WAJAH Ny. ST Nababan (51 tahun) tak cerah siang itu. Sembari
merangkak ia mengacau-ngacau biji kopi yang dijemur di atas
tikar didepan rumahnya di Desa Panji Bak, Kecamaran Sidikalang,
Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. "Harga kopi turun terus,
bagaimana ini?" keluhnya. Menjelang Natal 1979 harga kopi di
Sidikalang masih Rp 1.300/kg, tapi pekan lalu anjlok menjadi Rp
1.100/kg.
Suatu pukulan berat bagi keluarga dengan 10 anak itu. Kebun kopi
seluas 1/5 hektar di belakang rumah mereka hanya menghasilkan 15
kg/bulan. Produksi yang rendah itu karena sebagian besar pohon
kopinya berumur di atas 30 tahun. "Mana mungkin lagi kami makan
kalau hanya tanam kopi," lanjut Ny. Nababan. Suaminya ST Nababan
harus merengge-rengge, mencari kerja serabutan. Keluarga ini
cemas memandang masa depan.
Lain dengan Sukirat (50 tahun). Petani karet Kampung Gunung
Selamat Kecamatan Sei Bilah Hulu di Labuhan Batu Sumatera Utara
ini pekan lalu bercerita dengan wajah berseri-seri. "Tahun 1977,
7 hektar kebun karet saya hanya menghasilkan Rp 50.000 sebulan.
Kini 1 hektar kebun yang sudah diremajakan bisa menghasilkan Rp
60.000 sebulan."
Masih ada lagi. Di sela-sela pohon karetnya Sukirat menanam
padi, jagung dan cabai. Panen padinya tahun lalu menghasilkan
300 kaleng. Cabai sekali panen menghasilkan Rp 175.000 sedang
jagung Rp 50.000. Sukirat bisa menjual karetnya Rp 30 lebih
tinggi dari pasaran setempat karena ia menjadi anggota Group
Marketing Organization yang dibina Proyek Pengembangan
Perkebunan Rakyat Sumatera Utara (P3RSU). Wajar kalau Sukirat
melihat 1980 dengan wajah cerah.
Tahun 1980 memang dipandang dengan perasaan berbeda. Tahun
harapan. Tahun tantangan. Tahun tak menentu. Banyak sebutan
untuk tahun monyet ini. Buat kalangan bisnis Indonesia,
kekagetan akibat sodokan Kenop 15 umumnya sudah teratasi, walau
banyak yang masih limbung.
Masih ada rasa was-was menghadapinya. Banyak faktor yang menjadi
penybabnya bahaya inflasi, kebijaksanaan kredit ketat, resesi
ekonomi dunia dan situasi politik internasional yang makin
kacau adalah beberapa contoh. Hingga di samping mereka yang
masih harus mengencangkan ikat pinggang, banyak yang memasuki
1980 dengan memasang kuda-kuda.
Gambaran perintah tentang 1980 cukup cerah. Itu tercermin dari
RAPBN 1980/1981 dan, naik dengan 52% dari tahun sebelumnya.
Perkembangan ekonomi diperkirakan akan lebih mantap ketimbang
1979. Alasannya antara lain penyesuaian harga akibat Kenop 15
sudah lewat dan usaha mengendalikan laju inflasi diharapkan akan
berhasil.
Optimisme itu rupanya ditopang angka-angka perdagangan luar
negeri Indonesia tahun lalu. Ekspor non-minyak dalam 9 bulan
pertama 1979 naik 65,2% dari $ 2.890 juta menjadi $ 4.775 juta.
Perkiraan semula hanya akan naik sekitar 20%. Kecuali pupuk,
semua komoditi lain naik nilai ekspornya. Hal itu terutama
karena naiknya harga di pasaran internasional.
Tapi bagaimana pendapat kalangan bawah, mereka yang tiap hari
bergelut dengan komoditi, dan tidak peduli dengan segala
angka-angka?
Buat para petani cengkih misalnya. Yang mereka harapkan pada
1980 adalah naiknya harga cengkih seperti 3 bulan lalu yang
mencapai Rp 15.000. Hingga sekalipun di Kabupaten Aceh Besar
misalnya, saat ini panen sudah selesai, pasaran cengkih masih
lesu. "Saya simpan dulu dan lihat-lihat harga," ujar M. Juned
petani cengkih dari Keude Being, Aceh Besar.
Di Banda Aceh sekarang harga cengkih Rp 7.000/kg. Tidak semua
bisa menunggu naiknya harga. "Terpaksa hasil panen saya, saya
lepas. Saya butuh duit untuk biaya hidup," cerita Burhan, petani
lain dari Peukan Bada.
Di Sulawesi Utara, penghasil cengkih utama di Indonesia, saat
ini pun siap panen cengkih. Tapi pasaran juga lesu, sekitar Rp
6:000/kg. Banyak petani yang sudah melepaskan cengkih yang masih
di pohon dengan harga sekitar Rp 4.000/ kg karena butuh duit.
Dan pembelinya, para tengkulak merasa tidak melanggar ketentuan
karena bukankah harga dasar cengkih yang ditetapkan pemerintah
hanya Rp 3.500/kg?
Harga cengkih di provinsi ini menurut banyak kalangan "diatur
dari Jawa," oleh para pengusaha rokok kretek besar. Apa pendapat
para pengusaha ini tentang 1980?
Tidak satu pun pabrikan rokok kretek di Jawa Timur yang ditemui
TEMPO bisa memperkirakan bagaimana nasib industri itu tahun
1980. "Banyak sekali faktor yang menentukan yang di luar
jangkauan kita," ujar Rahman Halim, Direktur Utama Gudang Garam.
"Barangkali Menteri Perdagangan yang bisa meramalkan nasib kami
tahun 1980 ini," kata Hudiono Wangsawidjaja, Direktur Utama PT
Karnia yang memproduksi rokok Grendel.
Baik Rahman maupun Hudiono sepakat bahwa 1979 adalah tahun
terburuk dalam sejarah rokok kretek. Cengkih yang di pertengahan
tahun 1979 mencapai Rp 14.000/kg memaksa mereka menaikkan harga
rokok dengan risiko pasaran jadi sepi. Bahkan pabrik rokok
kretek terbesar Gudang Garam (GG) sempat goyah. November lalu,
seperti diakui Rahman Halim, pabriknya tidak bisa bekerja penuh.
Buruhnya yang 27.000 sering diliburkan. Biasanya cukai GG per
bulan sekitar Rp 5 milyar, tapi November itu cuma Rp 3 milyar.
Namun Desember lalu GG membuat kejutan, harga semua rokoknya
diturunkan Rp 35/bungkus. Hasilnya: pabrik sibuk lagi. Cukai
bulan Desember itu menjadi Rp 6,2 milyar. Bahkan sejak 1 Januari
lalu upah buruhnya dinaikkan jadi Rp 315 /1000 batang dibanding
Rp 275/1000 batang sebelumnya. Beberapa pabrik terpaksa ikut
menurunkan harga guna mengimbangi GG. Harapan mereka untuk 1980
ini adalah agar impor cengkih lancar, supaya peraturan harga pas
banderol tidak kacau. "Dan kami tidak mati," kata seorang
pabrikan rokok kretek kelas menengah di Malang.
Buat para pengusaha elektronika, 1980 dilihat sebagai tahun
penuh harapan baik. "Saya optimis tahun ini produksi alat-alat
elektronika bisa meningkat lebih dari 15%," ujar Lukman Hakim
(44 tahun), Wakil Direktur Utama PT National Gobel. Tahun lalu
walau ada kenaikan harga antara 20-30% akibat Kenop 15, produksi
alat elektronika meningkat 15% dan membengkaknya angka RAPBN
1980/1981 membuatnya lebih optimistis.
Menurut Lukman, kenaikan itu juga akan meningkatkan pemakaian
komponen buatan dalam negeri. Yang diperkirakan meningkat tidak
hanya pasaran domestik, tapi juga impor. Namun ia melihat masih
banyak hambatan di bidang ini. "Sertifikat Ekspor misalnya perlu
disederhanakan," ujar Lukman.
Yang juga ccrah melihat 1980 adalah Mohamad Sardjan, Ketua
Koperasi Pengrajin Kayu (Koperka) Pondok Pinang, Jakarta.
"Pasaran mebel dalam negeri sudah jenuh. Dan repot melayani
pemerintah karena persekotnya kecil," tutur Sardjan. Jadi apa
alasannya untuk gembira? "Melayani order luar negeri saja
sekarang kita anggap sudah cukup," jawabnya.
Koperka yang dipimpin bekas Menteri Pertanian (1952-1957) sejak
1977 ini sekarang sedang repot melayani pesanan mebel luks dari
Inggris. Ia menolak mengungkapkan besarnya pesanan ini. Tapi
dari sumber TEMPO lain diketahui pesanan ini sekitar $ 200.000
tiap bulannya. Rata-rata 200 potong mebel dikirimkannya ke luar
negeri tiap bulan. Target Koperka. bisa mengekspor 500 potong
mebel tiap bulan.
Industri kendaraan bermotor, setelah menderita penurunan
produksi 15% tahun lalu, rupanya akan melambung lagi ke atas.
"Adanya peningkatan RAPBN yang 52% dengan pengeluaran
pembangunan naik 44% membuat saya berpendapat industri kendaraan
bermotor akan membaik," kata Sugianto Sastrosatomo dari Gakindo
(Gabungan Agen Tunggal dan Assembler Kendaraan Bermotor
Indonesia) pekan lalu.
Harapan itu tampaknya sangat beralasan. Banyak pesanan kendaraan
niaga dari pemerintah, terutama dari perusahaan pertambangan,
Departemen Pekerjaan Umum dan Hankam. Departemen Hankam misalnya
belum lama ini telah memutuskan membeli 300 truk Mercedes dari
PT Star Motor.
Sulitnya mencari bahan baku batik terutama mori saat ini tidak
membuat Santoso, pemilik Batik Danar Hadi Sala pesimistis.
"Setelah peningkatan yang meyakinkan tahun lalu, banyak alasan
untuk optimis menjalani tahun 1980," ujar Santoso. Batik Danar
Hadi, di samping makin laris di dalam negeri juga diekspor ke
Australia, Jepang dan Argentina. Bersama kelompoknya, yang
terdiri dari beberapa pengusaha pribumi Sala. Danar Hadi saat
ini menghasilkan 5.000 potong kain batik per hari dibanding
4.000 potong/hari tahun lalu.
Meningkatnya pasaran batik terutalna karena makin populernya
pemakaian lahan batik dalam masyarakat. Yang dianggap Santoso
membahayakan industri batik Indonesia adalah munculnya batik
printing yang memang sulit dibedakan dengan batik tulis atau
batik cap.
Di bidang jasa, Gozali Katianda, Direktur Pelaksana Musi
Holiday Travel melihat 1980 ini tahun suram buat pengiriman
pelancong Indonesia ke luar negeri. "Sejak Kenop 15 jumlah
wisatawan Indonesia yang kami atur perjalanannya ke luar negeri
turun sampai 60%," kaanya. Dulu tiap bulan biro pariwisatanya
bisa memberangkatkan 1)00 wisatawan ke Singapura tapi kini
paling 300.
MENYURUTNYA jumlah wisatawan Indonesia karena naiknya ongkos
perjalanan dan tarif hotel dan juga naiknya harga barang di luar
negeri. Karena itu kini Gozali mengalihkan usahanya dengan
mendatangkan pelancong asing ke sini.
Apa yang bisa disimpulkan? Melihat semua itu rupanya prospek
bisnis Indonesia 1980 cukup memberi harapan. Masalahnya adalah
bagaimana agar manfaat yang didapat bisa dinikmati
sebesar-besarnya oleh golongan paling bawah, misalnya para
petani. Serta mengarahkannya agar keuntungan itu dipergunakan
untuk tujuan produktif. Tidak seperti para petani karet sekarang
ini. "Mereka sibuk membeli radio, televisi atau membangun
rumah," ujar seorang tauke karet non-pri Sumatera Utara. Padahal
yang paling mendesak dikerjakan sebetulnya adalah meremajakan
kebun mereka.
Buat sebagian besar rakyat Indonesia, yang tiap hari harus
bergulat dengan perjuangan untuk mempertahankan hidup,
membicarakan prospek 1980 mungkin terlalu "tinggi". Karena
ukuran mereka adalah hari ke hari. Seperti pendapat Kalang (50
tahun), nelayan prlbuml dari Bagansiapi-api.
Di rumahnya yang sangat sederhana, sambil bersimpuh di lantai
menyambung tali jaring nilonnya yang putus-putus, Kalang yang
telah 11 tahun menjadi nelayan mendongak sebentar untuk menjawab
tentan harapannya pada 1980.
"Saya tidak punya rencana selain terus ke laut. Jika hasilnya
kurang memadai saya akan nyambi berkuli di darat. Harapan saya?
Tentu saja memimpikan mesin Yanmar dan 10 utas jaring baru buat
perahu saya." Kembali Kalang menunduk menyambung tali jaringnya
karena jaringnya itu yang menyambung hidup keluarganya dari hari
ke hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini