STEVE Tombs dan Paul Smythe, keduanya dari klub Exeter City,
Inggris, pernah diimpornya. Toh tim itu belum terbantu. Dari 8
pertandingan putaran pertama kompetisi Galatama, mereka hanya 3
kali menang dan 1 kali seri. Sisanya, kalah. Mengapa? "Kalau
boss yang bawa tim, anak-anak jadi gugup di lapangan," kata
kapten Pardedetex, Zulham Effendy.
Menyadari hal itu, T.D. Pardede melepaskan jabatan manajer tim.
Ia lalu memilih Kamaruddin Panggabean sebagal pengganti.
Hasilnya tak mengecewakan. Dari sisa 5 pertandingan pada putaran
awal mereka cuma kehilangan 1 angka (hasil seri). Dengan 9 angka
kemenangan bertambah, Pardedetex mencapai urutan ke-6 di antara
14 anggota Galatama.
Apa rahasia suksesnya? Panggabean berani mengganti seorang
bintang, sekalipun pertandingan baru berjalan separuh waktu.
"Filsafat saya, main bola itu adalah dengan kaki, bukan nama,"
kata Panggabean. "Biar namanya segede gajah, sama saya itu tidak
ada arti, kalau dia bermain sesuka hati." Pemain yang disukainya
adalah yang mengikuti instruksinya dengan baik.
Misalnya, ketika Pardedetex melawan Arseto di stadion Teladan,
Medan, 10 Januari lalu, ia tak segan-segan mengeluarkan Hamzah
Arfah di babak kedua. Pemain ini, yang dibeli Pardede dari Gowa,
dikenal sebagai pencetak gol andalan. Toh Panggabean
menggantinya dengan pemain cadangan, Managor Siagian. Tim
Pardedetex yang semula bermain lesu, kembali bersemangat,
kendati pertandingan berakhir tanpa gol.
Siapakah Panggabean? Ia dilahirkan di Tarutung tahun 1922 dalam
keluarga pedagang. Pada usia 16 tahun dirinya sudah bermain
untuk klub Sahata di Medan. Sebagai pemain ia tak begitu sukses
-- hanya sampai tingkat memperkuat bond Sumatera Timur
(1941-1942).
Tapi dalam memutar roda organisasi, Panggabean sudah terbukti
unggul. Tahun 1950, ia memegang pimpinan Komda PSSl Sumatera
Utara dan Aceh, menggantikan Sulaiman Siregar (almarhum), sampai
ia mengundurkan diri 25 tahun kemudian. Tentang masa jabatan
yang panjang itu ia mengatakan: "Habis, saya dipilih terus
secara aklamasi." Panggabean juga menjabat Ketua KONI Sumatera
Utara sejak lembaga itu dibentuk tahun 1968 sampai sekarang.
Jabatan manajer tim pertama kali dialaminya ketika ia diserahi
membawa tim PSSI ke turnamen Piala Raja di Bangkok, 1968. Dari
PSSI jadi juara. Juga itu dialaminya sewaktu PSSI mengikuti
Merdeka Games di Kuala Lumpur setahun kemudian. Tahun 1970, ia
membawa PSMS, bond Medan, ke turnamen Piala Emas Aga Khan di
Dakka. Juara lagi.
Tapi PSMS yang dipimpinnya ke perebutan Piala Presiden di
Seoul, kalah 7-2. "Kalau mau dibilang gagal, hanya ke Korea
(Selatan) itulah kegagalan saya sebagai manajer tim," lanjut
Panggabean.
Ia mengritik manajer tim yang mengumbar janji, memberi uang bila
menang. "Itu sudah kolot," katanya. "Perhatikanlah hal-hal kecil
dalam memberikan motivasi pada pemain." Teuku Hermansyah,
seorang pemain Pardedetex, membenarkan bahwa Panggabean punya
perhatian terhadap hal-hal sepele. "Sampai soal-soal keluarga
kita pun diperhatikannya," kata Hermansyah. "Inilah yang membuat
saya betah di Pardedetex walau honor yang diterima pas-pasan
saja."
Tentang soal uang perangsang, Pangabean ternyata berbeda
pendapat dengan Pardede. Untuk menghadapi NIAC Mitra di Medan,
awal pekan ini Pardede malah mendorong pemainnya dengan janji
imbalan Rp 50.000 untuk setiap gol kemenangan.
Panggabean mengaku dirinya tak pernah belajar secara formal
untuk menjadi manajer tim. "Saya belajar dari buku dan
pengalaman," tambahnya.
Terkena Getah
Tentang tak dan strategi yang diterapkannya, menurut dia,
dipetiknya dari pengalaman menyaksikan pertandingan Piala Dunia.
Ia sudah mengikuti turnamen besar itu secara langsung sejak
tahun 1966. Sepulang dari menyaksikan Piala Dunia di London 14
tahun lalu, ia memperkenalkan sistem Hurricane (puting beliung)
pada PSMS. Hasilnya, PSMS menjadi juara nasional 3 kali
berturut-turut.
Bergabung dengan Pardedetex, ia mengaku dirinya tidak mendapat
gaji bulanan. "Pardede tak akan sanggup membayar saya," katanya.
Panggabean memang terhitung orang berada, yang tinggal di Jalan
Bantam, daerah elite bagi kota Medan. Ia punya biro perjalanan,
dan mendapat pensiun (bekas pegawai Kantor Gubernur Sumarera
Utara) di samping mewarisi kebun pusaka dari orang tuanya. Ia
punya 9 anak dan 10 cucu.
Karir Panggabean yang panjang itu terkena getah ketika
Pardedetex melawan Indonesia Muda di lapangan sendiri.
Pertandingan 28 Desember itu berakhir dengan kericuhan, dan
terhenti sebelum usai. Wasit Hamlet dipukul oleh Susanto, pemain
cadangan Pardedetex. Kemudian Panggabean dan enam pemainnya
diskors PSSI. "Saya yang berkorban mau mengatasi kerusuhan, kok
malah dihukum," katanya.
Baru pertama kali ini skorsing dijatuhkan PSSI untuk manajer
tim. "Mereka (yang di PSSI) itu tak senang dengan sukses saya
dan Pardedetex," demikian reaksi Panggabean, pemegang Lencana
Kebudayaan dari Pemerintah Indonesia (1968). Posisi Pardedetex
dalam Galatama kebetulan memang sedang menanjak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini