Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Cak markeso di sepanjang jalan

Kehidupan cak markeso, pemain ludruk tunggal (garingan) yang kini hampir punah. (tk)

9 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MATAHARI Surabaya membasuh wajahnya dengan keringat. Dari lorong ke lorong sepatu big boss hitam lusuh yang dipakainya bagaikan mau terlepas. Tak seorang menyilakannya mampir. Hanya sesekali anak-anak menyapanya: "selamat siang Cak Markeso". Padahal hari itu, sudah belasan kilometer kakinya berjalan. Markeso, laki-laki berusia 63 tahun itu, setiap hari berjalan dan berjalan mengitari kota. Bukan untuk disapa atau diajak mampir, tidak juga agar disuguhi minum. Yang ia butuhkan: ada yang menanggapnya, menyuruhnya bermain ludruk -- lalu memberinya uang. Dan orang-orang di sepanjang lorong, di kampung-kampung Kota Surabaya, tahu keinginan pemain ludruk tunggal itu. Tapi mereka tetap tidak peduli. Sebaiknya laki-laki bertubuh kurus itu tak pernah jera. Bahkan selama bulan puasa ini semakin banyak kilometer yang dijelajahnya setiap hari. Pagi-pagi di rumahnya di Putat Jaya, dekat daerah pelacuran Gang Dolly Surabaya, mula-mula ia memberi "salam tabik" kepada istri dan kepada 5 ekor kucing kesayangannya. Di ambang pintu rumah kontrakan 3 x 5 meter itu ia menghentakkan kaki kanan dan kiri, masing-masing dua kali secara bergantian -- "agar selamat". Maka dimulailah pengembaraannya hari itu. Akhir-akhir ini warga Kota Surabaya mengenali pemain ludruk tunggal itu mengenakan baju batik dengan jas tanpa lengan pemberian seorang sastrawan Surabaya. Sehelai sarung melilit di pinggangnya. Matanya yang "khas Markeso", yang juling, ditutupi kaca mata rayband -- hadiah kenalannya yang menjadi dosen di Universitas Airlangga. Sedangkan sepatu big boss tadi adalah pemberian seorang awak TVRI Surabaya. Ludruk tunggal yang oleh orang Surabaya disebut ludruk garingan agaknya sudah tak digemari lagi. Padahal di tahun 1960, banyak pengamen jenis ludruk ini, baik di kota maupun di kampung. Kini praktis hanya Markeso yang tetap setia ngamen sendirian -- yang ia lakukan sejak tahun 1949 tanpa pernah bergabung dalam grup. Para seniman di Dewan Kesenian Surabaya (DKS) menyebut ludruk Cak Markeso dengan ludruk monoplay. "Makanan apa itu rek," komentar Markeso tentang predikat itu. Ia yang tak pernah bersekolah, namun bisa membaca huruf Arab, memproklamasikan keseniannya dengan nama ludruk ontang-anting. "Main sendirian, tak ada panggung, di kaki lima pun jadi. Musik dari mulut sendiri," katanya. Meski begitu, penampilan Markeso tak lepas dari suasana panggung. Dia selalu memancing imajinasi penonton, seolah-olah berada di pentas dengan peralatan lengkap. "Awas, kabelnya jangan kau injak, nanti spikernya jatuh," kata Markeso di tengah-tengah banyolannya. Anak-anak yang mengelilingi pengamen melihat kiri kanan: tak ada pengeras suara, tak ada kabel malang melintang. Memurai permainannya -- jika ada yang nanggap, tarifnya Rp 1.500 per jam -- ia melengkingkan tembang gaya Surabaya. Suaranya memang tinggi dan meliuk-liuk. Diselingi dengan tetabuhan dan mulut. Setiap berucap: gong... gong..." anak-anak pun menirukan. Maka lawakan pun mengalir, selalu dikaitkan dengan situasi terakhir. Sindirannya selalu tajam, tapi tak pernah menabrak soal-soal politik atau pemerintahan. Hanya soal-soal umum, seperti gadis hamil sebelum nikah, orang-orang yang mudah kena godaan atau tukang becak yang membohongi istrinya dengan mengatakan tak dapat setoran, padahal kalah berjudi. "Tukang becak sekarang memang sukanya main domino. Dulu, wah makmur," kata Markeso. Sebelum tahun 1960-an, cerita Markeso lagi justru tukang becak yang suka nanggap dia. Sekarang jangankan tukang becak, orang berduit saja tak mau nanggap -- tetapi menonton gratis senang," katanya setengah mengeluh. Markeso lahir tidak dari keluarga ludruk. Tak satu pun dari saudaranya yang 5 orang itu berdarah seni. Ayahnya, Rakiman, seorang kiai, meninggal di zaman Belanda..Ibunya, Mujinah, seorang pedagang kecil. Sanak saudaranya kini berada di sebuah desa di Kabupaten Kediri -- Markeso tak menyebutkan persisnya. "Markeso nama asli. Saya lahir di Endrosono Wnosari, Kecamatan Semampir, Surabaya. Kampung itu sudah hilang dari peta bumi," ujar Markeso serius. Ternyata itulah kisah sedih pertama keluarga Markeso. Tanah kelahirannya itu diambil Jepang untuk basis angkatan laut. Setelah Indonesia merdeka, otomatis kawasan itu dikuasai Angkatan Laut RI. Pernah, menjelang peristiwa G30S/PKI, pemerintah menyinggung ganti rugi buat Markeso. "Saya cuma capek dimintai cap jempol," keluh Markeso. Pembayaran ganti rugi itu tertunda, sampai sekarang. Markeso juga tak pernah menanyakannya. Perkawinan Markeso juga kisah tragis lain lagi. Istri pertamanya meninggal setelah setahun dikawininya. Istri kedua ia ceraikan, juga setelah kawin setahun. Di masa revolusi, ia mengungsi menemani ibunya yang sudah tua di Kediri. "Di tempat kacau di pengungsian itu, saya ketemu Suparti, dan kawin," katanya. Suparti, gadis Tulungagung inilah menemani hidupnya sampai sekarang. Tanpa anak. Pulang dari pengungsian, Markeso dan Suparti kembali ke Surabaya, tanpa tahu apa yang akan dikerjakan. Ia ikut-ikutan sebuah grup ludruk yang waktu itu banyak jumlahnya. Ternyata Markeso berbakat. Grupnya, "Ludruk Cinta Massa" populer. Penyakit grup terkenal, dulu dan segarang agaknya sama, cekcok soal pembagian honor. Markeso akhirnya, 1949, memilih keluar. Sejak itu ia main sendirian. Ia merasa mampu, ditambah pemujanya sudah cukup banyak. Dan sejak itu pula penggemar menambahkan "Cak" di depan namanya. Memang laris. Setiap malam Markeso tak pernah di rumah. Beberapa minggu sebelumnya sudah di-booking. Ia mengisi acara perkawinan, sunatan, dan pesta-pesta keluarga. "Dulu, orang minum tuak pun pakai nanggap ludruk segala," kisahnya. Sekarang? "Orang lebih suka judi buntutan." Cak Markeso diam-diam menganalisa dirinya. Kesimpulannya, bakat dan keahliannya tak berkurang. Masyarakatlah yang sudah berubah: hiburan dengm mudah diperoleh di radio, televisi, bioskop keliling, dan video bagi orang kota yang berada -- nanggap ludruk ngamen dianggap menurunkan gengsi. "Mungkin ludruk garingan saya akan tamat," katanya seperti membuat kesimpulan. Hidupnya bersama Suparti kini memang tak menggembirakan. Tabungan di masa jayanya dulu sudah lama habis untuk berobat ketika ia sakit keras. Rumah yang sudah dibelinya juga dijual. Kini Markeso diam di rumah kontrakan, dengan sewa Rp 40.000 setahun. Di rumah kecil itu hanya ada perabotan berupa 2 kursi tua dari kayu dan sebuah lemari berfungsi ganda: tempat makanan dan pakaian. Di atas lemari itu, ada jam bersimbol singa, kontras dengan pemandangan di sekitarnya. Barang itu adalah sumbangan Lions Club Patria Surabaya, sebuah organisasi sosial. Ia menerima sumbangan itu pertengahan Juni lalu berikut beras 50 kg, satu kaleng roti, dan uang Rp 15.000. "Bukan penderitaan Markeso yang kami hargai, tetapi kebesaran jiwanya. Dia tokoh kemanusiaan bagi Lions Club," kata Markus Sayogo, S.H., pimpinan Lions Club Surabaya tanpa penjelasan lebih terperinci. "Cuma inilah kekayaan saya sekarang," kata Markeso sambil mengelus jam itu. Walikota Surabaya, Moehadji Widjaja, juga pernah memberikan sumbangan Rp 100.000 kepada seniman ludruk ini di pertengahan tahun lalu. Ketika itu Markeso sakit dan permohonan bantuan ke Pemerintah Daerah Kota Madya Surabaya datang dari DKS. Markeso menerima bantuan itu rupanya dengan hati sedih juga. "Saya merasa sia-sia ngamen 30 tahun lebih, kalau akhirnya hanya menyusahkan kawan-kawan," ujarnya. Cak Markeso berkawan akrab dengan seniman-seniman sekarang -- yang disebutnya "seniman modern". Tak hanya di Surabaya, juga di Jakarta dan Yogya. Ia pernah memukau masyarakat Yogya lewat pergelarannya tahun lalu. Beberapa saat setelah selesai naik pentas TIM Jakarta, tahun 1979, ia menggumamkan kesimpulannya: "seniman modern terlalu banyak tingkah". Tapi segera ditambahkannya, "yang namanya seniman modern itu, sugih juga, ya." Ketika di Jakarta itu pula ia berkenalan dengan penyanyi Rhoma Irama. Markeso memberi salam dengan gaya ludruk: "Assalamualaikum Pak Haji." Rhoma kaget sebentar, tapi setelah omong-omong kecil, Rhoma menyelipkan uang Rp 5.000 ke saku Markeso. "Gampange rek cari duit di Jakarta," katanya mengenang. Dramawan dan penyair Rendra, juga kawan Markeso. Ketika itu (1978) Rendra datang ke Surabaya, mementaskan drama Sekda. Rendra sehari penuh membuntuti Markeso ngamen. Tentu saja tukang becak di Surabaya tak kenal Rendra. Adalah Markeso yang memperkenalkan Rendra kepada "masyarakat kecil". Tatkala itu, Rendra yang menurut Markeso pintar merayu, berjanji akan membuatkan rumah untuk Markeso. Janji tinggal janji. "Rumah tawon barangkali," ujar Markeso mengingat kejadian itu. Dunia rekaman juga pernah ia coba untuk memperbaiki nasibnya yang kian surut. Cuma saja, Markeso kebagian "bintang tamu" dalam rekaman grup ludruk Sawunggaling. Sudah tiga kaset rekaman keluar, Markeso dibayar bervariasi, dari Rp 50.000 kemudian Rp 30.000 dan yang terakhir Rp 25.000. "Masak bintang tamu honornya terus melorot," kata Markeso. Ia tak mau lagi rekaman. Sejak Juni 1983, Markeso mencoba dunia baru lagi: siaran di radio swasta El Victor. Acaranya berlangsung 2 kali seminggu, setiap malam Rabu dan malam Minggu, mendampingi penyiar Harry Bagong mengasuh acara "mana suka gending-gending Jawatimuran." Tugas Markeso membuat cletukan. Untuk tugas itu, sekali datang Markeso diberi uang transpor Rp 1.000. "Honor bulanan saya belum tahu," katanya akhir bulan lalu. Tapi Markeso belakangan ini masih juga tersuruk-suruk menyusuri Kota Surabaya menawarkan ludruk ontang-antingnya. Jika pun sehari suntuk itu tak ada yang nanggap, ia pulang ke rumah disambut istrinya beserta 5 ekor kucingnya. Markeso barangkali sama dengan seniman masa lampau: dipuja ketika jaya, jatuh melarat, untuk diungkit-ungkit lagi melalui beberapa kalimat dalam sejarah setelah meninggal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus