Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Obat menular atau penyakit terbaik

Seminar humor, diselenggarakan oleh lembaga humor indonesia mengetengahkan beberapa orang dari berbagai ahli yang tampil sebagai pembicara. tak ada kesimpulan yang perlu humor.

26 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUMOR, kata majalah Reader's Digest, adalah obat terbaik. Seminar, kata majalah yang lain (mungkin TEMPO), adalah penyakit menular. Maka sebuah seminar tentang humor adalah sebuah obat menular atau mungkin lebih tepat penyakit terbaik. Dan itulah yang diselenggarakan oleh Lembaga Humor Indonesia, yang didirikan oleh penulis humor Arwah Setiawan di tahun 1978 dan sejak itu tiap tahun mengadakan kegiatan. Seminar ini, seperti seminar lain yang banyak jumlahnya (hingga dibatasi oleh pemerintah untuk penghematan anggaran) menampilkan sejumlah ahli sebagai pembicara. Dimulai 18 Desember 1981 pekan lalu, dan berakhir esoknya, seminar di Teater Arena Taman Ismail Marzuki itu mengetengahkan,seorang doktor filsafat, seorang ahli linguistik, seorang kiai, seorang sarjana theologi, seorang guru besar psikologi yang juga ahli masalah-masalah luar negeri, seorang ahli ilmu jiwa, dan lain-lain, termasuk mereka yang tak jelas keahliannya, misalnya wartawan. Dengan dibayar Rp 75.000, tiap pembicara diharapkan menyiapkan makalah, yang mungkin akan diterbitkan oleh Penerbit Gramedia, penyeponsor acara ini. Sejumlah makalah memang berhasil masuk. Tapi nampaknya pembicaraan dan suasana dalam diskusi lebih hidup ketimbang makalah yang tertulis. Rahasianya: masing-masing pembicara mencoba melucu. Yang paling sukses agaknya Abdurrahman Wahid, kiai dari Pesantren Ciganjur serta kolumnis yang banyak menulis itu. Salah satu leluconnya ialah tentang orang Arab yang datang ke Paris. Dia uk bisa bahasa Prancis, tapi cukup berani untuk tinggal di hotel kelas satu itu. Di hari pertama, waktu sarapan, pelayan hotel menyapanya dengan sopan: "Bonjour". Tamu dari Arab ini menyangka, bahwa si pelayan menanyakan namanya. Dia pun menjawab: "Anna Abbas Hilmy". Mereka saling senyum. Keesokan harinya orang Arab itu ternyata mendapat tegur sapa yang sama: "Bonjour." Tamu kita pun menjawab lagi. "Anna Abbas Hilmy". (Saya Abbas Hilmy). Tapi dia sendiri mulai heran, setelah tiap-tiap kali ketemu, orang Prancis di hotel itu menanyakan hal yang sama. Ia pun datang ke toko buku. Ada kamus kecil Prancis-Arab. Dia baca di sana apa artinya "bonjour". Ternyata "selamat pagi", semacam salam baik sebelum malam. Abbas Hilmy baru uhu sekarang, kesalahannya selama ini. Toh masih ada satu soal belum terjawab: kalau seseorang mengucapkan "bonjour" kepadanya, ia mesti menjawab apa? Kilmus kecil itu kamus Prancis-Arab, dan bukan Arab-Prancis, maka dia tak tahu apa jawabnya dari buku itu. Tapi dia dapat akal. Untuk mengetahui apa jawaban yang tepat bagi tegur sapa bonjour, dia harus mengucapkannya lebih dulu. Lantas, ia harus menyimak baik-baik apa jawaban si orang Prancis. Maka waktu dia pagi-pagi ketemu pelayan hotel yang suka mengucapkan selamat pagi kepadanya, dengan cepat mendahului. "Bonjour!", serunya, merdu. Jawab pelayan Prancis itu: "Anna Abbas Hilmy !" Lelucon yang lain dikutip oleh Djoko Kentjono, ahli linguistik Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dalam makalahnya yang setebal 20 halaman. Begini: Seorang anak kecil menuntun keledainya melewati sebuah markas tentara. Dua orang prajurit ingin menggodanya. "Untuk apa kau pegangi kakak kandungmu itu erat-erat, buyung?" tanya salah seorang dari mereka. Jawab si buyung "Supaya tidak ikut jadi tentara." Usaha Binatu Apakah lelucon-lelucon seperti di atas jahat bagi orang yang terkena baik orang Arab ataupun tentara? Tidak perlu marah, demikian kira-kira nasihat Prof. Dr. Fuad Hassan. "Kepribadian yang dihinggapi oleh kompleks rendah diri biasanya tidak mampu mencerna suatu sajian humor yang langsung atau tak langsung melibat dirinya," tulis Fuad Hassan dalam makalahnya, Humor dan Kepribadian. Lalu guru besar ilmu psikologi yang juga diplomat itu pun menceritakan lelucon, yang dikutipnya dari kalangan menteri luar negeri ASEAN. Carlos Romulo pernah ketemu anggota delegasi RRC di PBB. Dia berbisik, "Tahukah anda bahwa sebenarnya orang Cinalah yang menemukan benua Amerika sebelum Columbus?" Diplomat Cina itu tak percaya. "Kalau kami yang menemukan, kenapa bukan kami yang sekarang menetap di Amerika?" Jawab Romulo: "Soalnya para penjelajah Cina yang pertama itu mendaki pegunungan Rockies. Di sana mereka melihat penduduk asli Amerika orang-orang Indian. Karena mereka lihat Indian-Indian itu tak berpakaian, para penjelajah Cina itu pun memutuskan untuk tak jadi tinggal di Amerika. Sebab elas tak mungkin di negeri itu mereka memulai usaha binatu." Dan para hadirin pun tertawa grr-grr-grr. Lalu mereka seperti sepakat seminar tak perlu pakai kesimpulan. Perlu humor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus