Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Tamu di tanggal 20 desember

10.000 tahanan g30s/pki dibebaskan tgl 20 des 1977 a.l satyagraha, eks pemred suluh indonesia, achmadi, eks menteri penerangan kabinet dwikora, anwar siregar dan husni kosasih.

24 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inilah tamu-tamu kita pada 20 Desember - sehubungan dengan penglepasan 10.000 tahanan G-30 S. Ada yang sudah bebas, ada yang menunggu, ada yang berharap. Mulai dari isteri pengarag Pramudya Ananta Toer bekas pemimpin redaksi Suluh Indonesia, Satyagra, bekas Menpen Kabinet Dwikora, Achmadi dan Aisyah Siregar, gadis yang menunggu pembebasan ayahnya. Juga Kosasih Husin, 'anak angkat' Amnesti Internasional cabang Hawaii. PENGARANG Pramudya Ananta Toer ternyata tak termasuk 10.000 tahanan G-30-S yang dibebaskan, "karena pertimbangan tertentu." Menurut sebuah sumber, 'kadar ideologi' Pram dianggap masih tinggi. Juga sehubungan dengan penerbitan bukunya di Malaysia belum jelas buku yang mana dan apa dengan ijinnya. Itulah sebabnya Maimunah Toer (49), isterinya, tidak mendapat pemberitahuan apa-apa. Sepuluh hari sebelum hari pembebasan, konon keluarga yang ditinggalkan sudah diberitahu. "Sampai sekarang saya belum dihubungi. Isteri Banda Harahap dan Tom Anwar saya dengar sudah dihubungi oleh Koramil," kata Maimunah. Banda Harahap adalah penyair anggota Lekra, Tom Anwar bekas pemimpin redaksi harian Bintang Timur. Kabar "pembebasan Pram" itu didengar dari georang rekan, dua minggu sebelum pemerintah membebaskan 10.000 tahanan minggu ini. "Kami bersiap-siap. Rasanya dua minggu begitu larna. Sedang rnasa tahanan yang 12 tahun rasanya sebentar sekali," kata Maemunah. Untuk menyambut ayahnya pulang, dia anak Pram Tati (18) yang haru lulus SMA dan Yudhistira (12) yang naik kelas lima - membatalkan rcncana berkemah 17 Desember selama tiga hari di Sukabumi. Dan ketika ada tamu datang memberitahu Pram tak jadi pulang, Yudhistira, anak terkecil itu, cepat-cepat pergi. "Saya kira ia kecewa," Kata ibunya. "Anak-anak memang sudah bersiap-siap. Saya mengajari bagaimana menyambut kedatangan itu. Orang yang baru pulang dari tahanan begitu lama tentu mudah tersinggung," tutur isteri Pram . Maimunah, kemenakan tokoh pergerakan nasional MH Tharnrin ini, sudah ditinggal selama 12 tahun. Ini yang kedua kalinya. Yang pertama 1961, ketika Pram ditahan lantaran bukunya Hoakiau di Indonesia. Sebulan ditahan, anak pertama lahir. Pram memberinya nama: Setyaning Rakyat. Perpisahan kedua belum larna ketika isterinya melahirkan anak ke delapan, lelaki satu-satunya. Sebelum masuk penjara, Pram memberinya nama Yudhistira. Yang paling dekat dengan ayahnya tampaknya cuma Astuti Toer (20) yang sejak kecil memang diasuh oleh Pram karena isterinya sedang sakit. Sampai umur delapan, ia tetap dekat dengan ayahnya. Dia yang menyediakan minuman untuk ayahnya yang sedang mengarang atau memberesi meja tulis. "Ketika Bung Pram ditangkap, ia ingin ikut. Dan selama ditahan, kalau Bung Pram tak mengirim surat, dia sering sakit, menjerit-jerit memanggil ayahnya," tutur Maimunah lagi. Dua tahun ini Tuti tampak cerah, "mungkin karena keadaan ayahnya yang makin baik." Dan Pram kabarnya tidak lagi tinggal di unit rehabilitasi. Sejak dua tahun lalu ia diijinkan mengarang, di Markas Komando Buru -- menurut Maimunah sudah deran ejaan baru. Pram juga minta kiriman bukubuku. Dari beberapa foto berwarna yang dikirim dari Buru, yang dibeli Rp 700 per lembar dari tukang potret di sana. Pram tampak lebih gemuk. "Dia memang begitu. Kalau sudah bisa mengarang lantas bisa gemuk," kata Maimunah lagi. "Kalau ia jadi pulang, saya kira ia tak bisa bekerja. Paling-paling menterjemahkan. Meskipun saya bisa dagang sedikit-sedikit saya tak bisa menyediakan pekerjaan buat dia. Paling-paling menyediakan meja tulis." Bersama kelima anaknya (tiga orang ikut neneknya), Maimunah tinggal di bilangan jalan Pramuka, di sebuah rumah yang boleh dikata cukup baik. Di pinggir jalan kecil yang sudah beraspal, berdinding tembok, berlistrik pula. Rumah itu ia bangun dengan bantuan saudara-saudaranya. Ditahan sejak oktober 1965, Satyagraha (46) bebas akhir Agustus 1975 dan September 1977 tahanan rumah. Setelah lepas ia baru tahu termasuk 'golongan X'. Ia mengaku tak merasa sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan. "Yang sulit menyesuaikan diri dengan anak-anak yang menganggap saya sebagai oran asing. Karena kepada mereka sudah ditanamkan hahwa G-30-S itu salah. Dan ayah mereka ditahan karena tuduhan terlibat gerakan itu. Anak-anak kehilangan kebanggaan pada ayah mereka," tutur Satyagraha. Tiga anak ditinggalkannya ketika ia ditahan. Kini yang tertua sudah 21 tahun, yang terkecil 14 tahun. Tapi kemudian mereka tahu, ayahnya ditahan tanpa diadili. Mereka mulai memahami mengapa ayah mereka ditahan," kata Satyagraha lagi. Yang amat berat ia rasakan ialah pemenuhan kebutuhan anak-anaknya. Ia pun sekarang harus bekerja keras di tengah lingkungan yang dianggapnya sangat kompetitif. Sepuluh tahun ditahan, dianggapnya sebagai kehilangan waktu. Maka selama dua tahun tahanan rumah, ia membantu isterinya menterjemahkan naskah-naskah paten. Dan kini ia menjadi konsultan sebuah perusahaan. Berminat kembali terjun ke dunia pers? Ia memang dibebaskan tanpa syarat dan secara tertulis tak ada larangan bekerja kembali sebagai wartawan. Tapi katanya, "saya tahu diri." Di tahun-tahun terakhir penerbitannya, 1965, Berita Minggu beroplah 165.000, sementara Suluh Indonesia 120.000 lembar. Oplah terbesar saat itu di Indonesia. Dan laris. "Tapi ketika itu yang lain-lain kan kambing-kambing. Sekarang ini singa-singa," katanya. Achmadi (50) tak banyak berubah. Rambut tetap hitam, tubuhnya tetap seperti ketika masih Menteri Penerangan Kabinet Dwikora, 12 tahun lalu. "Dalam penjara saya banyak badminton, volley, mengajar bahasa Inggeris," ujarnya. Dikenakan tahanan rumah sejak 16 Maret 1966, "tanggal 18 Maret saya masih dipanggil Bung Karno." Ketika itu yang mengambil dan mengantar pulang Amirmachmud. Dua tahun kemudian ia diadili dalam perkara subversi "karena saya tak ada sangkut-paut dengan G-30-S." Dituduh mengadakan rapat di rumahnya untuk melawan demonstran, Achmadi dituntut 12 tahun penjara. Ketika Hakim memutuskan 16 tahun, Achmadi naik banding. Tapi vonis jadi 10 tahun. Sejak tahanan rumah sampai penjara Cipinang, ia sudah delapan kali pindah. Di Cipinang ia satu sel dengan bekas Pangdak Jawa Tengah Sawarno, bekas ketua BPI Sutarto, bekas Menteri Transkop Achmadi, yang akan bebas bulan Mei 1979 nanti. Achmadi sendiri bebas 18 April tahun lalu. Meski bebas tanpa syarat, tapi ia tidak diizinkan ikut pemilu. Tetap membujang, ia tinggal di sebuah rumah besar di Kebayoran Baru, dan masih menganggur. Tapi ia toh tidak kapiran. Temannya masih banyak, ia masih suka tenis atau memancing. Mengaku sebagai murid Bung Karno, setelah bebas ia beberapa kali mengunjungi kuburan Bung Karno di Blitar sekalian melihat kuburan ibunya. Bekas Komandan Brigade XVII Tentara Pelajar di Sala di awal revolusi ini lahir di Ngrambe, Walikukun, Ngawi. Ia bercerita, sekarang masih ada satu dua temannya yang merasa tak kenal lagi. "Padahal dulu, wah, sudahlah," ujarnya. Biasanya, katanya, mereka itu pejabat yang "tak enak kalau ketahuan kenal dengan saya." Tahun 1965 menjadi anggota Dewan Nasional, Juli 1959 diangkat jadi Menteri Transkopemada alias Transmigrasi, Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa. Lebih suka disebut sebagai orang hukuman, "saya ini bukan tahanan politik, Iho." Tapi ia merasa tak mendapat perlakuan hukum sebagai orang hukuman. "Tiap tahun kalau conduite baik mestinya kan mendapat remisi," katanya. "Itu berlaku bagi perampol atau maling ayam. Tapi bagi hukuman politik rupanya remisi tak berlaku." Maka ia pun menganggap perlu memperjuangkan remisi. Juga hak cuti. Menurutnya, di RTM Setiabudi perlahlan terhadap tahanan cukup baik. Tapi yang fasilitasnya terbaik di penjara Cimahi. "Saya bahkan mendapat selimut geBala," katanya. Dengan rok kuning telur dan blus merah tak berlengan, tampak kulitnya yang kuning. Tubuhnya subur. Rambutnya bergelombang sampai bahu. Tapi Aisyah Siregar enggan menyebut umurnya. Hari itu, 17 Nopember lalu sebelumnya turun rintik hujan sebentar. Bersama keluarga para tahanan lain, hari itu ia menyambut kedatangan Kaskopkamtib Sudomo di Tanjung Kasau, Medan. "Setelah kunjungan Pak Domo, mudah-mudahan ayah saya segera bebas," ucapnya. Ayah Aisyah, Anwar Siregar, adalah bekas kepala kampung Pasar Merah, Medan. Ia dituduh berindikasi PKI. Setelah berpindah-pindah, selama 12 tahun ditahan, Anwar mendekam di Tanjung Kasau, 97 Km dari Medan. Ia tahanan golongan C. Setelah lulus SMEA di Jakarta, 1972 Aisyah kembali ke Medan dan menetap di Tanjung Kasau meladeni ayahnya yang mengidap tekanan darah rendah. Dialah yang mengirim makanan atau mencuci pakaiannya. Bahkan sering ti dur di barak kalau ayahnya kambuh. Ia jarang pulang ke Medan kecuali mengambil uang belanja dari ibunya. Ibu Aisyah, sejak suaminya ditahan, berjualan pecel di Medan--mencukupi kebutuhan mulut kelima adik-adik Aisyah, yang sebagian tak lagi bersekolah. "Yah, selama menunggu ayah bebas, saya pasrah saja," tiba-tiba Aisyah menarik nafas panjang. Dan dari kejauhan terdengar sirene jip CPM diikuti bus Damri merah berbintang lima. Rombongan Sudomo lewat menuju barak tahanan. Aisyah dan keluarga tahanan yang sejak tadi menunggu, berdiri. Wajah mereka berseri. Ketika bus lewat depannya, Aisyah tergerak melambaikan tangan. Pelupuk matanya yang redup dan cukung tampak berbinar. Pelan-pelan ia menggigit bibirnya. Amnesti Internasional yang berdiri 1961 di London, baru saja membuka cabang terbaru di Hawaii. Maka kegiatan pertama cabang Hawaii ialah memungut 'anak angkat': Kosasih Husin (48) yang ditahan sejak 25 Pebruari 1973 di Kamp 1, Sei Raya, Pontianak. Amnesti Internasional Hawaii mengajak para anggota dan simpatisannya mengirim surat kepada beberapa pejabat Indonesia, menanyakan keadaan Kosasih kini. Siapakah Kosasih? Rupanya Amnesti Internasional sendiri masih meraba-raba, sambil memberi kesan bahwa Kosasih tidak bersalah. Mendengar berita dari Hawaii ini, TEMPO di Pontianak mencoba mencheck duduk perkaranya. Ternyata situasi Kosasih tidak setragis seperti yang terbayang nun jauh di Hawaii. Bekas Kepala Proyek Transmigrasi ini, juga menjadi ketua BKMT (Badan Kesejahteraan Masyarakat Transmigrasi). Di daerah Kubu, Pontianak. ketika itu banyak orang mendapat HPH (Hak Pengelolaan Hutan). Tapi Kosasih sendiri tak mendapat apa-apa. Didorong teman-temannya, ia pun protes. Entah bagaimana, akhirnya Kosasih membuat pamflet, meski isteri dan anak-anaknya sudah memperingatkan. Bunyinya antara lain kepanjangan yang lain dari BKMT: "Bersama Komunis Masukkan Transmigrasi" "Bersama Komunis Masyarakat Terjamin". Maka.5 Pebruari 1973 ia turun ke hutan. Dipesankannya kepada anaknya, kalau menjumpai pamflet di depan rumahnya supaya berteriak siapa yang berbuat itu. Ketika ia sendiri berteriak "ini fitnah terhadap saya," maka tetangganya pun berdatangan. Ia memang sengaja menjelekkan BKMT hingga ada kesan bukan dialah yang membuat pamflet itu. Sehari kemudian, subuh pagi-pagi, ia letakkan pamtlet lain depan kantor pos.Akhirnya ia ditahan juga oleh Laksusda Kalimantan Barat. Setelah menginap I tahun 9 bulan di Sei Raya, ia meringkuk di LP Pontianak. Setahun kemudian diadili dengan tuduhan subversi. Jaksa menuntut 20 tahun tapi Hakim Ketua memutuskan 4 tahun saja, itupun potong tahanan. Dan 11 bulan lagi mestinya ia bebas. Menurut Zakaria, Kepala Pembinaan LP, Kosasih Husin conduitenya baik. Ia rajin sembahyang. "Kalau sembahyang bersama, ia jadi muazzinnya," ujar Zakaria. Dan selama dalam tahanan ia tak pernah sakit. "Untuk mengisi waktu, saya membuat kerajinan tangan," kata Kosasih. Adapun 'anak angkat' Amnesti Internasional ini tak pernah mendengar nama 'bapak angkat'-nya. Juga tak pernah mendapat surat, apalagi bingkisan, dari London atau Hawaii ....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus