PADA mulanya dia pegang nomor lari 100 meter. Dianggap gagal pada nomor ini, Irawati Subiono pindah ke 100 meter gawang. Dia memang berhasil menjadi juara nasional pada nomor ini. Namun kemudian atlet kelahiran Jakarta itu muncul pada nomor saptalomba. Pada nomor ini ia juga sempat menjadi Juara nasional. Tidak jelas pada nomor apa bakat Irawati sebenarnya. Tapi contoh lain yang lebih dari itu bisa dilihat pada Leo Kapisa. Atlet Irian Jaya yang bersama regunya pernah jadi juara nasional pada nomor 4 x 100 meter itu kemudian juga populer sebagai pemain sepak bola. Bagaimana menentukan caban olah raga yang cocok untuk seorang atlet sehinga bisa berprestasi maksimal? Hal ini tampaknya akan menjadi salah satu ilmu yarg dicoba dikembangkan Universitas Airlangga, Surabaya. Perguruan tinggi negeri itu mulai tahun ajaran ini membuka Pendidikan Ilmu Kesehatan Olah Raga (PIKOR) yang pertama di lingkungan Fakultas Pasca-Sarjana. Kesalahan menempatkan atlet pada cabang olah raga bukan mustahil menjadi penyebab merosotnya prestasi olah raga Indonesia selama ini Prof. Soekarman, Pembantu Rektor II yang ditunjuk mengepalai lembaga itu, menyebutkan dasar pikiran mendirikan pendidikan yang memberi gelar Master of Science itu adalah kekhawatiran melihat merosotnya prestasi olah raga di berbagai cabang. "Maka, penanganannya perlu lebih ilmiah," katanya. Kolonel (Laut) Riyadi Sastro Panoelar, yarig mendampingi Prof. Soekarman, menjelaskan, ilmu yang membantu olah raga di masa kim hanya ilmu kesehatan yang tidak khusus. "Karena itu terbatas pada jasa medis kuratif yang hanya sesaat," ujar fisiolog yang Juga staf pengajar jurusan baru itu. Maksudnya, atlet baru ditangani kalau sakit atau mendapat kecelakaan. Padahal, pengawasan mestinya lebih dari itu. Menurut Riyadi, perlu ada pengamatan kesehatan preventif, menjaga agar kondisi atlet tidak rusak. "Dalam TC misalnya, kita harus berani mengatakan, seorang atlet sudah sampai taraf overtraining," katanya sambil menunjuk contoh mengapa Lius Pongoh mengalami kelainan pada punggung, dan Icuk Sugiarto sampai mengalami cedera kaki. Lebih dari itu, ilmu kesehatan olah raga tidak cuma ikhtiar mengawasi secara preventif, tapi dalam skala besar juga harus mampu membuat perkiraan, misalnya kecenderungan rata-rata atlet Indonesia. Karena itu, pada PIKOR diberikan pula pelajaran statistik dan bahasa komputer. Secara umum Riyadi mengemukakan, jurusannya pada prinsipnya berusaha menentukan kapasitas tenaga seseorang schingga dapat ditentukan batas kemampuannya. Di samping itu, berdasar data antrofometrik misalnya tinggi badan, berat badan, panjang tungkai - bisa ditentukan cabang olah raga mana yang sesuai bagi seorang atlet dengan harapan pada cabang itu ia bisa mencapai prestasi puncak. Untuk melacak hal-hal semacam itu, di PIKOR ada mata kuliah biomekanik dan kinesiologi. Kedua ilmu ini ditunjang ilmuilmu fisika, mekanika, anatomi, dan fisiologi. Obyeknya gerak manusia, khususnya gaya yang dlkenakan pada tubuh dan akibat yang ditimbulkan. Karena itu, pada biomekanik, umpamanya, terdapat biologi, umpamanya pengenalan otot, tapi terdapat pula ilmu teknik, misalnya interaksi gaya pada sebuah benda dengan bidang tumpuannya. Tapi di lingkungan PIKOR terdapat pula ilmu kedokteran olah raga. Di samping itu, ada mata-mata kuliah yang sangat dekat dengan ilmu kedokteran, seperti flslologi, biologi sel, biokimia, dan perhitungan gizi. Khusus untuk ilmu kedokteran olah raga, di Indonesia sudah terdapat tujuh orang dokter yang memiliki keahlian dokter olah raga. Jumlah yang sangat sedikit ini, ternyata, sangat lambat pertambahannya. Satu di antara dokter-dokter itu, dr. Sadoso Sumosarjuno, yang menjadi direktur Pusat Kesehatan Olah Raga Yayasan Gelora Senayan, Jakarta. Sadoso dan rekan-rekannya sampai kini banyak membantu berbagai cabang olah raga. Tentu lebih dari sekadar mengobati atlet. "Sebenarnya ilmu kesehatan olah raga sudah dimanfaatkan di Indonesia," ujar Sadoso, "Tapi belum maksimal." Mengenai kegiatannya, Sadoso menguraikan bahwa ia biasanya membantu pelatih menentukan adakah intensitas latihan sudah cukup, juga pengukuran kemampuan atlet menghirup O2 secara maksimal (dalam rumusan dituliskan VO2 max). Soal kemampuan menghirup O2 secara maksimal, menurut Sadoso, merupakan faktor penting bagi atlet. Dari kemampuan itu bisa ditentukan cabang olah raga mana yang sesuai bagi si atlet. Untuk cabang olah raga bulu tangkis, misalnya, VO2 max seorang atlet paling tidak harus 65 cc/menit. Sadoso mengutarakan bahwa PIKOR memang sangat diperlukan, mengingat olah raga di Indonesia masih belum memanfaatkan ilmu. "Untuk mencari bakat, misalnya, biasanya berdasar feeling saja," katanya. Para pencari bakat, menurut Sadoso, mengamati seorang atlet sewaktu bertanding atau berlatih. Maka, pemilihan sering kali berdasarkan pilihan yang dltentukan atlet sendiri. Padahal, seorang atlet belum tentu cocok dengan suatu cabang olah raga. Dengan kata lain, ia mungkin lebih cocok ditempatkan di cabang lain. Misalnya untuk olah raga yang membutuhkan kecepatan, selam persyaratan VO2 max, atlet juga harus mempunyai serabut otot putih yang banyak. "Hal-hal semacam ini tak bisa ditentukan dengan feeling," ujar Sadoso, "harus dengan pemeriksaan." Pelatih, menurut Sadoso, juga sangat awam dan buta ilmu kesehatan olah raga. Ia menunjuk contoh atlet angkat besi yang disuruh diet pelatihnya agar bisa masuk kelas yang dikehendaki - karena berat badan naik. "Prestasinya terang bakal nihil karena diet itu," ujarnya. Bila Indonesia mau mengembangkan olah raga lewat ilmu kesehatan olah raga, menurut Sadoso, selain PIKOR, kedokteran olah raga perlu dikembangkan tersendiri. Ia berpendapat, sebaiknya dlbuka cabang spesialisasi ilmu kesehatan olah raga di seluruh fakultas kedokteran. Waktu spesialisasi, menurut ahli itu, tak akan lama, cuma 2 atau 3 tahun. Kendati begitu, Sadoso tak begitu optimistis, karena memang tak banyak dokter yang berminat. "Mereka segan meninggalkan prakteknya," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini