Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kocak, bukan pantomin topeng buatan

Pementasan topeng tradisional italia campuran topeng bali oleh aktor italia, confessa pino, di pusat kebudayaan prancis, surabaya. (ter)

9 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKTOR itu berkostum putih-putih. Langsung tampak unik. Soalnya, di bagian pantatnya tergantung seekor bangkai ayam. Lantas di bagian depan, persis menutupl alat vitalnya tergantung seekor ikan -- mati sudah tentu -- sebesar telapak tangan. Ia -- si aktor, bukan ikannya -- pun bergerak-gerak, melenggang-lenggok, sesuai dengan karakter topeng yang dikenakannya. Sementara petikan gitar mengiringi gerak-geraknya. Itulah pementasan aktor Italia Confessa Pino, 30 tahun, di Pusat Kebudayaan Prancis, Surabaya, 8 Juli. Sebuah gaya pementasan untuk pertama kalinya: merupakan campuran topeng tradisional Italia dan topeng Bali. Dalam pementasan itu, Pino, demikian orang-orang Bali memanggilnya, membawakan 13 karakter topeng. Yang jalin-menjalin, topeng-topeng yang satu per satu dibawakannya sendiri, membentuk satu cerita tentang percintaan Pulcinella dan Carmelina, sebuah cerita rakyat Italia. Maka dengan gaya topeng tradisional Italia -- yang dulu di negara para mafioso itu biasanya dipertunjukkan di pasar, di jalan-jalan untuk memeriahkan pesta rakyat yang dicampurkan dengan gaya topeng Bali, muncullah karakter-karakter ini. Seorang asing datang ke Bali dan belajar kebudayaan Pulau Dewata. Ada lagi topeng pendeta yang begitu khusyuk bersemadi, nyaris mencapai nirwana. Muncul pula topeng perempuan yang dengan giat belajar tari. Topeng yang menggambarkan tokoh buruk, pun ada. Topeng seorang kapiten kapal yang culas, lain di mulut lain di hati. Topeng lain menggambarkan watak play boy kampungan, berlagak intelektual. Pino memang pernah menjadi murid Donato Sartori, tokoh topeng tradisional Italia terkenal. Topeng-topeng itu semuanya memang topeng Italia, meski tak lagi dibawakan dengan gaya asalnya, tapi sudah dicampur dengan penyerapan Pino tentang topeng Bali. "Gaya ini bila saya bawakan di Italia, tanggung tak akan disukai bangsa saya," katanya kepada TEMPO, di Desa Saba, Gianyar. Barulah pada topeng ketiga belas, Pino membawakan tari topeng Sidekarya yang terkenal itu, dengan iringan gamelan Bali. "Itu untuk mempertemukan kebudayaan Barat dan karakter Timur," kata si Pino. Usaha Pino, 30 tahun, yang pernah ikut sejumlah grup teater di Italia, juga pernah belajar kepada murid-murid tokoh pantomim Prancis terkenal, Marcel Marceau, belum jelas kualitasnya. Pun bukan baru sekali ini seorang seniman mencoba mengawinkan bau Bali dengan yang lain. Tapi, penyerapan Pino terhadap topeng Bali tampaknya serius. Ia, yang sejak 1982 mengajar di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar, belajar pada tokoh-tokoh topeng ternama. Antara lain, kepada Made Bandem, I Gusti Putu Panji, dan Raka Saba. Yang lebih khas pada Pino yang pernah pula mempelajari seni rakyat India dan Drama No Jepang ini, ialah pandangannya tentang topeng Bali. "Topeng Bali itu masih murni, belum terpengaruh dunia luar," kata Confessa. "Bau Hindu kunonya masih terasa besar." Ia pun lantas membandingkannya dengan tari topeng Cirebon, yang katanya sudah mencerminkan bau campuran antara Hindu dan Islam. "Dan bagi saya, sulit membedakan mana Hindunya, mana Islamnya pada topeng Cirebon. Maka saya bingung," tuturnya terus terang. Pino pun, untuk lebih benar-benar memahami topeng Bali, selama setahun, mencoba hidup seperti orang Bali. Bahkan konon ia kini jatuh cinta dan merencanakan menikah dengan gadis Bali. Toh, akhirnya si Italia ini, yang semula datang ke Bali hanya akan membuat film antropologi tentang pulau itu, sadar. Tak bisa benar-benar ia membawakan topeng Bali sebagaimana orang Bali sendiri. "Saya bisa makan sebagai orang Bali, tapi bagaimana enaknya lawar (makanan khas Bali yang dicampur darah binatang) bagi orang Bali, bagi saya tentu berbeda," katanya. "Maka saya pasti tak bisa membawakan topeng Bali seperti orang Bali. Tari itu hanya bisa dibawakan dengan perasaan orang Bali. Karena itulah akhirnya ia tetap berpijak pada topeng tradisional Italia, dengan bumbu gerak topeng Bali yang dianggapnya cocok. Tentu bentuk akhirnya, seperti diakuinya sendiri, Bali bukan, Italia juga bukan. Ini memang pengakuan yang berani. Dilihat dari konsep peleburan dua kebudayaan itu -- yang Bali dan Italia -- Pino agaknya memang tidak main-main. Boleh disebutkan, dengan demikian ia telah mencoba menciptakan bentuk tari atau teater yang baru. Meski diakuinya sendiri dengan rendah hati, bahwa ciptaannya kali ini masih dalam taraf pengembangan. Orang-orang Bali sendiri tampaknya menghargai jerih-payah Pino. Mereka suka nonton dan tertawa senang, bila Pino menari di desa-desa. Seorang Prancis dari Pusat Kebudayaan Prancis Surabaya, yang pernah menonton pertunjukan itu, berkomentar: "Gerak yang amat kocak, yang tidak mirip pantomim, juga tidak mirip topeng Bali."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus