DI tengah ricuhnya kepengurusan PSSI dan merosotnya pamor sepak
bola nasional akhir-akhir ini kegiatan sepak bola dari bawah,
diam-diam tetap berjalan di beberapa pelosok. Olah raga rakyat
yang sering berupa kompetisi antardesa itu, sekalipun sering
berjalan seret, berlangsung tanpa hingar-bingar.
Ada 2 daerah yang paling galak dalam kegiatan itu untuk mencari
bibit pemain. Surabaya dan Sumatera Barat. Orang barangkali
belum pernah mendengarkannya, tetapi di Surabaya gelanggang
pembibitan itu disebut Galadesa. Sebanyak 19 kecamatan di kota
madya itu mengirimkan timnya untuk merebut kejuaraan yang
diadakan tiap tahun.
Sedangkan di Sumatera Barat gelanggang itu belum disebut
Galadesa. Orang-orang awak di sana cukup menamainya Harun Zain
Cup. Pesertanya terdiri dari desa yang di sana disebutkan
nagari. Dan sebanyak 543 nagari ambil bagian tiap tahun.
Di Surabaya, Galadesa itu muncul di benak beberapa orang pecandu
sepak bola di akhir 1970. Waktu itu Persebaya sedang jatuh pamor
dalam percaturan sepak bola nasional. Kelompok yang dipimpin
Koesbandi, salah seorang pengurus komisariat daerah PSSI,
menelurkan gagasan menyelenggarakan turnamen antar-anak-anak
belasan tahun (tertinggi 19 tahun) antardesa yang terdapat di
kota itu. Tetapi karena kekurangan dana, baru tahun 1979
Galadesa itu bisa berlangsung. Dikaitkan dengan peringatan hari
jadi Kota Surabaya.
Diselenggarakan tiap tahun, Galadesa model Surabaya ini
berhasil menghidupkan roda kompetisi sepak bola di tingkat
paling bawah. Sebelum dikirim ke Galadesa, semua desa di tiap
kecamatan (19 jumlahnya) mengadakan kompetisi dulu untuk memilih
desa mana yang berhak mewakili masing-masing kecamatan. Sebanyak
19 kesebelasan dari berbagai kecamatan itulah kini yang sedang
bertanding di Stadion Gelora 10 November, untuk, memperebutkan
Piala Walikota. Kompetisi Galadesa yang berlangsung sejak 20 Mei
dan berakhir 10 Juli itu dibuka Menpora, Abdul Gafur.
Buat kecamatan di kota seramai Surabaya membina pemain bukanlah
masalah enteng. Karena semakin sulitnya menemukan lapangan.
"Maklum di desa (kota) kan nggak ada lapangan," cerita Seger
Suhartono, pelatih dari Kecamatan Rungkut.
Anak-anak hanya bermain di tempat seadanya. Sehingga susah
menerapkan permainan bola yang standar. Dalam penyisihan
pertandingan antarkecamatan pun pertandingan sering
dilangsungkan di lapangan yang sempit. Tim Kecamatan Rungkut
sendiri beruntung dapat pinjaman lapangan dari klub Liga, Niac
Mitra, yang punya lapangan di situ.
Untuk cadangan pemain mudanya, Niac, rupanya turut memanfaatkan
untuk mencari bibit dari Galadesa ini. Menurut pelatih Basri,
sudah ada 300 pemain asal kompetisi tingkat desa yang dites
untuk dimasukkan dalam tim yunior Niac. Dari jumlah itu,
katanya, terpilih 28 orang.
Selain Niac, klub sepak bola Petro Kimia juga mencari bibit
pemainnya lewat Galadesa ini. Menurut kabar beberapa pemain yang
turut dalam kompetisi tahun ini sudah diincar Persebaya Yunior.
Fauzi Barmen, putra bos klub Assyabab, termasuk yang dipilih.
Di Sumatera Barat, kompetisi antarnagari itu dimulai sejak 1975.
Pencetus idenya Azwar Anas yang ketika itu direktur PT Semen
Padang dan Hasan Basri Durin, walikota Padang. Mereka
bercita-cita untuk memassalkan sepak bola. Harun Zain yang waktu
itu gubernur Sumatera Barat menyambut ide tersebut dengan
menyediakan piala.
Kompetisi bergerak dari tingkat kecamatan. Camat bersama
perserikatan yang ada di situ sebagai motor penggerak.
Kesebelasan nagari yang menang mewakili kecamatan untuk merebut
Piala Bupati. Dari tingkat ini kompetisi kemudian dilanjutkan ke
kompetisi puncak yang diikuti 14 daerah tingkat II. Di tingkat
ini kompetisi dengan batas umur 25 itu memperebutkan tempat
dalam Harun Zain Cup yang diselenggarakan untuk menyambut Hari
Kemerdekaan.
Si ujang dari ratusan nagari gairah benar menyambut kompetisi a
la Padang ini. Soalnya kalau terpilih dalam tim nagari dan
mewakili kecamatan, berarti mereka bisa mengenakan kaus yang
cantik dan tampil untuk ditonton orang di stadion. "Malahan ada
yang belum pernah melihat Kota Padang, lewat kesebelasan
nagarinya mereka bisa sampai ke Padang," begitu kata seorang
wartawan olah raga yang berpangkalan di Padang.
Kompetisi di tingkat kecamatan biasanya dimulai sejak Mei.
Pemuda bertelanjang kaki sampai wasit yang pakai sarung mulai
menampakkan diri di berbagai nagari. Tetapi di luar lapangan,
mereka harus bekerja keras juga untuk mengumpulkan uang bakal
membeli bola dan pakaian tim.
Ada yang menjadi buruh mencangkul. Ada pula yang meminta bantuan
dari orang di rantau dan para dermawan. Kesebelasan Nagari Koto
Nan Ampek Kota Madya Payakumbuh yang meraih Piala Harun Zain
tahun kemarin membayar mahal untuk kemenangan itu. Hampir
seluruh pemain yang berjumlah 22 orang sudah loyo dulu sebelum
bertanding karena harus mencangkul untuk membeli bola. "Bantuan
dari pemerintah jangan diharap. Mereka hanya mau menganjur,"
tutur Ramzi Zainuddin, pelatih tim Koto Nan Ampek.
Klub perserikatan, PSP Padang menangguk pemain dari kompetisi
antarnagari ini. Salah seorang bintangnya, Aprius, 21 tahun,
dijaring dari Nagari Baringin oleh klub Liga, Semen Padang. Tak
ada tim yang bisa bertahan lama di pucuk kejuaraan. Kecuali
Nagari Koto Tangah Koto Madya Padang yang bertahan hingga 2
tahun. Selebihnya rontok tahun berikutnya, antara lain, karena
semangat merantau Urang Awak. Banyak yang meninggalkan nagarinya
merantau ke mana-mana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini