataran bisa tergerus air laut dan pelabuhan menjadi dangkal. Bila hal itu terjadi, tiap hari pengangkutan 17.000 ton batu bara dari Tanjungenim ke PLTU Suralaya, Jawa Barat, akan terganggu. Padahal, Suralaya memasok sepertiga kebutuhan listrik di Jawa dan Bali. Akibat lain yang dikhawatirkan adalah tertutupnya empat pipa pembuangan kelebihan air dari daratan. "Memang sampai sekarang belum banjir, tapi ini akan terjadi bila turun hujan besar," kata Direktur Utama PT Bukit Asam, Ambyo Mangunwidjaja. Khawatir akan tidak lancarnya pengangkutan batu bara, pihak Batu Asam protes. Soalnya, tak cuma mereka yang dirugikan, tapi juga pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang berlokasi di pantai itu. Sayang, keluhan ini agak terlambat. Telah enam bulan reklamasi berjalan dan sudah terbentuk daratan seluas 15 kali lapangan bola. Ketika proyek reklamasi dimulai, baik pihak Bukit Asam maupun PLN sama-sama mengira proyek itu tak akan mengganggu kerja mereka. "Saya sangka proyek itu sudah mendapat izin dari PLN, rupanya PLN mengira kebalikannya," ujar Ambyo lagi. Mereka terperangah ketika proyek semakin mendekati lokasi mereka. Ternyata, dua pihak ini tidak dilibatkan. Keduanya pun tak tahu, proyek itu milik siapa serta akan digunakan untuk apa. Ternyata, proyek tersebut milik Budi Kuntoro dan dikerjakan oleh perusahaannya, PT Rerangai Indah Permai. Budi alias Engkun adalah pemilik empat perusahaan penimbun pantai yang sudah sejak enam tahun lalu mengantungi izin. Terakhir, Rerangai mendapat pengalihan izin dari PT Sorento Nusantara, perusahaan lain milik Engkun yang sudah lebih dulu dikenal. Identitas Rerangai yang serba gelap itu menyebabkan banyak orang menduga bahwa perusahaan ini misterius. Tapi Engkun menyangkal beroperasi secara gelap. "Kami menimbun setelah memperoleh izin," ujarnya kepada Kolam Pandia dari TEMPO. Dikatakannya, reklamasi dilakukan dalam batas yang diizinkan pemda, yaitu pantai berkedalaman tak lebih dari tiga meter. Pernyataan ini dibenarkan oleh Ketua Bappeda Lampung, Bambang Irawan. Malah, sebelum izin keluar, sudah ada penelitian yang membuktikan tidak adanya dampak negatif. Proyek pengurukan pantai yang menurut Bambang dimaksudkan untuk mengembalikan bentuk pantai yang sudah terkikis ini dimulai sejak 1985 dan telah menimbun laut 350-400 hektare. Kelak, kawasan itu akan dijadikan obyek pariwisata dengan hotel dan cottage. Namun, Kepala Biro Kependudukan dan Lingkungan Hidup Lampung, Uban Namploh, mengaku tidak tahumenahu tentang proyek itu. Padahal, ia berhak mengetahui, karena ia adalah anggota komisi Amdal (analisa mengenai dampak lingkungan). Ini berarti, proyek reklamasi tersebut belum punya Amdal. Ketua Bappeda Bambang Irawan menyalahkan PT Rerangai, yang tak menunggu selesainya dokumen Amdal. "Kalau reklamasi ternyata membahayakan pihak lain, ya terpaksa dihentikan," ancamannya. Tapi Engkun keberatan. Alasannya, penghentian pekerjaan yang sudah hampir rampung -- biayanya Rp 35.000 sampai Rp 40.000 per m2 -- jelas merugikan. Biarpun mengaku belum punya Amdal, Engkun membela diri. Katanya, tak mungkin pemda mengeluarkan izin reklamasi, kalau mengganggu dermaga atau PLTD. Ia malah balik menyerang Bukit Asam. Menurut Engkun, masalah ini telah diselesaikan ketika ia bertemu dengan pihak Bukit Asam di Kanwil Perhubungan. Di sana, Rerangai menyatakan sanggup mengatasi beberapa masalah yang merupakan keberatan Bukit Asam. Misalnya, mereka akan membuat saluran air di samping pantai yang ditimbun. Dengan adanya janji itu, Engkun menganggap kekhawatiran Bukit Asam hanya mengada-ada. Ia malah berniat melanjutkan pengurukan sampai 100 meter -- padahal jarak reklamasi dengan dermaga juga tinggal 100 meter. Maka, jelaslah, keluhan Bukit Asam tidak mengada-ada. Dan tampaknya, Pemda Lampung harus bertindak sebelum ada gangguan fatal terhadap PLTU Suralaya. Diah Purnomowati dan Effendy Sa'at
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini