Inilah tamu-tamu kita pada 20 Desember - sehubungan dengan
penglepasan 10.000 tahanan G-30 S. Ada yang sudah bebas, ada
yang menunggu, ada yang berharap. Mulai dari isteri pengarag
Pramudya Ananta Toer bekas pemimpin redaksi Suluh Indonesia,
Satyagra, bekas Menpen Kabinet Dwikora, Achmadi dan Aisyah
Siregar, gadis yang menunggu pembebasan ayahnya. Juga Kosasih
Husin, 'anak angkat' Amnesti Internasional cabang Hawaii.
PENGARANG Pramudya Ananta Toer ternyata tak termasuk 10.000
tahanan G-30-S yang dibebaskan, "karena pertimbangan tertentu."
Menurut sebuah sumber, 'kadar ideologi' Pram dianggap masih
tinggi. Juga sehubungan dengan penerbitan bukunya di Malaysia
belum jelas buku yang mana dan apa dengan ijinnya. Itulah
sebabnya Maimunah Toer (49), isterinya, tidak mendapat
pemberitahuan apa-apa. Sepuluh hari sebelum hari pembebasan,
konon keluarga yang ditinggalkan sudah diberitahu.
"Sampai sekarang saya belum dihubungi. Isteri Banda Harahap dan
Tom Anwar saya dengar sudah dihubungi oleh Koramil," kata
Maimunah. Banda Harahap adalah penyair anggota Lekra, Tom Anwar
bekas pemimpin redaksi harian Bintang Timur. Kabar "pembebasan
Pram" itu didengar dari georang rekan, dua minggu sebelum
pemerintah membebaskan 10.000 tahanan minggu ini. "Kami
bersiap-siap. Rasanya dua minggu begitu larna. Sedang rnasa
tahanan yang 12 tahun rasanya sebentar sekali," kata Maemunah.
Untuk menyambut ayahnya pulang, dia anak Pram Tati (18) yang
haru lulus SMA dan Yudhistira (12) yang naik kelas lima -
membatalkan rcncana berkemah 17 Desember selama tiga hari di
Sukabumi. Dan ketika ada tamu datang memberitahu Pram tak jadi
pulang, Yudhistira, anak terkecil itu, cepat-cepat pergi. "Saya
kira ia kecewa," Kata ibunya. "Anak-anak memang sudah
bersiap-siap. Saya mengajari bagaimana menyambut kedatangan itu.
Orang yang baru pulang dari tahanan begitu lama tentu mudah
tersinggung," tutur isteri Pram .
Maimunah, kemenakan tokoh pergerakan nasional MH Tharnrin ini,
sudah ditinggal selama 12 tahun. Ini yang kedua kalinya. Yang
pertama 1961, ketika Pram ditahan lantaran bukunya Hoakiau di
Indonesia. Sebulan ditahan, anak pertama lahir. Pram memberinya
nama: Setyaning Rakyat. Perpisahan kedua belum larna ketika
isterinya melahirkan anak ke delapan, lelaki satu-satunya.
Sebelum masuk penjara, Pram memberinya nama Yudhistira.
Yang paling dekat dengan ayahnya tampaknya cuma Astuti Toer (20)
yang sejak kecil memang diasuh oleh Pram karena isterinya sedang
sakit. Sampai umur delapan, ia tetap dekat dengan ayahnya. Dia
yang menyediakan minuman untuk ayahnya yang sedang mengarang
atau memberesi meja tulis. "Ketika Bung Pram ditangkap, ia ingin
ikut. Dan selama ditahan, kalau Bung Pram tak mengirim surat,
dia sering sakit, menjerit-jerit memanggil ayahnya," tutur
Maimunah lagi.
Dua tahun ini Tuti tampak cerah, "mungkin karena keadaan ayahnya
yang makin baik." Dan Pram kabarnya tidak lagi tinggal di unit
rehabilitasi. Sejak dua tahun lalu ia diijinkan mengarang, di
Markas Komando Buru -- menurut Maimunah sudah deran ejaan baru.
Pram juga minta kiriman bukubuku. Dari beberapa foto berwarna
yang dikirim dari Buru, yang dibeli Rp 700 per lembar dari
tukang potret di sana. Pram tampak lebih gemuk.
"Dia memang begitu. Kalau sudah bisa mengarang lantas bisa
gemuk," kata Maimunah lagi. "Kalau ia jadi pulang, saya kira ia
tak bisa bekerja. Paling-paling menterjemahkan. Meskipun saya
bisa dagang sedikit-sedikit saya tak bisa menyediakan pekerjaan
buat dia. Paling-paling menyediakan meja tulis."
Bersama kelima anaknya (tiga orang ikut neneknya), Maimunah
tinggal di bilangan jalan Pramuka, di sebuah rumah yang boleh
dikata cukup baik. Di pinggir jalan kecil yang sudah beraspal,
berdinding tembok, berlistrik pula. Rumah itu ia bangun dengan
bantuan saudara-saudaranya.
Ditahan sejak oktober 1965, Satyagraha (46) bebas akhir Agustus
1975 dan September 1977 tahanan rumah. Setelah lepas ia baru
tahu termasuk 'golongan X'. Ia mengaku tak merasa sulit
menyesuaikan diri dengan lingkungan. "Yang sulit menyesuaikan
diri dengan anak-anak yang menganggap saya sebagai oran asing.
Karena kepada mereka sudah ditanamkan hahwa G-30-S itu salah.
Dan ayah mereka ditahan karena tuduhan terlibat gerakan itu.
Anak-anak kehilangan kebanggaan pada ayah mereka," tutur
Satyagraha.
Tiga anak ditinggalkannya ketika ia ditahan. Kini yang tertua
sudah 21 tahun, yang terkecil 14 tahun. Tapi kemudian mereka
tahu, ayahnya ditahan tanpa diadili. Mereka mulai memahami
mengapa ayah mereka ditahan," kata Satyagraha lagi.
Yang amat berat ia rasakan ialah pemenuhan kebutuhan
anak-anaknya. Ia pun sekarang harus bekerja keras di tengah
lingkungan yang dianggapnya sangat kompetitif. Sepuluh tahun
ditahan, dianggapnya sebagai kehilangan waktu. Maka selama dua
tahun tahanan rumah, ia membantu isterinya menterjemahkan
naskah-naskah paten. Dan kini ia menjadi konsultan sebuah
perusahaan.
Berminat kembali terjun ke dunia pers? Ia memang dibebaskan
tanpa syarat dan secara tertulis tak ada larangan bekerja
kembali sebagai wartawan. Tapi katanya, "saya tahu diri." Di
tahun-tahun terakhir penerbitannya, 1965, Berita Minggu beroplah
165.000, sementara Suluh Indonesia 120.000 lembar. Oplah
terbesar saat itu di Indonesia. Dan laris. "Tapi ketika itu yang
lain-lain kan kambing-kambing. Sekarang ini singa-singa,"
katanya.
Achmadi (50) tak banyak berubah. Rambut tetap hitam, tubuhnya
tetap seperti ketika masih Menteri Penerangan Kabinet Dwikora,
12 tahun lalu. "Dalam penjara saya banyak badminton, volley,
mengajar bahasa Inggeris," ujarnya. Dikenakan tahanan rumah
sejak 16 Maret 1966, "tanggal 18 Maret saya masih dipanggil Bung
Karno." Ketika itu yang mengambil dan mengantar pulang
Amirmachmud.
Dua tahun kemudian ia diadili dalam perkara subversi "karena
saya tak ada sangkut-paut dengan G-30-S." Dituduh mengadakan
rapat di rumahnya untuk melawan demonstran, Achmadi dituntut 12
tahun penjara. Ketika Hakim memutuskan 16 tahun, Achmadi naik
banding. Tapi vonis jadi 10 tahun. Sejak tahanan rumah sampai
penjara Cipinang, ia sudah delapan kali pindah.
Di Cipinang ia satu sel dengan bekas Pangdak Jawa Tengah
Sawarno, bekas ketua BPI Sutarto, bekas Menteri Transkop
Achmadi, yang akan bebas bulan Mei 1979 nanti. Achmadi sendiri
bebas 18 April tahun lalu. Meski bebas tanpa syarat, tapi ia
tidak diizinkan ikut pemilu. Tetap membujang, ia tinggal di
sebuah rumah besar di Kebayoran Baru, dan masih menganggur. Tapi
ia toh tidak kapiran. Temannya masih banyak, ia masih suka tenis
atau memancing.
Mengaku sebagai murid Bung Karno, setelah bebas ia beberapa kali
mengunjungi kuburan Bung Karno di Blitar sekalian melihat
kuburan ibunya. Bekas Komandan Brigade XVII Tentara Pelajar di
Sala di awal revolusi ini lahir di Ngrambe, Walikukun, Ngawi. Ia
bercerita, sekarang masih ada satu dua temannya yang merasa tak
kenal lagi. "Padahal dulu, wah, sudahlah," ujarnya. Biasanya,
katanya, mereka itu pejabat yang "tak enak kalau ketahuan kenal
dengan saya." Tahun 1965 menjadi anggota Dewan Nasional, Juli
1959 diangkat jadi Menteri Transkopemada alias Transmigrasi,
Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa.
Lebih suka disebut sebagai orang hukuman, "saya ini bukan
tahanan politik, Iho." Tapi ia merasa tak mendapat perlakuan
hukum sebagai orang hukuman. "Tiap tahun kalau conduite baik
mestinya kan mendapat remisi," katanya. "Itu berlaku bagi
perampol atau maling ayam. Tapi bagi hukuman politik rupanya
remisi tak berlaku."
Maka ia pun menganggap perlu memperjuangkan remisi. Juga hak
cuti. Menurutnya, di RTM Setiabudi perlahlan terhadap tahanan
cukup baik. Tapi yang fasilitasnya terbaik di penjara Cimahi.
"Saya bahkan mendapat selimut geBala," katanya.
Dengan rok kuning telur dan blus merah tak berlengan, tampak
kulitnya yang kuning. Tubuhnya subur. Rambutnya bergelombang
sampai bahu. Tapi Aisyah Siregar enggan menyebut umurnya. Hari
itu, 17 Nopember lalu sebelumnya turun rintik hujan sebentar.
Bersama keluarga para tahanan lain, hari itu ia menyambut
kedatangan Kaskopkamtib Sudomo di Tanjung Kasau, Medan.
"Setelah kunjungan Pak Domo, mudah-mudahan ayah saya segera
bebas," ucapnya. Ayah Aisyah, Anwar Siregar, adalah bekas kepala
kampung Pasar Merah, Medan. Ia dituduh berindikasi PKI. Setelah
berpindah-pindah, selama 12 tahun ditahan, Anwar mendekam di
Tanjung Kasau, 97 Km dari Medan. Ia tahanan golongan C.
Setelah lulus SMEA di Jakarta, 1972 Aisyah kembali ke Medan dan
menetap di Tanjung Kasau meladeni ayahnya yang mengidap tekanan
darah rendah. Dialah yang mengirim makanan atau mencuci
pakaiannya. Bahkan sering ti dur di barak kalau ayahnya kambuh.
Ia jarang pulang ke Medan kecuali mengambil uang belanja dari
ibunya. Ibu Aisyah, sejak suaminya ditahan, berjualan pecel di
Medan--mencukupi kebutuhan mulut kelima adik-adik Aisyah, yang
sebagian tak lagi bersekolah.
"Yah, selama menunggu ayah bebas, saya pasrah saja," tiba-tiba
Aisyah menarik nafas panjang. Dan dari kejauhan terdengar sirene
jip CPM diikuti bus Damri merah berbintang lima. Rombongan
Sudomo lewat menuju barak tahanan. Aisyah dan keluarga tahanan
yang sejak tadi menunggu, berdiri. Wajah mereka berseri. Ketika
bus lewat depannya, Aisyah tergerak melambaikan tangan. Pelupuk
matanya yang redup dan cukung tampak berbinar. Pelan-pelan ia
menggigit bibirnya.
Amnesti Internasional yang berdiri 1961 di London, baru saja
membuka cabang terbaru di Hawaii. Maka kegiatan pertama cabang
Hawaii ialah memungut 'anak angkat': Kosasih Husin (48) yang
ditahan sejak 25 Pebruari 1973 di Kamp 1, Sei Raya, Pontianak.
Amnesti Internasional Hawaii mengajak para anggota dan
simpatisannya mengirim surat kepada beberapa pejabat Indonesia,
menanyakan keadaan Kosasih kini.
Siapakah Kosasih? Rupanya Amnesti Internasional sendiri masih
meraba-raba, sambil memberi kesan bahwa Kosasih tidak bersalah.
Mendengar berita dari Hawaii ini, TEMPO di Pontianak mencoba
mencheck duduk perkaranya. Ternyata situasi Kosasih tidak
setragis seperti yang terbayang nun jauh di Hawaii. Bekas Kepala
Proyek Transmigrasi ini, juga menjadi ketua BKMT (Badan
Kesejahteraan Masyarakat Transmigrasi). Di daerah Kubu,
Pontianak. ketika itu banyak orang mendapat HPH (Hak Pengelolaan
Hutan). Tapi Kosasih sendiri tak mendapat apa-apa. Didorong
teman-temannya, ia pun protes.
Entah bagaimana, akhirnya Kosasih membuat pamflet, meski isteri
dan anak-anaknya sudah memperingatkan. Bunyinya antara lain
kepanjangan yang lain dari BKMT: "Bersama Komunis Masukkan
Transmigrasi" "Bersama Komunis Masyarakat Terjamin". Maka.5
Pebruari 1973 ia turun ke hutan. Dipesankannya kepada anaknya,
kalau menjumpai pamflet di depan rumahnya supaya berteriak siapa
yang berbuat itu.
Ketika ia sendiri berteriak "ini fitnah terhadap saya," maka
tetangganya pun berdatangan. Ia memang sengaja menjelekkan BKMT
hingga ada kesan bukan dialah yang membuat pamflet itu. Sehari
kemudian, subuh pagi-pagi, ia letakkan pamtlet lain depan kantor
pos.Akhirnya ia ditahan juga oleh Laksusda Kalimantan Barat.
Setelah menginap I tahun 9 bulan di Sei Raya, ia meringkuk di LP
Pontianak.
Setahun kemudian diadili dengan tuduhan subversi. Jaksa menuntut
20 tahun tapi Hakim Ketua memutuskan 4 tahun saja, itupun potong
tahanan. Dan 11 bulan lagi mestinya ia bebas. Menurut Zakaria,
Kepala Pembinaan LP, Kosasih Husin conduitenya baik. Ia rajin
sembahyang. "Kalau sembahyang bersama, ia jadi muazzinnya," ujar
Zakaria. Dan selama dalam tahanan ia tak pernah sakit. "Untuk
mengisi waktu, saya membuat kerajinan tangan," kata Kosasih.
Adapun 'anak angkat' Amnesti Internasional ini tak pernah
mendengar nama 'bapak angkat'-nya. Juga tak pernah mendapat
surat, apalagi bingkisan, dari London atau Hawaii ....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini