Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Hoo, Anak Muntilan, Terharu

Indonesia hanya dapat 3 medali emas dalam cabang atletik dalam Sea Games XI di Manila. Salah satu emas diraih oleh Hoo Yong Chong asal Muntilan, yang terharu ketika Indonesia Raya dinyanyikan.

26 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TARGET empat medali emas untuk atletik belum tercapai. Hanya tiga emas yang diboyong kontingen Indonesia dari SEA Games di Manila, sama dengan dua tahun sebelumnya di Jakarta. Toh emas yang diperoleh Hoo Yong Chong (untuk lompat jangkit) dan Suhadi (untuk lempar cakram) bukan sasaran PB PASI. Kedua emas ini semula diharapkan dari Mochtar. Pada bagian putri, Henny Maspaitella semula diharapkan menggulung lawannya pada lari 100 m, ternyata Mumtaz Jaffar dari Malaysia mendapat emas. Cuma Ir. Budi Dharma (lempar martil) yang meraih emas sesuai dengan harapan PASI. Pelompat jangkit Mochtar gagal melompat dari papan tumpuan. Ternyata dari Hoo Yong Chong, 23 tahun, rekor baru SEA Games tercipta. Ia melompat sejauh 15,26 m dan menumbangkan rekor lama (15,19 m) yang dibuat Kamaruddin Mydin, atlet Malaysia, di Kuala Lumpur tahun 1965. Lagu Indonesia Raya pun didengungkan di Stadion Rizal Memorial, Manila. Ia tampak terharu. "Baru sekali ini saya sumbangkan Indonesia Raya di negeri orang," kaa Hoo Yong Chong. Jadi Ampang Anak kelahiran Muntilan ini terjun ke gelanggang atletik bukan langsung pada nomor lompat jangkit. Tahun 1974, ketika ia masih di SMP kelas II, nomor lompat jauhnya menonjol--6,6 meter. Selesai seleksi POPSI Jawa Tengah, lompatannya tak menonjol lagi. Maklum ia berlatih tanpa disiplin. Pelatih Paulus Ley dari Sala kemudian memintanya pindah pada nomor lompat jangkit, untuk persiapan PON 1977. Pada PON itu ia melompat jangkit sejauh 14,14 m dan mendapat perunggu. Kemudian lompatannya, hingga akhir 1980, menanjak ke 14,36 m. Memasuki TC SEA Games 1981, dan berlatih di Jerman Barat, Hoo menjadi lebih baik, lompatannya 14,83 m. Namun rekor nasional tetap dipegang Mochtar (15,53 m) dalam PON 1981. Hoo bukan dari keluarga atlet. Tapi putra ke-4 dari enam bersaudara ini menyenangi atletik. Menyelesaikan SMA tahun 1978, ia kini menganggur. Belum mempunyai rencana bagaimana selanjutnya dan cita-citanya. Di SEA Games (Manila) itu, Felicito Discutido Jr (Filipina), Petrus Kalip (Malaysia) dan atlet lain digilasnya. "Hoo memang selalu besar kemauannya untuk maju," kata pelatih Pieter Noya. Hoo sendiri menganggap bahwa Mochtar lebih unggul. Sebelumnya ada kekhawatiran padanya. Pemuda ini--tinggi 172, 5 cm--menerima masakan yang tak cocok dan nasi yang keras, hingga berat badannya menjadi 67 kg, turun 2 kg. "Saya khawatir turun terus. Akibatnya badan (saya jadi ampang," katanya dengan logat Jawa. Emas untuk Suhadi ialah dari lemparan cakramnya sejauh 44,93 m. Hasil ahli masih di bawah rekor Games itu yang dibuat Zam Weik (Burma) tahun 1969 dengan lemparan 47,78 m. Tapi Ir. Budi Dharma, 26 tahun, plempar martil, telah memecahkan rekor SEA Games dengan lemparan sejauh 49, 85 m (rekor lama atas nama Eknath Mane dari Singapura dibuat tahun 1969 sejauh 47,02 m). Apa yang dicapai stat pengajar departemen Arsitektur ITB itu sekaligus memperbaiki rekor nasional atas namanya sendiri (44,34 m). Dari nomor lari 3.000 m terjadi kegembiraan pula. Si pelari cakar ayam Welmintje Sonbay 12 tahun, telah memperbaiki rekor SEA Games 1977 yang dibuat Jayamani (Singapura) di Kuala Lumpur (10 menit 18,7 detik) dengan catatan 10:01.16. Welmintje bisa mengikuti kecepatan pelari Than Than Lwin(Burma ) dan Khawja (Burma) meski akhirnya ia dapat medali perunggu. Sedang emas untuk Khawja (9 57.29) dan perak dipegang Than Than (10:00.42). Prestasi Welmintje sudah melampaui rekor nasional atas nama Starlet (10:11,3) yang dibuat pada PON X. Pelari cakar ayam lainnya, Katherina Nasimnasi, menduduki urutan terbawah dengan catatan 10 59.22 dari tujuh peseru. Ia mencapai finis dengan kepayahan sekali. Mengapa Henny Maspaitella, yang diharapkan meraih emas untuk 100 m, gagal? Pada 10 m menjelang finis, Henny tampak kepayahan. Akhirnya perak yang diraihnya (11,9 detik). Mumtaz masih lebih unggul dengan catatan 11.84 detik. Henny yang menjuarai Singha Beer di Bangkok November lalu diduga akan mencapai puncaknya di SEA Games ini. Awang Papilaya begitu yakin bahwa Henny bakal mendapat emas karena waktu yang 11,7 telah dicatatnya. Kalaupun lebih lambat sedikit 11,8 seperti waklu yang pernah dicatat di Jerman Barat, tempat Henny digembleng selama tiga bulan, emas masih di tangan. Perhitungan itu meleset. Henny mengalami kram ketika sedang pemanasan. Otot-otot pada pangkal pahanya tak bisa berfungsi baik untuk lari. Akibatnya, Henny lari seperti "melayang" saja. Itu alasannya. Tapi pelatih Pieter Noya melihat kekalahan Henny dari sudut lain. "Henny salah dibina," katanya. Pelatihnya, Paulus Parsuney, berpegang pada jadwal latihan dari Jerman. Padahal pola itu bertujuan membuat Henny mencapai puncak pada bulan anuari, bukan pada SEA Games.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus