Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Filsuf bahasa Ludwig Wittgenstein pernah berkata ”jangan tanyakan makna sebuah kata, tetapi tanyakan pemakaiannya” atau dalam bahasa Inggris dikatakan ”meaning is use”. Bagaimanapun, pernyataan ini menggugah saya ketika membaca berita dan imbauan yang berhubungan dengan musibah dan malapetaka. Berita tentang korban bencana alam dan imbauan tentang berkorban dan pengorbanan. Akan tetapi, bagaimana dengan pemakaian tiga kata tersebut?
Pemakaian makna kata korban, berkorban, pengorbanan tentu akan membawa pemahaman yang berbeda-beda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993), korban bermakna ”orang, binatang, dsb yang menderita dan mengalami malapetaka akibat satu kejadian, perbuatan jahat”. Misalnya, kita mendengar korban banjir, korban bencana alam, korban pembunuhan, korban kecelakaan. Pokoknya selalu mengandung makna ketidaknyamanan, ketidakenakan, penderitaan, kerugian fisik/material dan mungkin kejiwaan, misalnya korban pemerkosaan. Akan tetapi, lain halnya dengan penggunaan kata berkorban.
Tajuk rencana koran Kompas (19 Desember 2007) berjudul ”Pentingnya Semangat Berkorban”. Paragraf selanjutnya berbunyi sebagai berikut. ”Semangat berkorban itulah kita butuhkan sekarang ini…. Sikap berkorban yang diajarkan Nabi Ibrahim bukan hanya berlaku bagi umat Islam. Pada semua ajaran agama dari keturunan Nabi Ibrahim diajarkan bagaimana kepatuhan kepada perintah Tuhan harus dijalankan dan terutama kepatuhan itu adalah keharusan kita untuk mau berkorban kepada sesama.” Ungkapan yang berhubungan dengan berkorban muncul dalam bentuk ”Tuntutan bagi kemauan untuk berkorban…”, ”Perubahan iklim… untuk mau berkorban…”, ”… kesediaan untuk berkorban. Yang dimintakan Tuhan dalam hal berkorban itu… peduli kepada sesama sama nilainya dengan berkorban kepada-Nya”.
Bagaimana kita memaknai kata berkorban dikaitkan dengan makna leksikal kata korban dalam kamus dan pemakaian sehari-hari? Makna berkorban malah menyangkut orang yang tidak mengalami musibah. Mereka yang berkorban pada umumnya mempunyai kelebihan harta, mempunyai kesuksesan hidup, mempunyai kualitas hidup rohani dan jasmani yang tinggi. Akibatnya, mereka diimbau untuk semangat berkorban, sikap berkorban, mau berkorban, kesediaan berkorban, malah dikatakan ”berkorban kepada Tuhan”. Mereka tidak menderita. Akan tetapi, itulah kenyataan makna berdasarkan pemakaian.
Lalu kita membaca sebuah artikel berjudul ”Keimanan dan Pengorbanan” (Kompas, 19 Desember 2007, hlm. 9). Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan pengorbanan dengan ”proses, cara, perbuatan mengorbankan” (hlm. 526). Akan tetapi, pemakaian kata pengorbanan dalam artikel ini bermakna ”kesediaan dan kemauan atau dengan sengaja mau mengambil bagian dalam penderitaan orang lain walaupun ia sendiri tidak menderita”. Pengorbanan dalam hal ini bermakna ”membantu, memberi, meringankan penderitaan orang lain. Inilah makna pemakaian ”pengorbanan”. Artikel ini ditutup dengan ”Marilah kita berkorban”.
Goenawan Mohamad dalam Tempo (edisi 24-30 Desember 2007, hlm. 210) dengan judul artikel ”Langka” mengatakan ”Pengorbanan adalah ’memberi’.” Saya kira makna pengorbanan sebagai ”memberi” lebih mengena dalam keadaan apa pun. Misalnya, pengorbanan jiwa dan raga para pejuang bangsa untuk kemerdekaan Indonesia. Pengorbanan bisa dilakukan dalam bentuk zakat, derma, bantuan, dan kolekte dengan memberi sesuatu apa pun bentuknya.
Pembaca dapat menangkap betapa jauh jarak antara makna korban, berkorban, dan pengorbanan yang terdapat dalam kamus dan pemakaiannya.
Makna yang terdapat dalam kamus sering tidak dapat membantu kita dalam memahami sebuah kalimat dalam konteks tertentu. Pemahaman dan pemaknaan sebuah kata akan berlangsung dalam kalimat dan konteks. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang sedang berkembang dan makna kata pun tetap berkembang. Makna kata tidak mati seperti dalam kamus. Inilah bahasa yang hidup.
Berkorban berarti memberi kepada orang yang berkekurangan dan membutuhkannya. Pengorbanan pun bermakna pemberian dengan sukarela dan ikhlas. Dalam hubungan dengan pernyataan bahwa ”jangan tanya tentang makna sebuah kata, tetapi tanyakan pemakaiannya”, saya tentu akan lebih tercengang lagi dengan kalimat penulis tajuk rencana Kompas. ”Sepanjang kita mau dan bersedia berkorban dan peduli kepada sesama, itu sama nilainya dengan berkorban kepada-Nya.” Pertanyaan saya ialah ”apakah Tuhan (-Nya) punya kekurangan?” Saya tidak tahu apakah pernyataan itu bersifat metaforis. Makna kata adalah makna berdasarkan pemakaiannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo