AKTOR itu berkostum putih-putih. Langsung tampak unik. Soalnya,
di bagian pantatnya tergantung seekor bangkai ayam. Lantas di
bagian depan, persis menutupl alat vitalnya tergantung seekor
ikan -- mati sudah tentu -- sebesar telapak tangan. Ia -- si
aktor, bukan ikannya -- pun bergerak-gerak, melenggang-lenggok,
sesuai dengan karakter topeng yang dikenakannya. Sementara
petikan gitar mengiringi gerak-geraknya.
Itulah pementasan aktor Italia Confessa Pino, 30 tahun, di Pusat
Kebudayaan Prancis, Surabaya, 8 Juli. Sebuah gaya pementasan
untuk pertama kalinya: merupakan campuran topeng tradisional
Italia dan topeng Bali.
Dalam pementasan itu, Pino, demikian orang-orang Bali
memanggilnya, membawakan 13 karakter topeng. Yang
jalin-menjalin, topeng-topeng yang satu per satu dibawakannya
sendiri, membentuk satu cerita tentang percintaan Pulcinella dan
Carmelina, sebuah cerita rakyat Italia.
Maka dengan gaya topeng tradisional Italia -- yang dulu di
negara para mafioso itu biasanya dipertunjukkan di pasar, di
jalan-jalan untuk memeriahkan pesta rakyat yang dicampurkan
dengan gaya topeng Bali, muncullah karakter-karakter ini.
Seorang asing datang ke Bali dan belajar kebudayaan Pulau
Dewata.
Ada lagi topeng pendeta yang begitu khusyuk bersemadi, nyaris
mencapai nirwana. Muncul pula topeng perempuan yang dengan
giat belajar tari.
Topeng yang menggambarkan tokoh buruk, pun ada. Topeng seorang
kapiten kapal yang culas, lain di mulut lain di hati. Topeng
lain menggambarkan watak play boy kampungan, berlagak
intelektual. Pino memang pernah menjadi murid Donato Sartori,
tokoh topeng tradisional Italia terkenal.
Topeng-topeng itu semuanya memang topeng Italia, meski tak lagi
dibawakan dengan gaya asalnya, tapi sudah dicampur dengan
penyerapan Pino tentang topeng Bali. "Gaya ini bila saya bawakan
di Italia, tanggung tak akan disukai bangsa saya," katanya
kepada TEMPO, di Desa Saba, Gianyar. Barulah pada topeng ketiga
belas, Pino membawakan tari topeng Sidekarya yang terkenal itu,
dengan iringan gamelan Bali. "Itu untuk mempertemukan kebudayaan
Barat dan karakter Timur," kata si Pino.
Usaha Pino, 30 tahun, yang pernah ikut sejumlah grup teater di
Italia, juga pernah belajar kepada murid-murid tokoh pantomim
Prancis terkenal, Marcel Marceau, belum jelas kualitasnya. Pun
bukan baru sekali ini seorang seniman mencoba mengawinkan bau
Bali dengan yang lain. Tapi, penyerapan Pino terhadap topeng
Bali tampaknya serius. Ia, yang sejak 1982 mengajar di Akademi
Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar, belajar pada tokoh-tokoh
topeng ternama. Antara lain, kepada Made Bandem, I Gusti Putu
Panji, dan Raka Saba.
Yang lebih khas pada Pino yang pernah pula mempelajari seni
rakyat India dan Drama No Jepang ini, ialah pandangannya tentang
topeng Bali. "Topeng Bali itu masih murni, belum terpengaruh
dunia luar," kata Confessa. "Bau Hindu kunonya masih terasa
besar." Ia pun lantas membandingkannya dengan tari topeng
Cirebon, yang katanya sudah mencerminkan bau campuran antara
Hindu dan Islam. "Dan bagi saya, sulit membedakan mana Hindunya,
mana Islamnya pada topeng Cirebon. Maka saya bingung," tuturnya
terus terang. Pino pun, untuk lebih benar-benar memahami topeng
Bali, selama setahun, mencoba hidup seperti orang Bali. Bahkan
konon ia kini jatuh cinta dan merencanakan menikah dengan gadis
Bali.
Toh, akhirnya si Italia ini, yang semula datang ke Bali hanya
akan membuat film antropologi tentang pulau itu, sadar. Tak bisa
benar-benar ia membawakan topeng Bali sebagaimana orang Bali
sendiri. "Saya bisa makan sebagai orang Bali, tapi bagaimana
enaknya lawar (makanan khas Bali yang dicampur darah binatang)
bagi orang Bali, bagi saya tentu berbeda," katanya. "Maka saya
pasti tak bisa membawakan topeng Bali seperti orang Bali. Tari
itu hanya bisa dibawakan dengan perasaan orang Bali.
Karena itulah akhirnya ia tetap berpijak pada topeng tradisional
Italia, dengan bumbu gerak topeng Bali yang dianggapnya cocok.
Tentu bentuk akhirnya, seperti diakuinya sendiri, Bali bukan,
Italia juga bukan. Ini memang pengakuan yang berani.
Dilihat dari konsep peleburan dua kebudayaan itu -- yang Bali
dan Italia -- Pino agaknya memang tidak main-main. Boleh
disebutkan, dengan demikian ia telah mencoba menciptakan bentuk
tari atau teater yang baru. Meski diakuinya sendiri dengan
rendah hati, bahwa ciptaannya kali ini masih dalam taraf
pengembangan.
Orang-orang Bali sendiri tampaknya menghargai jerih-payah Pino.
Mereka suka nonton dan tertawa senang, bila Pino menari di
desa-desa. Seorang Prancis dari Pusat Kebudayaan Prancis
Surabaya, yang pernah menonton pertunjukan itu, berkomentar:
"Gerak yang amat kocak, yang tidak mirip pantomim, juga tidak
mirip topeng Bali."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini