Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jinak, Jinak Neraca

Gengsi neraca pembayaran menguat. Penundaan proyek besar, devaluasi, kenaikan fiskal dan pembatasan impor makanan serta buah dianggap berhasil. (eb)

1 September 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

USAHA pemerintah menjinakkan neraca pembayaran 1983-1984 akhirnya membuahkan hasil. Transaksi berjalan pada tahun anggaran itu, seperti diungkapkan dalam lampiran Pidato Presiden Soeharto di Sidang DPR pertengahan Agustus lalu, ternvata hanya defisit US$ 4.151 juta. Angka ini jelas cukup rendah bila dibandingkan dengan sasaran sebelumnya, yang memperkirakan defisit itu akan mencapai US$ 4.711 juta. Banyak yang sudah menduga, penampilan transaksi berjalan (neraca barang dan jasa) akan demikian. Scbab, sebelumnya sudah terlihat serentetan tindakan berani pemerintah. Di bidang moneter, misalnya, pada Maret 1983 rupiah didevaluasikan dari Rp 702,5 menjadi Rp 970. Langkah untuk mengamankan pemasukan pajak minyak, dan sekaligus mengurangi tekanan terhadap pot devisa itu, dilakukan setelah harga patokan minyak OPEC turun dari US$ 34,5 jadi US$ 29,5 setiap barel. Tapi posisi neraca pembayaran ketika itu mulai menunjukkan tandatanda mengkhawatirkan, jika pemerintah tetap meneruskan impor barang modal untuk menyempurnakan rencana pembangunan sejumlah proyek besarnya. Guna mengurangi tekanan pada neraca pembayaran itu, 45 proyek besar yang diperkirakan bakal memakan valuta asing US$ 21,3 milyar - apa boleh buat - terpaksa ditunda. Tindakan pahit itu, yang juga dirasakan para buruh di ProyekPembangkit Listrik Mrica di Ja-Teng misalnya, diduga bisa menghemat pengeluaran sampai US$ 10,4 milyar untuk beberapa tahun anggaran berikutnya. Bank Dunia, yang secara tetap mengamati pengelolaan ekonomi Indonesia, mengangkat topi tinggi-tinggi melihat serentetan tindakan itu. Negeri ini dianggap cukup berani menunda pelbagai proyek besarnya dibandingkan sejumlah negara Amerika Latin - yang akhirnya terjebak tak bisa mencicil utang mereka. Betapapun pahit, tindakan itu dianggap peru, mengingat "posisi neraca pembayaran yang sehat adalah prasyarat bagi mantapnya stabilitas harga dalam jangka panjang," begitu tertulis dalam lampiran pidato Presiden. Jauh sebelum itu, pemerintah sesungguhnya sudah melakukan serentetan beleld untuk menghemat pengeluaran devisa secara kecil-kecilan Pengangkutan barang-barang milik pemerintah, misalnya, sejak April 1982 diharuskan dimuat oleh kapal yang dioperasikan perusahaan pelayaran Indonesia. November kemudian, biaya memperoleh surat keterangan fiskal dinaikkan dari Rp 25.000 jadi Rp 150.000. Kalangan yang tersenggol kebiaksanaan itu, seperti Amerlka, dalam soal muatan kapal, boleh jadi agak meriang. Tak lama kemudian, impor buah-buahan dan makanan kaleng juga mulai dibatasi. Caranya, pemerintah menunjuk PT Kerta Niaga dan Cipta Niaga sebagai importir seluruh mata dagangan itu - bukan dengan menaikkan bea masuk atau menaikkan pajak impor. Karena misi utama mereka adalah melakukan penghematan devisa, kedua perusahaan negara itu secara berangsur berusaha mengurangi impor buah-buahan dan makanan kaleng. Impor buah-buahan, misalnya, yang pada tahun 1982 masih berjumlah 8.500 ton dengan nilai US$ 6,5 juta, tahun lalu tinggal 4.630 ton dengan nilai US$ 4 juta. Buah-buahan impor itu, seperti apel dan anggur, biasanya dikapalkan dari Australia, New Zealand, dan AS. Ketika keran impor untuk mata dagangan semacam ini masih dibuka, apel eks impor harganya Pukul rata Rp 2.500 sekilo, sedang yang eks Malang jauh berada di bawahnya. Kini, sesudah "apel bule" menyusut jumlahnya, apel lokal naik gengsi dan harganya. Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri Ginandjar Kartasasmita pernah menyebut bahwa tindakan itu, "Bisa menaikkan pendapatan petani buah Indonesia." Kendati begitu, tentu saja bukan hanyaj karena impor dan anggur berkurang, jika pengeluaran devisa untuk membiayai pengadaan barang konsumsi tahun anggaran lalu turun jadi US$ 882 juta dari sebelumnya yang US$ 1.136 juta. Penghematan besarbesaran rupanya datang dari komoditi beras dan gula pasir, yang selama dua tahun anggaran terakhir Repelita III sudah tidak diimpor. Dalam dua tahun belakangan ini, memang, produksi lokal kedua komoditi itu naik mengesankan. Meningkatnya produksi pupuk dalam negeri juga menyebabkan impor bahan penolong itu tahun anggaran lalu nilainya menurun lebih dari separuhnya dibandingkan sebelumnya. Impor preparat farmasi dan kimia juga menurun nilainya. Singkat kata, impor pelbagai bahan baku dan penolong menurun karena, "Kita memang sudah bisa memenuhi kebutuhan itu dengan hasil industri lokal," seperti uiar Dirien Aneka Industri. Sotion Ardjanggi. Karena sejumlah kendala itulah, tak heran, bila impor di luar minyak bumi ini secara keseluruhan turun dari US$ 15.824 juta pada tahun 1982-1983 menjadi US$ 14.346 juta pada tahun anggaran lalu. Jika ditambah dengan angka Impor produk-produk minyak dan gas, nilai impor secara total tetap tinggi, bahkan melampaui proyeksi sebelumnya. Sebaliknya nilai ekspor. Kendati pemerintah sudah mendorong dengan pelbagai fasilitas, ternyata tetap tak banyak melompati sasaran. Karena itu, surplus neraca perdagangan tahun anggaran lalu hanya US$ 1.632 juta. Angka ini jelas berbeda dengan yang dlumumkan pemerintah Juli lalu, yang menyebut surplus itu US$ 7.625 juta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus