HARAPAN yang dibebankan tim bulutangkis Indonesia kepada lie
Sumirat untuk meraih predikat juara tunggal dunia ternyata
kesandung di bibir net. Ia disisihkan oleh semi finalis Denmark,
Fleming Delfs, juara tunggal All England 1977 dengan angka
kemenangan 1-15 dan 17-18. Sabtu 7 Mei siang di Malmoe, Swedia.
Gagalnya Iie di set pertama dalam perbedaan arlgka yang menyolok
itu dengan cepat membuat masyarakat bulutangkis di Indonesia
menarik kesimpulan: penyakit angin-anginan Iie kambuh lagi.
Adakah prasangka itu benar? Tampaknya tidak demikian. Menurut
laporan wartawan RRI, Syamsul Muin Harahap dalam siaran
pandangan matanya dari Malmoe, lie telah bermain sebaik mungkin.
Laporan tersebut tak meragukan. Sebab itu dibuktikan Iie dalam
set kedua. Ia bertarung mati-matian dan berbagi angka secara
ketat dengan Delfs. Bahkan ia sempat mengungguli Delfs 2 angka
menjelang akhir permainan dalam meraih angka penentu 17.
Dalam keunggulan itu Iie tampak bermain hati-hati sekali.
Sebaliknya Delfs. Ia bermain menggebu-gebu. Pada kedudukan sama
17-17 itu memang dibutuhkan syaraf yang kuat untuk mengatasi
keadaan. Di situlah kematangan Delfs. Dengan smash yang keras ia
menamatkan perlawanan Iie.
Tapi pertanyaan publik di tanah air ternyata sudah barang tentu
tidak berhenti sampai di sana. Mereka mempertanyakan juga
perbedaan angka kekalahan Iie yang menyolok di set pertama.
Punch Gunalan, pelatih tim bulutangkis Malaysia, menyatakan
kekalahan Iie di awal pertandingan disebabkan ia kurang
pemanasan sebelum turun ke lapangan. Pantaskah hal itu terjadi
pada seorang pemain dunia seperti lie? Itulah masalahnya. Dalam
hal ini pelatih Willy Budiman dan non playing captain Rudy
Hartono ikut bertanggungjawab, tentunya.
Penilaian Gunalan itu dibenarkan sepenuhnya oleh lie. Ia
mengakui bahwa ia memang kurang pemanasan sebelum bertanding.
Selain itu ia juga mengatakan bahwa dirinya belum seperluhnya
'masuk' dalam permainan Delfs. Artinya: set pertama itu
dipergunakannya untuk menjajagi permainan lawan. Tapi pernyataan
Iie tersebut dibantah oleh manager tim, Sumarsono maupun Willy
Budiman. Merek mengatakan bahwa Iie bukan kurang pemanasan.
Kekalahannya lebih banyak disebabkan oleh ketegangan mental
pertandingan. Dalam kedudukan demikian, menurut Willy Budiman,
lawan akan mudah mengendalikan permainan.
Sikap Sportifitas
Delfs memang bukan lawan yang enteng. Kelengkapan jenis
pukulannya ditopang pula oleh bentuk fisiknya. Tapi yang
mengantar dirinya ke final turnamen bulutangkis dunia pertama
ini agaknya tidak sepenuhnya ditunjang oleh ketrampilan dirinya.
Ia juga diselamatkan oleh sikap sportifitas dari pemain
Inggeris, Ray Stevens sebelum melangkah ke nal. Ceritanya
begini: ketika Delfs dan Stevens berbagi angka kemenangan dalam
dua set pertama (11 -15 dan 15-ID) keduanya diperkenankan untuk
istirahat selama 5 menit. Tapi Delfs memperpanjang waktu
istirahatnya 3 menit lebih lama dari waktu yang ditetapkan.
Sehingga wasit Swedia, Roland Moderatho menyatakan dirinya tidak
diperkenankan lagi melanjutkan permainan. Sebab panggilan
peringatan telah disampaikan kepada keduanya setelah waktu yang
ditentukan habis.
Untunglah Stevens tidak rnau mengeksploitir kesalahan Delfs itu.
Bahkan ia sendiri memintakan kepada wasit agar permainan tetap
diteruskan. Berdasar sikap Stevens yang sportif itu wasit pun
melanjutkan set ketiga yang akhirnya dimenangkan oleh Delfs
dengan angka 6-15.
Tidakkah sikap sportifitas Stevens itu lebih banyak ditopang
untuk membuktikan bahwa kiblat bulutangkis mulai beralih ke
Eropa? Sukar untuk ditebak, memang. Sebab seandainya Stevens
mentaati keputusan wasit yang teleh ditetapkan semula, bukan
tidak mungkin perubahan besar dari deretan juara akan terjadi.
Boleh jadi Iie yang tampil di tangga pertama. Karena baik
Stevens maupun finalis lainnya, Svend Pri masih mungkin
dipecundangi Iie ketimbang Delfs.
Kiblat telah beralih ke Eropa, memang. Hampir semua gelar juara
dunia telah diboyong mereka. Yang tersisa bagi pemain Asia,
tinggal juara ganda putera yang, diraih oleh pasangan Tjuntjun/
Johan Wahyudi setelah menundukkan Christian/Ade Chandra 15-6 dan
15-4. Serta juara ganda puteri yang diboyong oleh pasangan
nyonya Etsuko Toganoo/Emiko Ueno yang kembali membuktikan
keampuhan sebagai juara All England 1977 dengan menahan
ketrampilan pasangan Belanda, Joke van Beusekom/nyonya Marjan
Leusken Ridder dengan kemenangan 15-10 dan 15-11.
Melihat kenyataan yang lahir di Malmoe itu, kedudukan Indonesia
sebagai pemegang Piala Thomas dan Piala Uber lambang supremasi
turnamen beregu dunia putera dan puteri, telah mulai diancam,
memang. Kecuali jika PBSI cepat-cepat mawas diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini