MATAHARI Surabaya membasuh wajahnya dengan keringat. Dari lorong
ke lorong sepatu big boss hitam lusuh yang dipakainya bagaikan
mau terlepas. Tak seorang menyilakannya mampir. Hanya sesekali
anak-anak menyapanya: "selamat siang Cak Markeso". Padahal hari
itu, sudah belasan kilometer kakinya berjalan.
Markeso, laki-laki berusia 63 tahun itu, setiap hari berjalan
dan berjalan mengitari kota. Bukan untuk disapa atau diajak
mampir, tidak juga agar disuguhi minum. Yang ia butuhkan: ada
yang menanggapnya, menyuruhnya bermain ludruk -- lalu memberinya
uang. Dan orang-orang di sepanjang lorong, di kampung-kampung
Kota Surabaya, tahu keinginan pemain ludruk tunggal itu. Tapi
mereka tetap tidak peduli.
Sebaiknya laki-laki bertubuh kurus itu tak pernah jera. Bahkan
selama bulan puasa ini semakin banyak kilometer yang
dijelajahnya setiap hari. Pagi-pagi di rumahnya di Putat Jaya,
dekat daerah pelacuran Gang Dolly Surabaya, mula-mula ia memberi
"salam tabik" kepada istri dan kepada 5 ekor kucing
kesayangannya. Di ambang pintu rumah kontrakan 3 x 5 meter itu
ia menghentakkan kaki kanan dan kiri, masing-masing dua kali
secara bergantian -- "agar selamat". Maka dimulailah
pengembaraannya hari itu.
Akhir-akhir ini warga Kota Surabaya mengenali pemain ludruk
tunggal itu mengenakan baju batik dengan jas tanpa lengan
pemberian seorang sastrawan Surabaya. Sehelai sarung melilit di
pinggangnya. Matanya yang "khas Markeso", yang juling, ditutupi
kaca mata rayband -- hadiah kenalannya yang menjadi dosen di
Universitas Airlangga. Sedangkan sepatu big boss tadi adalah
pemberian seorang awak TVRI Surabaya.
Ludruk tunggal yang oleh orang Surabaya disebut ludruk garingan
agaknya sudah tak digemari lagi. Padahal di tahun 1960, banyak
pengamen jenis ludruk ini, baik di kota maupun di kampung. Kini
praktis hanya Markeso yang tetap setia ngamen sendirian -- yang
ia lakukan sejak tahun 1949 tanpa pernah bergabung dalam grup.
Para seniman di Dewan Kesenian Surabaya (DKS) menyebut ludruk
Cak Markeso dengan ludruk monoplay. "Makanan apa itu rek,"
komentar Markeso tentang predikat itu. Ia yang tak pernah
bersekolah, namun bisa membaca huruf Arab, memproklamasikan
keseniannya dengan nama ludruk ontang-anting. "Main sendirian,
tak ada panggung, di kaki lima pun jadi. Musik dari mulut
sendiri," katanya.
Meski begitu, penampilan Markeso tak lepas dari suasana
panggung. Dia selalu memancing imajinasi penonton, seolah-olah
berada di pentas dengan peralatan lengkap. "Awas, kabelnya
jangan kau injak, nanti spikernya jatuh," kata Markeso di
tengah-tengah banyolannya. Anak-anak yang mengelilingi pengamen
melihat kiri kanan: tak ada pengeras suara, tak ada kabel malang
melintang.
Memurai permainannya -- jika ada yang nanggap, tarifnya Rp 1.500
per jam -- ia melengkingkan tembang gaya Surabaya. Suaranya
memang tinggi dan meliuk-liuk. Diselingi dengan tetabuhan dan
mulut. Setiap berucap: gong... gong..." anak-anak pun menirukan.
Maka lawakan pun mengalir, selalu dikaitkan dengan situasi
terakhir.
Sindirannya selalu tajam, tapi tak pernah menabrak soal-soal
politik atau pemerintahan. Hanya soal-soal umum, seperti gadis
hamil sebelum nikah, orang-orang yang mudah kena godaan atau
tukang becak yang membohongi istrinya dengan mengatakan tak
dapat setoran, padahal kalah berjudi. "Tukang becak sekarang
memang sukanya main domino. Dulu, wah makmur," kata Markeso.
Sebelum tahun 1960-an, cerita Markeso lagi justru tukang becak
yang suka nanggap dia. Sekarang jangankan tukang becak, orang
berduit saja tak mau nanggap -- tetapi menonton gratis senang,"
katanya setengah mengeluh.
Markeso lahir tidak dari keluarga ludruk. Tak satu pun dari
saudaranya yang 5 orang itu berdarah seni. Ayahnya, Rakiman,
seorang kiai, meninggal di zaman Belanda..Ibunya, Mujinah,
seorang pedagang kecil. Sanak saudaranya kini berada di sebuah
desa di Kabupaten Kediri -- Markeso tak menyebutkan persisnya.
"Markeso nama asli. Saya lahir di Endrosono Wnosari, Kecamatan
Semampir, Surabaya. Kampung itu sudah hilang dari peta bumi,"
ujar Markeso serius.
Ternyata itulah kisah sedih pertama keluarga Markeso. Tanah
kelahirannya itu diambil Jepang untuk basis angkatan laut.
Setelah Indonesia merdeka, otomatis kawasan itu dikuasai
Angkatan Laut RI. Pernah, menjelang peristiwa G30S/PKI,
pemerintah menyinggung ganti rugi buat Markeso. "Saya cuma capek
dimintai cap jempol," keluh Markeso. Pembayaran ganti rugi itu
tertunda, sampai sekarang. Markeso juga tak pernah
menanyakannya.
Perkawinan Markeso juga kisah tragis lain lagi. Istri pertamanya
meninggal setelah setahun dikawininya. Istri kedua ia ceraikan,
juga setelah kawin setahun. Di masa revolusi, ia mengungsi
menemani ibunya yang sudah tua di Kediri. "Di tempat kacau di
pengungsian itu, saya ketemu Suparti, dan kawin," katanya.
Suparti, gadis Tulungagung inilah menemani hidupnya sampai
sekarang. Tanpa anak.
Pulang dari pengungsian, Markeso dan Suparti kembali ke
Surabaya, tanpa tahu apa yang akan dikerjakan. Ia ikut-ikutan
sebuah grup ludruk yang waktu itu banyak jumlahnya. Ternyata
Markeso berbakat. Grupnya, "Ludruk Cinta Massa" populer.
Penyakit grup terkenal, dulu dan segarang agaknya sama, cekcok
soal pembagian honor. Markeso akhirnya, 1949, memilih keluar.
Sejak itu ia main sendirian. Ia merasa mampu, ditambah pemujanya
sudah cukup banyak. Dan sejak itu pula penggemar menambahkan
"Cak" di depan namanya.
Memang laris. Setiap malam Markeso tak pernah di rumah. Beberapa
minggu sebelumnya sudah di-booking. Ia mengisi acara perkawinan,
sunatan, dan pesta-pesta keluarga. "Dulu, orang minum tuak pun
pakai nanggap ludruk segala," kisahnya. Sekarang? "Orang lebih
suka judi buntutan."
Cak Markeso diam-diam menganalisa dirinya. Kesimpulannya, bakat
dan keahliannya tak berkurang. Masyarakatlah yang sudah berubah:
hiburan dengm mudah diperoleh di radio, televisi, bioskop
keliling, dan video bagi orang kota yang berada -- nanggap
ludruk ngamen dianggap menurunkan gengsi. "Mungkin ludruk
garingan saya akan tamat," katanya seperti membuat kesimpulan.
Hidupnya bersama Suparti kini memang tak menggembirakan.
Tabungan di masa jayanya dulu sudah lama habis untuk berobat
ketika ia sakit keras. Rumah yang sudah dibelinya juga dijual.
Kini Markeso diam di rumah kontrakan, dengan sewa Rp 40.000
setahun. Di rumah kecil itu hanya ada perabotan berupa 2 kursi
tua dari kayu dan sebuah lemari berfungsi ganda: tempat makanan
dan pakaian. Di atas lemari itu, ada jam bersimbol singa,
kontras dengan pemandangan di sekitarnya. Barang itu adalah
sumbangan Lions Club Patria Surabaya, sebuah organisasi sosial.
Ia menerima sumbangan itu pertengahan Juni lalu berikut beras 50
kg, satu kaleng roti, dan uang Rp 15.000. "Bukan penderitaan
Markeso yang kami hargai, tetapi kebesaran jiwanya. Dia tokoh
kemanusiaan bagi Lions Club," kata Markus Sayogo, S.H.,
pimpinan Lions Club Surabaya tanpa penjelasan lebih terperinci.
"Cuma inilah kekayaan saya sekarang," kata Markeso sambil
mengelus jam itu.
Walikota Surabaya, Moehadji Widjaja, juga pernah memberikan
sumbangan Rp 100.000 kepada seniman ludruk ini di pertengahan
tahun lalu. Ketika itu Markeso sakit dan permohonan bantuan ke
Pemerintah Daerah Kota Madya Surabaya datang dari DKS. Markeso
menerima bantuan itu rupanya dengan hati sedih juga. "Saya
merasa sia-sia ngamen 30 tahun lebih, kalau akhirnya hanya
menyusahkan kawan-kawan," ujarnya.
Cak Markeso berkawan akrab dengan seniman-seniman sekarang --
yang disebutnya "seniman modern". Tak hanya di Surabaya, juga di
Jakarta dan Yogya. Ia pernah memukau masyarakat Yogya lewat
pergelarannya tahun lalu. Beberapa saat setelah selesai naik
pentas TIM Jakarta, tahun 1979, ia menggumamkan kesimpulannya:
"seniman modern terlalu banyak tingkah". Tapi segera
ditambahkannya, "yang namanya seniman modern itu, sugih juga,
ya."
Ketika di Jakarta itu pula ia berkenalan dengan penyanyi Rhoma
Irama. Markeso memberi salam dengan gaya ludruk:
"Assalamualaikum Pak Haji." Rhoma kaget sebentar, tapi setelah
omong-omong kecil, Rhoma menyelipkan uang Rp 5.000 ke saku
Markeso. "Gampange rek cari duit di Jakarta," katanya mengenang.
Dramawan dan penyair Rendra, juga kawan Markeso. Ketika itu
(1978) Rendra datang ke Surabaya, mementaskan drama Sekda.
Rendra sehari penuh membuntuti Markeso ngamen. Tentu saja tukang
becak di Surabaya tak kenal Rendra. Adalah Markeso yang
memperkenalkan Rendra kepada "masyarakat kecil". Tatkala itu,
Rendra yang menurut Markeso pintar merayu, berjanji akan
membuatkan rumah untuk Markeso. Janji tinggal janji. "Rumah
tawon barangkali," ujar Markeso mengingat kejadian itu.
Dunia rekaman juga pernah ia coba untuk memperbaiki nasibnya
yang kian surut. Cuma saja, Markeso kebagian "bintang tamu"
dalam rekaman grup ludruk Sawunggaling. Sudah tiga kaset rekaman
keluar, Markeso dibayar bervariasi, dari Rp 50.000 kemudian Rp
30.000 dan yang terakhir Rp 25.000. "Masak bintang tamu honornya
terus melorot," kata Markeso. Ia tak mau lagi rekaman.
Sejak Juni 1983, Markeso mencoba dunia baru lagi: siaran di
radio swasta El Victor. Acaranya berlangsung 2 kali seminggu,
setiap malam Rabu dan malam Minggu, mendampingi penyiar Harry
Bagong mengasuh acara "mana suka gending-gending Jawatimuran."
Tugas Markeso membuat cletukan. Untuk tugas itu, sekali datang
Markeso diberi uang transpor Rp 1.000. "Honor bulanan saya
belum tahu," katanya akhir bulan lalu.
Tapi Markeso belakangan ini masih juga tersuruk-suruk menyusuri
Kota Surabaya menawarkan ludruk ontang-antingnya. Jika pun
sehari suntuk itu tak ada yang nanggap, ia pulang ke rumah
disambut istrinya beserta 5 ekor kucingnya. Markeso barangkali
sama dengan seniman masa lampau: dipuja ketika jaya, jatuh
melarat, untuk diungkit-ungkit lagi melalui beberapa kalimat
dalam sejarah setelah meninggal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini