Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbahagialah mereka yang dilahirkan sebagai ras kulit hitam. Alam menganugerahi mereka tubuh yang perkasa lagi lentur. Ras kulit hitam memiliki serabut otot putih yang lebih banyak daripada ras lain. Serabut itu adalah kunci kekuatan tubuh. Dengan latihan yang teratur dan terprogram baik, seorang kulit hitam dipastikan tidak akan menemui kesulitan menjadi atlet yang baik. Bukti yang sulit dibantah adalah dominannya atlet kulit hitam di panggung olahraga saat ini. Dalam cabang tinju, atletik, dan basket, mustahil menyingkirkan atlet kulit hitam dari pembicaraan.
Dominasi ini berlanjut dan berpuncak dengan bertenggernya nama-nama atlet kulit hitam dalam pemilihan atlet terbaik dan tokoh olahraga abad ini belum lama ini. Atlet terbaik dipilih oleh beberapa juri yang terdiri atas kampiun organisasi olahraga dunia, sementara olahragawan terbaik dipilih oleh wartawan serta redaktur olahraga dari 35 negara di dunia (lihat tabel).
Dalam dua ajang itu, nama seperti Pele, Muhammad Ali, Carl Lewis, dan Michael Jordan bertengger gagah di peringkat atas. Bila nama atlet kulit hitam tak masuk daftar dalam satu cabang, misal balap, renang, atau golf, hal ini lebih disebabkan mereka memang tak punya tradisi di bidang itu.
Namun, perlahan, hal ini tampaknya bisa dikejar juga. Di golf, misalnya, atlet kulit hitam berbau Asia Tiger Woods asal Amerika Serikat saat ini masih betah di peringkat pertama pegolf dunia. Kemenangan atlet kulit hitam ini seolah membalaskan penghinaan yang dialami mereka dalam bidang sosial dan politik abad ini, terutama dalam paruh pertama.
Nama Jesse Owens boleh disebut sebagai pionir kebangkitan. Ia merebut empat medali emas Olimpiade di Berlin pada 1936 di tengah derasnya propaganda Hitler beserta Nazi. Berikut profil tiga atlet besar yang mengikuti jejak kemasyhuran Owens.
Pele: Master Jogobonito
Sepak bola bagi masyarakat Brasil tak sekadar mencetak gol dan menang. Ia harus indah, jogobonito. Dan siapa lagi pemain yang paling berhak menyandang terbaik di atas semuanya kecuali Pele? Terlahir sebagai Edson Arantes do Nascimento 58 tahun lalu di Tres Coracoes, Pele memulai mengukir legenda dirinya pada Piala Dunia 1958 di Swedia. Pele, yang saat itu baru seorang remaja berusia 17 tahun, mempesona publik sepak bola dengan ''tariannya" di lapangan hijau. Bukan itu saja, dua gol indah ia eploskan ke gawang Swedia dalam partai final, sehingga penonton tuan rumah tak punya pilihan selain mengikhlaskan piala Jules Rimet terbang ke Negeri Samba.
Kecemerlangan Pele memuncak pada Piala Dunia 1970, saat Brasil merebut Jules Rimet untuk ketiga kalinya di Meksiko. Pele bukan saja tampil sebagai pencetak gol yang ulung tetapi juga menjadi kreator utama serangan Brasil. Keindahanan permainan Pele sering membuat penonton lupa bahwa ia sesungguhnya juga pemain yang bertenaga. Ia bisa menendang bola mati dengan keras. Selain itu, sebelum Michael Jordan terkenal sebagai ''penguasa udara" dengan lompatannya, Pele sudah kondang dengan aksi serupa sekalipun ia bukan orang jangkung.
Namun, yang paling mengesankan dari Pele adalah kerendahan hatinya. ''Saya bisa membuat gol dari peluang yang paling kecil pun, tapi hal ini tak membuat bangga, ini lebih membuat saya bersyukur atas bakat yang diberikan Tuhan," ujar Pele satu kali. Inilah yang membuat Pele selalu lebih unggul di hati penggemar ketimbang pemain bintang lainnya seperti Maradona, Cruyff, atau Beckenbauer. Setelah ia pensiun, pemain yang pernah mencetak seribu gol ini aktif dalam pekerjaan-pekerjaan kemanusiaan di seluruh dunia. Ia juga pernah menjabat menteri olahraga di negaranya pada 1995-1998. Satu kelemahannya yang parah: ia playboy berat.
Muhammad Ali: The Greatest
Ali bukan lagi sekadar tinju. Ia sudah melampaui batas-batas olahraga sejak pertama kali tampil di ring profesional. Saat masih bernama Cassius Clay dan berstatus sebagai penantang juara kelas berat Sonny Liston, ia sudah membuat gerah publik Amerika. Peraih medali emas Olimpiade 1960 ini tak segan menyewa bus untuk menyatroni rumah Liston dan membuat suara ribut beberapa hari sebelum pertandingan. Tidak cukup itu, saat suatu kali Liston tiba di bandara, Ali sengaja menjemput dan menantang sang juara di situ. Publik gusar karena Liston yang juga berkulit hitam ini adalah juara pujaan kaum kulit putih. Namun, para wartawan senang karena segala omong besar Ali selalu dilakukannya dengan kalimat bersajak.
Liston akhirnya terkapar, juga dalam pertandingan ulang. Langkah berikutnya makin kontroversial bagi masyarakat Amerika. Ia masuk Islam dan dengan lantang meneriakkan perjuangan hak-hak kulit hitam. Ia dimusuhi tapi juga dirindukan. Namun, aksi Ali masih jauh dari usai. Ia kembali membuat geger dengan menolak wajib militer dalam Perang Vietnam. Menurut Ali, ia tak bermasalah dengan orang Vietnam sehingga perlu mengangkat senjata untuk menembakinya. Ia dihukum penjara dan gelarnya dicabut.
Pada 1974, gelar itu ia rebut kembali lewat pertarungan legendaris bertajuk rumble in the jungle melawan George Foreman di Zaire. Gelar ketiga ia raih setelah membuat keok Leon Spinks, yang mempecundanginya dalam pertarungan sebelumnya gara-gara ia menganggap enteng. Sayang, Ali, yang kini menderita parkinson ini, menutup karirnya dengan kurang manis. Ia takluk di ronde ke-10 di tangan Larry Holmes, bekas mitra tandingnya. Sebetulnya, ia memang sudah terlalu tua saat itu. Namun, promotor Don King punya alasan mengapa ia memanggungkan partai itu. ''Ali ingin bertanding. Dalam tinju, Ali adalah ''Tuhan", dan kepada ''Tuhan" kita tak bisa berkata tidak," ujar King.
Carl Lewis: Dari Lintasan ke Restoran
Ia pernah punya pesaing berat bernama Ben Johnson, sprinter Kanada. Bahkan, catatan waktu terbaik Johnson lebih tajam ketimbang Lewis. Namun, Johnson akhirnya meluncur ke lembah nista karena terjerat kasus doping, sementara Lewis tetap harum sampai masa pensiunnya. Prestasi Lewis bukan main-main, sembilan emas Olimpiade. Yang paling mengesankan adalah saat Olimpiade 1984 di Los Angeles, ketika ia merebut empat emas, menyamai atlet wanita Fanny Blankers-Koen dalam Olimpiade 1948.
Lewis, yang terlahir 39 tahun lalu, sebetulnya hanya punya satu tujuan dalam atletik, merebut emas Olimpiade lompat jauh. Namun, nomor lari 100 meter yang justru paling melambungkannya. Sebagai sprinter, Lewis sebetulnya lemah dalam start. Namun, hal ini ia kompensasi dengan melatih diri mempertahankan kecepatan pada 50 meter terakhir. Rekor terbaik Lewis dalam nomor ini adalah 9,86 detik, yang diciptakannya di Tokyo pada 1991. Saat ini Lewis, yang pernah mencoba jadi aktor ini, membuka usaha restoran di kampung halamannya di Houston, Texas.
Yusi A. Pareanom
TOKOH OLAHRAGA ABAD INI
No | Nama | Cabang | Negara | Skor |
1 | Pele | Sepak bola | Brasil | 146 |
2 | Muhammad Ali | Tinju | Amerika Serikat | 140 |
3 | Carl Lewis | Atletik | Amerika Serikat | 94 |
4 | Michael Jordan | Basket | Amerika Serikat | 80 |
5 | Jesse Owens | Atletik | Amerika Serikat | 9 |
6 | Don Bradman | Kriket | Australia | 22 |
7 | Eddy Merckx | Bersepeda | Belgia | 21 |
8 | Pierre de Coubertin | Perintis Olimpiade modern | Prancis | 18 |
9 | Jack Nicklaus | Golf | Amerika Serikat | 16 |
10 | Mark Spitz | Renang | Amerika Serikat | 16 |
11 | Paavo Nurmi | Atletik | Finlandia | 16 |
12 | Nadia Comaneci | Senam | Rumania | 12 |
13 | Pete Sampras | Tenis | Amerika Serikat | 11 |
14 | Emil Zapotek | Atletik | Cekoslovakia | 9 |
15 | Ayrton Senna | Balap Formula 1 | Brasil | 9 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo