Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INILAH potret seorang suporter sepak bola yang fanatik. Ajang, 42 tahun, suatu hari bergegas menutup bengkelnya di Kali Pasir, Cikini, Jakarta Pusat. Ia menyerahkan kunci rumah kepada dua anaknya sambil berpesan agar menjaga rumah dengan baik sementara warung tetap buka. Dua anak yang ditinggalkannya sempat merengut. Mereka kepingin ikut, tapi tak mungkin. Kalau mereka ikut, siapa yang menjaga warung? ”Tak ada pemasukan dong,” begitu pesan Ajang pada anak-anak perempuannya itu.
Dua pekan silam, Ajang bersama Dewi, istrinya, dan M. Fajri, anaknya yang paling kecil, meninggalkan Jakarta menuju Solo. Karena Fajri masih sekolah, kepada gurunya Dewi memintakan izin. ”Ada kondangan keluarga di Jawa,” begitu alasan Dewi.
Kondangan itu jelas bohong, karena, begitu sampai di Solo, mereka langsung meluncur ke Pagelaran Keraton, bangunan semacam pendapa yang menjadi transit Jakmania, kelompok pendukung tim Persija Jakarta. Dari sana, bersama anggota Jakmania lain, mereka pergi ke Stadion Manahan untuk bernyanyi-nyanyi dan berteriak, memompa semangat tim kesayangan mereka.
Keluarga Ajang adalah salah satu penggila Persija. Fanatisme mereka menggumpal. Bisa dipastikan, tiap kali tim Ibu Kota itu bertanding, mereka hadir di tribun untuk memberikan dukungan. Jangankan di Lebak Bulus, yang jadi kandang tim oranye, di seberang lautan pun mereka jabanin. Meskipun karena itu pendapatan lenyap. ”Kalau ke Solo seperti ini, paling nggak, pemasukan hilang satu juta deh,” katanya enteng.
Ongkos harus dia tanggung sendiri. Untuk itu, pasangan ini juga mengaku sering menjual barang di rumah. Saat ke Palembang, beberapa waktu lalu, mereka menjual pesawat televisi. ”Waktu ke Makassar, saya jual motor seharga Rp 5 juta. Hasil penjualannya, separuh buat keluarga yang di rumah, separuh lagi untuk ongkos,” ujar Ajang.
Sesampai di kota tujuan, perjalanan mereka tidak selalu menyenangkan. Lagi-lagi, demi tim kesayangan, mereka tak segan tidur hanya beralas kain bendera atau spanduk. Sulit dipahami, memang, tapi begitulah kecintaan Ajang kepada klubnya. Apa pun yang mustahil tiba-tiba menjadi mungkin.
Di kubu Jakmania, orang seperti Ajang jumlahnya bejibun. Hilda, 24 tahun, yang masih kuliah di Universitas Bung Karno, Jakarta, misalnya. Perempuan manis ini rela meninggalkan jadwal pengajuan skripsinya semata-mata demi menonton Persija berlaga di babak delapan besar di Solo.
Di stadion, Hilda, pentolan Jak Angel—ini julukan Jakmania perempuan—dengan cuek berada di barisan suporter yang rata-rata laki-laki. ”Orang tua sempat mengomel, tapi setelah dijelasin, nyokap (ibu) malah ikut jadi anggota Jakmania,” katanya, terkekeh.
Geliat suporter menjadi fenomena menarik dalam sepak bola Indonesia. Bersamaan dengan digulirkannya Liga Indonesia sejak 1996, suporter yang sebelumnya terpecah pun menyatukan diri. Mereka punya nama dan atribut khas masing-masing. Tak aneh bila saat tim mereka bertanding, stadion tiba-tiba berubah menjadi lautan warna-warni sesuai dengan warna kostum tim tersebut.
Mereka juga berusaha lebih tertib. Inilah yang terjadi di Stadion Manahan, Sabtu dua pekan silam. Sesampai di stadion, para pendukung itu rapi di barisan antrean. Saat pertandingan berlangsung, tak kurang dari seribuan orang menyanyikan syair-syair mars Jakmania dengan diiringi 11 drum yang menghentak-hentak. Di setiap pojok terlihat beberapa orang menjadi penjaga. Merekalah yang bertanggung jawab agar tak terjadi keributan.
Tentu ini berbeda dengan pemandangan yang terjadi saat digelar pertandingan Arema melawan Persiwa Wamena, dua pekan sebelumnya di Stadion Brawijaya, Kediri. Dalam babak Delapan Besar Liga Indonesia, suporter Arema berulah. Pendukung Arema tidak puas saat dua gol tim mereka dianulir wasit. Seketika stadion rusuh. Kemarahan mereka menjalar ke luar lapangan. Rumah-rumah di sekitar stadion dirusak.
Kerusuhan di lapangan sepak bola, sejatinya, tidak saja terjadi di Indonesia. Di negeri yang sudah maju sepak bolanya saja, hal serupa kerap terjadi. Pangkal soalnya adalah emosi massa yang sulit dikendalikan.
Gara-gara kerusuhan di Kediri, Komisi Disiplin kemudian menjatuhkan larangan bagi Aremania untuk menonton pertandingan sepak bola di Indonesia selama tiga tahun. Tentulah, berat bagi mereka. Sebelumnya, Arema ditinggalkan pelatih Miroslav Janu, eh, kini bertanding tanpa penonton. ”Pernah juga saya bermain tanpa suporter. Rasanya kurang semangat. Kurang motivasi dalam bermain,” kata Ismed Sofyan, pemain Persija.
Bagi pemain, kehadiran para pendukung sungguh positif. ”Suporter sangat penting. Mereka boleh dibilang bak pemain kedua belas saat pertandingan,” kata Ismed lagi. Ini dibenarkan Raja Isa, pelatih Persipura, Jayapura. ”Pokoknya, yang penting stadion penuh. Bagi saya, suporter Indonesia itu luar biasa,” katanya.
Pascarusuh di Kediri, klub pendukung Arema ini meminta maaf pada semua pihak atas kerusuhan tersebut. ”Ada beberapa oknum Aremania yang bertindak di luar koordinasi kami,” kata Koordinator Wilayah Tongan, Haji Slamet Syamsul Karim.
Memang, masing-masing kelompok suporter punya peraturan untuk mengatur ulah para pendukungnya. Aremania, misalnya. Kelompok suporter ini sebenarnya dikenal sebagai kelompok yang baik dan jarang rusuh. Mereka malah mendapatkan dua kali penghargaan pada 2004 dan 2006 sebagai the best supporter.
Menurut Surtato, Korwil Bululawang punya aturan ketat. Saat antre karcis, mereka wajib tertib, tak boleh menyerobot. Bila ada yang nekat, penonton lain akan mengingatkannya. Demikian juga saat berada di stadion.
Aremania selalu saling mengingatkan untuk tidak berbuat onar. Jika peringatan tersebut tidak diindahkan, yang lain akan menegur. ”Jika keterlaluan, ya akan dipukuli sendiri oleh teman-temannya,” ujar Sutarto. Menurut Sutarto, ketertiban ini berada di tangan korwil, yang memantau anak buahnya baik di dalam maupun di luar stadion.
Begitu juga dengan Jakmania. Saat menyaksikan pertandingan, mereka diawasi koordinator lapangan dan koordinator wilayah. Mereka wajib menasihati, memberikan arahan, sampai menghitung anggotanya. Bahkan juga memeriksa isi tas anggota saat akan berangkat menyaksikan tim kesayangannya.
Koordinator lapangan dibantu tim pengamanan mengawasi pula kalau ada ”penyusup”, provokator dari luar. ”Kami menempatkan keamanan di sisi-sisi yang berbatasan dengan penonton yang bukan anggota kami,” kata Danang Ismartani, Ketua Jakmania.
Namun, lagi-lagi, keadaan di lapangan tidak seperti di atas kertas. Mereka, para suporter, adalah manusia yang punya hati dan rasa. Kecewa sedikit saja, dengan cepat akan merambat ke penonton lainnya. Nah, saat itulah segala kemungkinan bisa saja terjadi.
Danang mengakui sulit sekali mengendalikan massa seperti suporter. Apalagi bila mereka dikecewakan keputusan wasit di lapangan. ”Kalau sudah begitu, biasanya kami menyanyikan syair yang menghujat wasit. Daripada rusuh, kekecewaan disalurkan melalui kata-kata,” katanya. Intinya, mulut boleh ribut, tapi tangan tidak boleh ikut-ikutan.
Irfan Budiman, Anton Septian, Imron Rosyid (Solo), Bibin Bintariadi (Malang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo