Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Mencari Pembunuh Ny. Epon

Para terdakwa menolak tuduhan membunuh. Mereka di paksa mengaku setelah dianiaya. Motif pembunuhan karena ingin menguasai harta. (krim)

1 September 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEKA-TEKI masih menyelimuti "kasus Banceuy", yang perkaranya hari-hari ini disidangkan di Pengadilan Negeri Bandung. Sersan Kepala Dedy, dari kepolisian Bandung, dalam kesaksiannya tegas menyatakan bahwa keempat terdakwa pernah mengaku terus terang telah membunuh Nyonya Epon, 65, Nyi Icih, 61, dan Ganasyah, 15, seperti tertera dalam berita acara. "Tak ada pemaksaan atau pemukulan terhadap mereka," ujar Dedy. Tapi dalam sidang, Djamaludin Malik, 40, yang menjadi terdakwa utama, menyangkal tuduhan. Menantu Nyonya Epon itu memberikan alibi bahwa pada malam kejadian, antara pukul 01.00 dan 02.30 pada 17 Desember 1983, ia berada di rumahnya, yang terletak dalam lingkungan yang sama dengan rumah korban, Gang Banceuy. Keterangan itu diperkuat istrinya, Nyonya Mara Komala - anak bungsu Nyonya Epon - dan seorang keponakannya, Yodi, 18. Rekan-rekannya di Pasar Baru, Bandung, pun tak yakin pedagang besar ikan basah yang dikenal saleh dan rendah hati itu mampu membunuh. "Dia orang cukup. Omsetnya sehari bisa mencapai Rp 3,5 juta," ujar salah seorang pcdagang Ikan. Tiga terdakwa lain, yaitu Tjetjep Djauhari, 37, Ganda, 30, dan Tachya, 28, pun menyangkal tuduhan jaksa. Mereka memberikan alibi dan mengaku terpaksa memberikan keterangan seolah terlibat pembunuhan karena tak tahan siksaan polisi. Tachya, misalnya, mengaku dihajar sampai pendengarannya terganggu. Sedangkan Ganda merasa badannya memar semua. "Ini, bekas pukulan di punggung saya masih ada," ujarnya kepada Dedy Iskandar dari TEMPO. Ia juga merasa aneh karena dalam surat tuduhan namanya ditulis: Suganda, pekerjaan: petani. Padahal, profesinya adalah dalang wayang golek. Majelis hakim terpaksa mengernyitkan alis mendengar sanggahan para terdakwa yang diadili secara terpisah itu. Soalnya, dalam surat tuduhan, jaksa cukup jelas membeberkan peranan terdakwa satu per satu. Menurut jaksa, pembunuhan itu telah direncanakan secara matang tiga hari sebelumnya. Pada dinihari hari 17 Desember 1983 itu kata jaksa, Tjetjep-lah yang menjerat leher Nyonya Epon menggunakan tali plastik. Ganda kemudian datang membantu, sedangkan Djamaludin menyumpal mulut korban. Setelah Epon tewas, giliran Nyi Icih, pembantu, dihabisi dengan cara yang sama. Setelah itu, barulah mereka naik ke tingkat dua dan membunuh Ganasyah, cucu Epon. Dan sementara pembantaian terjadi, kata jaksa lagl, Tachya mondar-mandir di luar mengawasi keadaan. Motif pembunuhan, tak lain, karena para pembunuh ingin menguasai harta-korban. Epon memang cukup berada. Ia diketahui memiliki sejumlah perhiasan emas, di antaranya ikat pinggang emas. Ia juga menyewakan rumah-rumah peninggalan almarhum suaminya yang diperkirakan setiap bulan memasukkan uang ratusan ribu ruplah . PENYIDIKAN polisi ketika itu mengarah kepada pihak keluarga korban sendiri. Sebab, pagi harinya di rumah korban dijumpai ada beberapa gelas kopi yang baru setengahnya diminum. Ada juga kue-kue yang agaknya disuguhkan nyonya rumah untuk tamunya. Djamaludin dan kawan-kawan dicurigai, ketika di rumah juragan ikan itu dijumpai seutas tali plastik dengan kawat di kedua ujungnya. Padahal, kata istrinya, di rumahnya memang banyak tali serupa, untuk menggantung pot-pot kembang. Kecurigaan lain, yaitu ditemukannya telegram yang isinya menyuruh Ei Welianty, menantu Epon yang tinggal serumah dengan korban, segera ke Sumedang. Telegram tadi seolah dibuat seseorang bernama Sabana yang, kata jaksa, tak lain nama samaran Djamaludin. Bila para terdakwa terus menyanggah, sementara tak ada saksi dan bukti-bukti kuat majelis hakim tampaknya bakal sulit untuk menyatakan bahwa para terdakwa bersalah. Ada sementara pihak yang menghendaki Barnas, anak tertua Epon, turut diperiksa. Sebab, diketahui ia beberapa kali meminta kepada Epon agar secepatnya membagi warisan. Kini pun ia mengelola semua kekayaan Epon, misalnya memungut sewa rumah setiap bulan. Tapi Barnas, karyawan pemda Kotatif Cimahi, menyangkal seolah dia menghendaki harta Epon. "Semua kekayaan Nyonya Epon saya titipkan di bank. Tidak mungkin saya memanipulasikannya. Saya orang jujur," katanya setengah berteriak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus