Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Harapan Yang Sedap

Rudy hartono bersama sponsor indomilk melatih 10 pemain junior dari 5 kota besar. dan memberikan pembinaan fisik serta berbagai program untuk dikembangkan di daerah masing-masing.

24 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH 5 bulan Rudy Hartono menantikan kelahiran bayinya yang pertarna. Tapi agaknya Rudy yang juara All England 8 kali, tak lupa melatih diri pula untuk menjadi seorang ayah. Awal Desember lalu selama seminggu dia sibuk meladeni anak-anak bulutangkis dari 5 kota besar. Ke-10 pemain junior itu tak lain adalah hasil pemanduan bakat oleh Rudy bersama sponsornya Indomilk. Dari serangkaian perjalanan dan pertandingan demonstrasi itu Rudy memilih Oei Hoei Kiat, Irham Thung (Ujung Pandang), Sugeng Handoyo, Serian Wiyatno (Medan), R. Rusan Aswi, Kemas Irianto Agus (Palembang), Lim Yu Tjong, Pang Kwang Ming (Surahaya), Jimmy Gunawan dan Adang Suherman (Bandung). Umur mereka pukul rata 17 tahun dan bermain badminton sejak usia 5 tahun. "Dari memakai tepokan dari pa pan sampai raket mini dan beranjak ke raket sungguhan," kata Syahriar Djalil Direktur Adforce, biro iklan yang menangani promosi Indomilk dan bersama Rudy mengadakan coaching clinic bulutangkis tersebut. Adakah mereka nanti akan mengikuti jejak Rudy ataukah menjadi verkoper Indomilk yang pandai berucap: "sedaaap . . . ", tak seorang pun berani meramalkan. Rudy sendiri mengakui, bahwa dalam waktu satu minggu "tak mungkin mencetak seorang pemain unggul." Lalu apa yang dikerjakan selama seminggu itu? "Pelajaran teknik tak banyak berbeda dengan pelajaran dari klub kami," kata Sugeng Handoyo, 16 tahun, asal klub "Erba" di Medan. Sugeng tercatat sebagai juara di kalangan pemain Junior Indomilk. Ayahnya memang seorang penggemar bulutangkis. Perkumpulan yang dia gauli itu merupakan klub perusahaan kontraktor perlistrikan. "Tapi dalam latihan fisik," kata Adang, 17 tahun, dari Bandung, "sangat berat sekali." Adang anak Serang, sekolah STM II di Bandung. Ia masuk klub Kotab singkatan Kota Madya Bandung. Di kota Kembang itu Adang ternyata menarik perhatian lie Sumirat, itu pemain Indonesia yang pernah menumbangkan Hou Chia Chang dan Tang Hsien Hu di Kejuaraan Asia Bangkok 1976. "Entah bagaimana Iie senang pada saya, sehingga saya diajak tinggal bersamanya serumah." Pada umumnya Rudy tidak memberikan pelajaran teknik bulutangkis yang luar biasa. Tapi dalam pembinaan fisik, segi ini mendapat perhatian khusus. Mereka diajar mengatur jadwal latihan fisik sendiri, seperti yang Rudy perlihatkan pada mereka di Stadion Utama Senayan setiap pagi: berlari, melatih kecepatan, senam dan sebagainya. Soal gizi juga mendapat perhatian tersendiri. "Sayur-sayuran," kata Adang, "tak kurang penting dari daging." Rudy tampaknya hanya dapat memberikan sebuah program berikut contoh soal sebagai bekal untuk diperkembangkan di klub masing-masing. Itulah sebabnya sekembali merekadi daerah Rudy mengharapkan kerjasama dengan bibit unggul Indomilk itu bisa berlanjut di tingkat klub. Kelompok bibit unggul hasil pemanduan Rudy itu selama seminggu ditampung di Hotel Borobudur. Mereka umumnya baru pertama kali naik pcsawat terbang. Tinggal di hotel kelas 1. Dan baru perlama kali pula berkunjung ke Ibukota. Pang Kwang Ming dari Surabava berterus terang mengatakan bahwa ia "tidak bisa tidur pada hari-hari pertama berada di Jakarta." Rasa canggung selalu menghantui mereka. Tidur di kamar yang serba luks, rnakan di restoran dengan pisau-garpu disertai tata cara yang lazim berlaku di kalangan atas. "Mereka itu kan calon-calon Rudy lartono," kata Djalil penuh harap, "oleh karena itu mereka harus diajar juga menyesuaikan diri dengan lingkungan." Dalam rangka penyesuaian itu tampaknya Djalil terpaksa turun tangan sendiri membimbing para remaja itu. Direktur Adforce yang penuh rasa keibuan itu menciptakan sendiri stelan yang terdiri dari jas merah dan celana biru. Dengan seragam yang berlogo Indomilk di dada, mereka tampak apik, kompak dan disiplin. Pada hari Sabtu, 3 Desember yang lalu, mereka berbaris seperti tentara mengucapkan terima kasih dan pamit pada pimpinan Hotel Borobudur. "Ya, seandainya mereka gagal menjadi juara, paling kurang mereka berhasil menjadi manusia," begitu pesan Djalil yang cukup seda kedengarannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus