PAMOR minyak Indonesia tampaknya sedang meluntur. Bahan tambang strategis ini, yang pada tahun anggaran 1982-83 masih mampu memberikan devisa hampir 70% dari seluruh penerimaan negara, tahun anggaran lalu hanya bisa memasukkan 60% saja. Di bawah tekanan kesuraman pasar seperti itu, direktur utama Pertamina Abdul Rachman Ramly, pekan lalu, bertolak ke Tokyo. Ada alasan cukup kuat, tentu, bila Ramly menempatkan Jepang sebagai negeri pertama yang dikunjunginya, dalam masa jabatannya yang baru dua bulan itu. Pembeli minyak Indonesia terbesar ini, yang pertumbuhan ekonominya tahun ini diduga makin baik, diharapkan bisa menambah impor minyaknya. Atau, paling tidak, bisa mempertahankan porsi pembelian minyaknya dari sini rata-rata hampir 14% dari seluruh kebutuhannya. Harapan itu sudah disampaikan Dirut Ramly kepada PM Nakasone, dalam pembicaraan 20 menit di kantor orang pertama Jepang itu. "Kami akan berusaha secara tetap mempertahankan volume impor minyak dari Indonesia," ujar PM Nakasone kepada tamunya. Dan sebaliknya, Ramly juga berjanji mempertahankan suplai minyaknya ke Jepang dengan "sekuat tenaga". Tapi semua hasil pembicaraan itu tampaknya tetap tergantung pada sikap pembeli, yaitu pelbagai perusahaan swasta Jepang, yang pada hakikatnya sulit "dipengaruhi" pemerintah di Tokyo. Karena itulah, selama sepekan diJepang, Ramly beserta rombongan juga bertemu sendiri dengan Far East Oil Trading Co., Nippon Oil, Japan Indonesia Oil Co., dan Japan National Oil Co. Selain bertemu dengan para pembeli Independen ini dia juga berbicara dengan pelbagai perusahaan listrik dan baja, yang secara langsung mengkonsumsi minyak bumi, serta beberapa perusahaan dagang (sogo sosila). Pada semester pertama tahun ini, mereka setiap bulan pukul rata mengimpor 2,5 juta kiloliter minyak mentah dari sini, atau 13,84% dari seluruh kebutuhannya. Dibandingkan dengan seluruh impor tahun lalu, yang mencapai 14,21%, jelas terlihat tanda-tanda menurun - apalagi jika dibandirgkan 1982, yang masih 15,36%. Sebaliknya, secara berangsur, dalam dua tahun terakhir ini porsi pembelian minyak dari RRC cenderung naik. Tapi, menurut kalangan pejabat Jepang, minyak RRC itu belum tentu bisa dianggap ancaman - seandainya pun kelak swasta Jepang diwajibkan membeli minyak dari ladang Bohal (250.000-400.000 barel sehari) yang dioperasikan bersama. Sebab, menurut dugaan, konsumsi minyak dalam negen RRC sendiri juga akan bertambah. Scjauh itu pula, para pembeli swasta di Jepang belum menunjukkan tanda-tanda akan mengurangi volume pembelian, dan meminta penurunan harga minyak dari Indonesia. Mereka hanya meneluh melihat harga minyak Minas yang dijual ke AS lebih murah US$ 0,50-0,60 setiap barel. Menhadapi situasi pasar seperti itu, kabarnya, Indonesia berusaha meningkatkan ekspor minyak mentah melalui cross purchase, yaitu menjual minyak untuk digunakan sebagai pembayaran ongkos pengilangan. Harganya konon sangat bersaing. Karerta itu, agaknya, penerimaan devisa minyak pada tahun anggaran lalu bisa mencapai US$ 12.050 juta - di atas sasaran yang, US$ 11.861 juta. Tapi, untuk tahun anggaran berjalan ini. prospeknya kurang menggembirakan, sesudah kondensat dari Arun, yang tak terkena kuota, sulit dijual padahal harganya konon sudah dibanting kurang dari USS 27. Mumpung berada di Jepang, Dirut Ramly tak lupa menemui para pembeli gas alam seperti Toho Gas, Osaka Gas, Chubu Electric, dan Kansai Electric. Mereka tampaknya perlu di-emong, mcngingat volume pemakaian gas alam sebagai pembangkit listrik akan naik pada tahun-tahun mendatang. Chubu dan Kansai Electric, dikabarkan akan memperbanyak pemakaian gas alam. Melihat pihak Korea Selatan, yang juga cukup serius membeli gas alam dan train keenam Arun, proyeksi penerimaan LNG selama Repelita IV ini tampaknya akan mudah dicapai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini