SAM bukan importir. Setidaknya ia bukan anggota organisasi
importir resmi. Berumur sekitar 35 tahun, tampangnya cukup
meyakinkan sebagai pengusaha. Gagah lagi dendi. Pergaulannya
luas. Yang penting, seperti juga SAM-SAM lain yang entah berapa
jumlahnya, ia mudah mendapat kepercayaan dari beberapa diplomat
perwakilan negara asing di Jakarta untuk melakukan suatu
pekerjaan. Tak kurang dari 15 perwakilan negara asing, termasuk
40-an diplomat (di antaranya malah dutabesarnya sendiri), pernah
'memakai' SAM. Yaitu: menugasi SAM untuk mencari pembeli barang
yang akan diimpor melalui fasilitas diplomatik.
Ternyata peminat banyak. Betapa tidak. Dengan fasilitas
diplomatik orang dapat mengimpor barang tanpa dikenai bea masuk.
Malah, dengan berlindung di balik topeng diplomatik, barang
apapun dapat masuk ke Indonesia tanpa dipelototi mata petugas
bea & cukai. Ditoleh pun mungkin tidak. Dengan begitu, tak aneh
bila sering terjadi penyelewengan yang lebih hebat: isi kiriman
tak sesuai dengan surat pemberitahuan barang.
Bagi sebagian anggota CD (corps diplomatik) di sini pun perihal
jual-beli fasilitas tak asing lagi. Sekedar menambah penghasilan
di negeri orang. Lewat orang semacam SAM, sebuah surat fasilitas
dapat laku dijual mulai dari ratusan ribu rupiah sampai Rp 6
juta Kontan. Harga tergantung dari 'keberanian' sang diplomat
menyebutkan berapa peti atau koli barang kiriman yang
dicantumkan dalam surat fasilitas.
Dengan fasilitas yang dibeli dari anggota CD, baik eks negara
Asia maupun Eropa, importir dapat bekerja tenang. Semuanya
berjalan mulus. Sebab tak ada sepotong surat pun yang palsu.
Termasuk dokumen dari Departemen Luar Negeri. Resmi.
Paling-paling, pelanggarannya yang langsung, importir mengisi
peti atau koli kiriman dengan barang lain ùlari yang disebutkan
dalam surat pemberitahuan. Jika surat dari kedutaan menyebut
kiriman itu berisi 'barang keperluan pribadi', maka importir
nyatanya mengisi dengan barang yang laris di sini: tekstil,
alat-alat elektronika sampai obat cina. Apapun isinya, toh
petugas B & C tak perrlah mengutik-utik sesuatu kiriman yang
dialamatkan ke suatu kedutaan besar atau Sekretariat Jenderal
ASEAN.
Kartu SAM
Di samping fasilitas untuk memasukkan barang kelas personal
effects, kesempatan untuk mendatangkan mobil pun dapat
diperjualbelikan. Malah yang terakhir inilah yang selama ini
laris (TEMPO, 19 Nopember). Itu juga kerja orang semacam SAM
yaitu memperantai para diplomat dengan importir sini.
Diplomat siapa dan dari perwakilan asing mana yang menjual
fasilitas diplomatiknya? Mungkin tak akan pernah disiarkan.
Sehab itu menyangkut pergaulan pemerintah Indonesia di mata
internasional. Dan lagi jualbeli fasilitas begitu -- asal tak
menyangkut barang yang dilaknat secara universil: narkotika,
misalnya -- kabarnya memang biasa di negara mana saja. Untuk
menambah uang saku sang diplomat. Mungkin juga dilakukan
diplomat-diplomat Indonesia yang bertugas di luar negeri.
Bagi pemerintah hal itu agaknya cukup dimengerti. 'Rahasia'
beberapa perwakilan negara asing baru akan terbongkar jika orang
semacam SAM bicara-di pengadilan sekalipun. Sebab, tampaknya,
kartu SAM cukup bermutu: Jika ia Jlarus berhadapan dengan hakim,
dapat saja ia menyeret-nyeret nama puluhan diplomat asing dari
berbagai negara. Termasuk pejabat-pejabat penting Deplu.
Semuanya akan diajak memikul tanggungjawab.
SAM ditangkap oleh tim 902, bulan lalu, karena menyalahi
kebiasaannya saja. Kerja terakhirnya ia tidak hanya menjual
lepas fasilitas dari sesuatu perwakilan asing begitu saja.
Kepada importir, yang mempergunakan fasilitas itu kemudian, SAM
ada menitip sejumlah tongkat golf. Dari kasus tongkat golf
itulah, setelah soal impor mobil, permainan CD dengan importir
di sini mulai makin diketahui umum.
Alat-Alat Golf
Awal tahun 1977, oleh seorang bernama Subiyakto, SAM dikenalkan
dengan tokoh AS. Kenalan barunya itu adalah Komisaris pada
sebuah perusahaan yang memproduksi segala macam susu bayi. Ia
juga Presiden Direktur PT PWN. Lewat PWN itulah AS, yang gemar
main golf, berdagang juga alat-alat olahraga golf. Dua buah
tokonya ada di pusat pertokoan di bilangan Kota (Jakarta). Juga
bekerjasama dengan beberapa toko di Jakarta, dan Bogor. Saham
Presdir ini dalam PWN, katanya, cuma 20% saja.
Kepada AS, SAM menawarkan kebolehannya: Ia sanggup mendatangkan
tongkat golf dari Singapura dengan harga murah dan .... legal!
Tentu saja itu tawaran bisnis yang menarik. Tanpa minta
keterangan lebih lengkap mengenai apa yang dimaksud dengan
'murah & legal', begitu ceritanya, AS langsung menerima tawaran
AS. Bisnis antara SAM dan AS lancar. Berapa banyak tongkat golf
yang sudah diimpor tak begitu jelas. Kabarnya baru mencapai
nilai Rp 80 jutaan saja.
AS tampaknya tak mengetahui bagaimana cara SAM mendatangkan
tongkat golf untuknya. Setidaknya begitu yang diakuinya. Dengan
bukti: PWN mempropagandakan barang dagangannya secara
besar-besaran. Iklannya ada di pelbagai koran, majalah dan
bioskop. "Kalau ia tahu barang yang dijualnya itu illegal, tentu
tak akan dijualnya dengan bebas dan terbuka," kata Asad Umar
Baridwan, pengacara AS dan SAM, dari kantor Adnan Buyung
Nasution.
Cara SAM mengimpor tongkat golf memang sederhana lika-likunya.
Begini. Kepada importir yang membeli fasilitas diplomatik, yang
diperantarainya sendiri, SAM menitip sejumlah tongkat golf.
Katakanlah, dari 4 peti besar yang dikirim ¬ peti diisi tongkat
golf titipan SAM. Tanpa kesulitan, biasanya, barangbarang itu
lolos dari mata petugas. Yang diterima AS lazimnya sejumlah
tongkat mewah, merek Honma, yang di pasaran sini laku di atas Rp
1 juta tiap set.
Entah apa yang terjadi sebelumnya. Tiba-tiba saja, bulan
September lalu, 13 buah peti besar beralamat dua kantor kedutaan
asing di Jakarta dipelototi petugas B & C. Ini tak seperti
biasanya. Keluar dari pabean terus diikuti. Seperti sudah diduga
ke 13 peti itu tidak menuju alamat yang tercantum. Tapi berjalan
jauh ke sebuah pondok kecil di tengah kebun luas di Pondok Labu.
Kebun dan pondok itu ternyata milik AS. Selain tongkat golf, di
sana, diturunkan juga barangbarang lain: tekstil, alat
elektronika dan obat-obatan cina. Saat itulah tim 902 menggebrak
penyelundupan. AS mengakui tongkat golf itu miliknya. Tapi
barang-barang lain, katanya milik seorang bernama Eddy.
AS dan SAM dikabarkan sempat kabur ke luar negeri. SAM baru
menyerahkan diri, dijemput oleh Buyung Nasution SH dari
Singapura, setelah mendapat jaminan akan diperlakukan dengan
adil. Juga AS dijemput isterinya dari Singapura untuk menyerah.
Keduanya kini ditahan, di sebuah kamar ber-AC di Wisma B & C,
Jakarta Bypass. SAM pasrah sambil memegang kartunya. AS tampak
menderita: ia merasa namanya jadi cemar. Apalagi tiba-tiba,
secara sepihak, ia diberhentikan sebagai komisaris perusahaan
susu tadi. Itu akan dituntutnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini