SEBUAH kabar mengagetkan bagi ka langan hukum datang dari Medan. Pengacara terkenal di kota itu, Syarief Siregar, yang juga ketua II persatuan advokat, Ikadin, dan organisasi sarjana hukum, Persahi, Rabu pekan lalu ditangkap polisi. Pengacara yang dikenal simpatik itu digiring polisi ke balik "jeruji besi' dengan tuduhan memalukan, terlibat suap sepak bola. Syarief, Ketua PSMS 1982-1985, yang merasa difitnah dengan tuduhan itu, ternyata membuat aksi yang lebih mengagetkan di tahanan. Ia melakukan protes atas penahanannya dengan melakukan mogok makan sejak ia ditahan. Akibatnya, setelah puasa tiga hari tiga malam kondisinya melemah. Ia pingsan. Pada Sabtu malam lalu, polisi terpaksa memerdekakannya dan melarikannya dengan ambulans ke Rumah Sakit Herna Medan. "Pelbagai cairan gula dan mineral dalam tubuhnya nyaris kering hingga ia harus diinfus," kata Richard Susanto, dokter pribadi Syarief, kepada TEMPO. Empat orang pengacara yang bertindak sebagai kuasa pengacara senior itu, Syaiful Jalil Hasibuan, Faisal Oloan Nasution, Surya Gunawan, dan R. Akbar Lubis, menyesalkan tindakan polisi terhadap kliennya itu. Sebab, menurut mereka, sebenarnya polisi belum menggenggam bukti kuat, sepcrti disyaratkan KUHAP, untuk bisa menahan klien mereka. "Apa buktinya, ia terlibat kasus suap itu," ujar tim penasihat hukum itu. Kapolda Sum-Ut, Brigjen. Kunarto, menyangkal penahanan itu tanpa didasarkan bukti-bukti permulaan yang cukup. Buktibukti itu, kata Kunarto, sangat kuat seperti pengakuan empat orang saksi, para pemain PSMS Medan yang menerima duit Rp 22,5 juta dari Syarief. Selain itu, polisi juga merasa perlu menahan Syarief untuk mempermulus jalannya pemeriksaan. "Soalnya, ia selalu menjawab 'tidak tahu' setiap kali ditanyai soal suap itu," kata Kunarto kepada TEMPO Senin pekan ini. Pihaknya, kata Kunarto, juga khawatir, bila tak ditahan, Syarief akan menghilangkan barang bukti. Hanya saja penahanan itu kini perlu ditangguhkan, kata Kunarto, semata-mata berdasar advis dokter tentang kesehatannya, yang dikuatkan permintaan keluarganya. Kisah ini, sebenarnya, bermula ketika Indra Alamsyah, 36 tahun, yang disangka sebagai "bandar suap", dan hingga kini masih ditahan, menjalankan aksinya. Melalui Syarief, ia menjanjikan duit suap itu kepada para pemain PSMS yang berlaga di turnamen Marah Halim Cup 1988 di Medan (TEMPO, 3 September 1988). Waktu itu konon, Syarief memberikan uang suap secara bertahap kepada pemain PSMS sehingga berjumlah Rp 22,5 juta. Amran Ys, selaku tokoh sepak bola di Medan, yang mencium permainan kumuh itu, berhasil membujuk pemain untuk menyerahkan uang suap itu kepadanya. Uang haram itu kemudian disimpannya di rekeningnya di BRI. Setelah itu, Amran mengembalikan uang itu kepada pemain dengan cek-cek yang ditekennya sendiri. Nah, fotokopi cek-cek itulah yang tampil sebagai bukti beserta sisa uang di rekening Amran sebesar Rp 2,9 juta. Dalam pemeriksaan polisi ternyata Syarief dan Indra menolak tuduhan itu. Keduanya mengaku kenal karena Syarief adalah penasihat hukum PT Karetia, yang dipimpin Indra, sejak 1982. Itulah sebabnya Syarief tak menerima tindakan polisi menahan dirinya. "Kok polisi terlalu cepat menganggap saya menyuap hanya berdasarkan keterangan anak-anak PSMS itu," katanya kepada TEMPO. Menurut tim penasihat hukumnya, pengakuan para saksi itu bahkan sangat lemah. Misalnya, mereka mempertanyakan duit Rp 22,5 juta yang dianggap diberikan Syarief itu. Bukti-bukti cek-cek yang diterima pemain itu, kata mereka, justru berasal dari Amran. Bahkan sisa Rp 2,9 juta itu juga adalah duit Amran yang diambil dari rekening banknya. "Bagaimana membuktikan duit itu justru berasal dari Syarief?" kata mereka. Sebaliknya, Amran tetap ngotot bahwa uang itu berasal dari pemain yang menerima suap. Ia memasukkan uang itu ke bank dengan maksud memperoleh bukti akurat berupa nomor-nomor cek. Ia melakukan itu katanya, karena khawatir akan gagal lagi mengungkap kasus suap bila hanya mengandalkan pengakuan pemain, sepertl pernah terjadi pada 1982. Kendati Polda akhirnya menangguhkan penahanan Syarief, tak urung instansi itu jadi bulan-bulanan kalangan advokat. Maklum, pelbagai predikat melekat dalam diri Syarief. Protes pun mengalir mulai dari Koordinator Daerah Ikadin Sumatera Utara dan Ikadin Medan sampai DPP Ikadin dan Pengurus Pusat Persahi. Ikadin, misalnya, menyatakan penahanan itu melangar hak asasi manusia. "Orang seperti Syarief itu 'kan sebetulnya tidak perlu ditahan," ujar Wakil Sekjen Ikadin, Djohan Djauhari. Sebab itu pula Ketua Umum Ikadin Harjono Tjitrosoebono, Senin pekan ini, terbang ke Medan untuk menyelidiki kasus itu. Sementara itu, Ketua Umum Persahi, Albert Hasibuan, baru Selasa pekan ini akan pergi ke Medan. "Kalau memang penahanannya tak berdasar, pasti Persahi akan memprotesnya," kata Albert. Tim penasihat hukum Syarief, Syaiful dan Faisal, malah menganggap polisi kurang luwes menafsirkan KUHAP -- kendati terdakwa, sesuai dengan pasal suap, diancam hukuman maksimal 5 tahun. Sebab, menurut KUHAP, tersangka hanya "dapat" dan bukan "harus" ditahan. Penahanan itu pun baru layak jika tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri. Dengan berbagai jabatan Syarief itu, "Mana mungkin ia buron seperti layaknya residivis," kata Syaiful. Lagi pula, jika harus ditahan, KUHAP toh mengenal pelbagai kualifikasi penahanan, seperti penahanan rutan, rumah, dan kota. "Apa polisi tak lebih arif jika mengenakan tahanan rumah saja kepada terdakwa?" kata kedua pengacara itu, berkobar-kobar. Tapi pihak polisi merasa tetap berjalan di atas rel hukum dalam penahanan Syarief itu. Menurut sumber TEMPO, begitu Syarief ditahan, polisi segera menguber barang bukti berupa kaus merah, putih, dan kuning dari rumah pengacara itu. Konon, kaus pelbagai warna yang dikenakan Syarief pada acara Piala Marah Halim itu adalah sandi khusus. Jika ia memakai kaus merah, misalnya, berarti PSMS harus kalah pada pertandingan itu. Bersihar Lubis & Irwan E. Siregar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini