Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Terempas Gelombang Lengser

5 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SERING disebut-sebut bahwa kemauan politik pemerintah adalah faktor penentu untuk hampir setiap pemecahan masalah. Kalau ingin tahu barang seperti apakah political will itu, contohnya bisa dilihat dalam skandal kredit istimewa Texmaco. Data kredit bermasalah grup usaha Texmaco sudah ada sejak dulu, tapi sekarang baru diungkap. Adalah perbedaan kemauan politik penguasa dulu dan sekarang yang menyebabkan berbedanya perlakuan terhadap kredit untuk Texmaco ini, walau informasi yang dipunyai sama persis. Menteri yang lama, Tanri Abeng, tak melakukan apa yang dilakukan oleh Menteri Negara BUMN dan Investasi Laksamana Sukardi sekarang karena haluan dan kepentingan politiknya berbeda. Kemauan politik tidak sama dengan konspirasi politik, seperti dituduhkan pengacara Marimutu Sinivasan. Yang ada ialah niat untuk membersihkan bank-bank BUMN dari masalah kredit macet berskala raksasa. Selanjutnya ialah untuk mengungkapkan keterlibatan mantan presiden Soeharto dalam kolusi tingkat tinggi seperti yang sering dituduhkan sebelumnya, tapi tanpa contoh konkret seperti kali ini. Dan ini dinyatakan secara terbuka, di muka rapat kerja Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, 29 November lalu. Sesudahnya akan bisa diuji, dan memang perlu diuji melalui proses hukum, apakah terdapat kesalahan atau tidak, dan siapa saja yang harus bertanggung jawab. Dengan sistematik sederhana tapi jelas dan rinci, dilaporkan adanya penyimpangan dalam proses pengeluaran dan penggunaan kredit untuk grup Texmaco oleh bank-bank milik pemerintah, seperti Bank BNI, Bank Rakyat Indonesia, dan Bank Ekspor Impor Indonesia, pada 1997-1998 (lihat halaman 78). Inti dari penyimpangan itu, menurut Laksamana Sukardi, pertama, intervensi kekuasaan Presiden Soeharto terhadap wewenang Bank Indonesia dalam memberikan fasilitas kredit kepada sebuah perusahaan, dengan mengabaikan prosedur dan peraturan yang berlaku. Kedua, penciptaan mekanisme khusus dan prosedur tersendiri oleh Bank Indonesia untuk memenuhi kebutuhan dana perusahaan tersebut. Mengenai adanya kesalahan dalam proses ini, memang perlu teliti menilainya. Ini tugas Kejaksaan Agung. Laporan Laksamana telah mempermudahnya dengan membagi-bagi urutan peristiwa itu serta menunjukkan tiap titik tempat penyimpangan terjadi dan jenis aturan apa yang dilanggar. Dalam rangkaian peristiwa itu, tersangkutlah banyak pihak. Laporan itu cukup cermat dalam menyebut siapa saja yang tersangkut, tanpa menilai keterlibatan masing-masing dalam kesalahan yang diduga telah dilakukan. Maka, di antara perusahaan Texmaco dan mantan presiden Soeharto, berdiri Menteri Perindustrian dan Perdagangan Tunky Aribowo, Gubernur Bank Indonesia Sudradjat Djiwandono dan Syahril Sabirin, Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, dan para direktur utama Bank BNI, BRI, dan Bank Exim. Sepintas, semua yang tersangkut itu bisa dianggap terlibat. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Ramelan, dalam keterangannya telah menyebut-nyebut Pasal 55 KUHP sebagai dasar dari konstruksi hukum yang akan digunakannya. Isi pasal itu antara lain berbunyi bahwa yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan dikenai pidana sebagai pembuat (dader) tindakan pidana. Tapi ada alasan yang bisa dipakai membenarkan ''keterpaksaan" para pejabat tinggi itu. Pasal 51 KUHP mengatakan bahwa yang melakukan perbuatan atas perintah jabatan dari penguasa yang berwenang tidaklah dipidana. Maklum, pada masa Orde Baru itu, budaya politik yang berlaku tidak memberikan peluang bagi pejabat untuk bertindak lain dari yang diperintahkan presiden. Presiden dianggap selalu berwenang untuk segalanya, termasuk mengatasi (overruling) peraturan yang berlaku. Tak ada bawahan yang mempertanyakan kesahan wewenang semacam itu. Namun, kalau berani memilih dipecat daripada harus melanggar ketentuan, sebetulnya bukan tidak mungkin mencegah diri terlibat dalam suatu penyelewengan. Sebaliknya, kalau pilihannya mencari aman, tentu harus mau menanggung konsekuensi ikut berbuat yang tidak dibenarkan hukum—atau, dengan kata lain, pada akhirnya tidak mungkin mengelak untuk menanggung akibatnya, sanksi hukumnya. Kalau memakai ukuran dahulu, ketika Soeharto berkuasa, kedua alternatif itu bukan merupakan pilihan. Tak mau dipecat tidak merasa jadi pengecut, dan tak ada yang berpikir tentang hukum di luar kekuasaan Soeharto, yang seakan-akan tak pernah berakhir itu. Sekarang soalnya lain. Tinggal bergantung pada Kejaksaan Agung bagaimana akan menyusun pandangan hukumnya: apakah hanya presiden yang disalahkan karena memaksa bawahan melanggar ketentuan peraturan, atau bawahan ikut bersalah karena menjalankan perintah tapi sadar telah melanggar undang-undang dan melampaui wewenang yang wajar. Yang mana pun yang ditempuh, penyidikan Kejaksaan Agung akan harus memeriksa mantan presiden Soeharto, di samping direksi grup Texmaco sendiri, yang sudah dijadikan tersangka. Keragu-raguan dimulai di sini, yaitu apakah pemerintah ini secara keseluruhan telah teguh kemauan politiknya untuk memproses keterlibatan Soeharto secara hukum atau belum. Kasus ini sendiri telah sampai pada satu titik yang tak mungkin diteruskan tanpa menurutsertakan Soeharto di dalamnya. Alasan apa yang akan dipakai apabila, karena pertimbangan politik gaya Gus Dur, Soeharto dikecualikan lagi dari kasus kredit Texmaco ini? Apabila itu terjadi, seluruh kasus harus digugurkan. Sebab, tidak akan adil untuk hanya menuntut direksi Texmaco dan beberapa pejabat bank. Sementara itu, bila seluruh kasus ini gugur, ketidakadilan akan diderita oleh masyarakat pada umumnya. Memang tak ada pilihan lain, prosedur hukum harus ditegakkan, tanpa pandang bulu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus