Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Harapan Ya Harapan

Sebagai tahun penuh harapan, produksi alat-alat elektronika bisa meningkat. meningkatnya pasaran domestik dan impor.

19 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAJAH Ny. ST Nababan (51 tahun) tak cerah siang itu. Sembari merangkak ia mengacau-ngacau biji kopi yang dijemur di atas tikar didepan rumahnya di Desa Panji Bak, Kecamaran Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. "Harga kopi turun terus, bagaimana ini?" keluhnya. Menjelang Natal 1979 harga kopi di Sidikalang masih Rp 1.300/kg, tapi pekan lalu anjlok menjadi Rp 1.100/kg. Suatu pukulan berat bagi keluarga dengan 10 anak itu. Kebun kopi seluas 1/5 hektar di belakang rumah mereka hanya menghasilkan 15 kg/bulan. Produksi yang rendah itu karena sebagian besar pohon kopinya berumur di atas 30 tahun. "Mana mungkin lagi kami makan kalau hanya tanam kopi," lanjut Ny. Nababan. Suaminya ST Nababan harus merengge-rengge, mencari kerja serabutan. Keluarga ini cemas memandang masa depan. Lain dengan Sukirat (50 tahun). Petani karet Kampung Gunung Selamat Kecamatan Sei Bilah Hulu di Labuhan Batu Sumatera Utara ini pekan lalu bercerita dengan wajah berseri-seri. "Tahun 1977, 7 hektar kebun karet saya hanya menghasilkan Rp 50.000 sebulan. Kini 1 hektar kebun yang sudah diremajakan bisa menghasilkan Rp 60.000 sebulan." Masih ada lagi. Di sela-sela pohon karetnya Sukirat menanam padi, jagung dan cabai. Panen padinya tahun lalu menghasilkan 300 kaleng. Cabai sekali panen menghasilkan Rp 175.000 sedang jagung Rp 50.000. Sukirat bisa menjual karetnya Rp 30 lebih tinggi dari pasaran setempat karena ia menjadi anggota Group Marketing Organization yang dibina Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat Sumatera Utara (P3RSU). Wajar kalau Sukirat melihat 1980 dengan wajah cerah. Tahun 1980 memang dipandang dengan perasaan berbeda. Tahun harapan. Tahun tantangan. Tahun tak menentu. Banyak sebutan untuk tahun monyet ini. Buat kalangan bisnis Indonesia, kekagetan akibat sodokan Kenop 15 umumnya sudah teratasi, walau banyak yang masih limbung. Masih ada rasa was-was menghadapinya. Banyak faktor yang menjadi penybabnya bahaya inflasi, kebijaksanaan kredit ketat, resesi ekonomi dunia dan situasi politik internasional yang makin kacau adalah beberapa contoh. Hingga di samping mereka yang masih harus mengencangkan ikat pinggang, banyak yang memasuki 1980 dengan memasang kuda-kuda. Gambaran perintah tentang 1980 cukup cerah. Itu tercermin dari RAPBN 1980/1981 dan, naik dengan 52% dari tahun sebelumnya. Perkembangan ekonomi diperkirakan akan lebih mantap ketimbang 1979. Alasannya antara lain penyesuaian harga akibat Kenop 15 sudah lewat dan usaha mengendalikan laju inflasi diharapkan akan berhasil. Optimisme itu rupanya ditopang angka-angka perdagangan luar negeri Indonesia tahun lalu. Ekspor non-minyak dalam 9 bulan pertama 1979 naik 65,2% dari $ 2.890 juta menjadi $ 4.775 juta. Perkiraan semula hanya akan naik sekitar 20%. Kecuali pupuk, semua komoditi lain naik nilai ekspornya. Hal itu terutama karena naiknya harga di pasaran internasional. Tapi bagaimana pendapat kalangan bawah, mereka yang tiap hari bergelut dengan komoditi, dan tidak peduli dengan segala angka-angka? Buat para petani cengkih misalnya. Yang mereka harapkan pada 1980 adalah naiknya harga cengkih seperti 3 bulan lalu yang mencapai Rp 15.000. Hingga sekalipun di Kabupaten Aceh Besar misalnya, saat ini panen sudah selesai, pasaran cengkih masih lesu. "Saya simpan dulu dan lihat-lihat harga," ujar M. Juned petani cengkih dari Keude Being, Aceh Besar. Di Banda Aceh sekarang harga cengkih Rp 7.000/kg. Tidak semua bisa menunggu naiknya harga. "Terpaksa hasil panen saya, saya lepas. Saya butuh duit untuk biaya hidup," cerita Burhan, petani lain dari Peukan Bada. Di Sulawesi Utara, penghasil cengkih utama di Indonesia, saat ini pun siap panen cengkih. Tapi pasaran juga lesu, sekitar Rp 6:000/kg. Banyak petani yang sudah melepaskan cengkih yang masih di pohon dengan harga sekitar Rp 4.000/ kg karena butuh duit. Dan pembelinya, para tengkulak merasa tidak melanggar ketentuan karena bukankah harga dasar cengkih yang ditetapkan pemerintah hanya Rp 3.500/kg? Harga cengkih di provinsi ini menurut banyak kalangan "diatur dari Jawa," oleh para pengusaha rokok kretek besar. Apa pendapat para pengusaha ini tentang 1980? Tidak satu pun pabrikan rokok kretek di Jawa Timur yang ditemui TEMPO bisa memperkirakan bagaimana nasib industri itu tahun 1980. "Banyak sekali faktor yang menentukan yang di luar jangkauan kita," ujar Rahman Halim, Direktur Utama Gudang Garam. "Barangkali Menteri Perdagangan yang bisa meramalkan nasib kami tahun 1980 ini," kata Hudiono Wangsawidjaja, Direktur Utama PT Karnia yang memproduksi rokok Grendel. Baik Rahman maupun Hudiono sepakat bahwa 1979 adalah tahun terburuk dalam sejarah rokok kretek. Cengkih yang di pertengahan tahun 1979 mencapai Rp 14.000/kg memaksa mereka menaikkan harga rokok dengan risiko pasaran jadi sepi. Bahkan pabrik rokok kretek terbesar Gudang Garam (GG) sempat goyah. November lalu, seperti diakui Rahman Halim, pabriknya tidak bisa bekerja penuh. Buruhnya yang 27.000 sering diliburkan. Biasanya cukai GG per bulan sekitar Rp 5 milyar, tapi November itu cuma Rp 3 milyar. Namun Desember lalu GG membuat kejutan, harga semua rokoknya diturunkan Rp 35/bungkus. Hasilnya: pabrik sibuk lagi. Cukai bulan Desember itu menjadi Rp 6,2 milyar. Bahkan sejak 1 Januari lalu upah buruhnya dinaikkan jadi Rp 315 /1000 batang dibanding Rp 275/1000 batang sebelumnya. Beberapa pabrik terpaksa ikut menurunkan harga guna mengimbangi GG. Harapan mereka untuk 1980 ini adalah agar impor cengkih lancar, supaya peraturan harga pas banderol tidak kacau. "Dan kami tidak mati," kata seorang pabrikan rokok kretek kelas menengah di Malang. Buat para pengusaha elektronika, 1980 dilihat sebagai tahun penuh harapan baik. "Saya optimis tahun ini produksi alat-alat elektronika bisa meningkat lebih dari 15%," ujar Lukman Hakim (44 tahun), Wakil Direktur Utama PT National Gobel. Tahun lalu walau ada kenaikan harga antara 20-30% akibat Kenop 15, produksi alat elektronika meningkat 15% dan membengkaknya angka RAPBN 1980/1981 membuatnya lebih optimistis. Menurut Lukman, kenaikan itu juga akan meningkatkan pemakaian komponen buatan dalam negeri. Yang diperkirakan meningkat tidak hanya pasaran domestik, tapi juga impor. Namun ia melihat masih banyak hambatan di bidang ini. "Sertifikat Ekspor misalnya perlu disederhanakan," ujar Lukman. Yang juga ccrah melihat 1980 adalah Mohamad Sardjan, Ketua Koperasi Pengrajin Kayu (Koperka) Pondok Pinang, Jakarta. "Pasaran mebel dalam negeri sudah jenuh. Dan repot melayani pemerintah karena persekotnya kecil," tutur Sardjan. Jadi apa alasannya untuk gembira? "Melayani order luar negeri saja sekarang kita anggap sudah cukup," jawabnya. Koperka yang dipimpin bekas Menteri Pertanian (1952-1957) sejak 1977 ini sekarang sedang repot melayani pesanan mebel luks dari Inggris. Ia menolak mengungkapkan besarnya pesanan ini. Tapi dari sumber TEMPO lain diketahui pesanan ini sekitar $ 200.000 tiap bulannya. Rata-rata 200 potong mebel dikirimkannya ke luar negeri tiap bulan. Target Koperka. bisa mengekspor 500 potong mebel tiap bulan. Industri kendaraan bermotor, setelah menderita penurunan produksi 15% tahun lalu, rupanya akan melambung lagi ke atas. "Adanya peningkatan RAPBN yang 52% dengan pengeluaran pembangunan naik 44% membuat saya berpendapat industri kendaraan bermotor akan membaik," kata Sugianto Sastrosatomo dari Gakindo (Gabungan Agen Tunggal dan Assembler Kendaraan Bermotor Indonesia) pekan lalu. Harapan itu tampaknya sangat beralasan. Banyak pesanan kendaraan niaga dari pemerintah, terutama dari perusahaan pertambangan, Departemen Pekerjaan Umum dan Hankam. Departemen Hankam misalnya belum lama ini telah memutuskan membeli 300 truk Mercedes dari PT Star Motor. Sulitnya mencari bahan baku batik terutama mori saat ini tidak membuat Santoso, pemilik Batik Danar Hadi Sala pesimistis. "Setelah peningkatan yang meyakinkan tahun lalu, banyak alasan untuk optimis menjalani tahun 1980," ujar Santoso. Batik Danar Hadi, di samping makin laris di dalam negeri juga diekspor ke Australia, Jepang dan Argentina. Bersama kelompoknya, yang terdiri dari beberapa pengusaha pribumi Sala. Danar Hadi saat ini menghasilkan 5.000 potong kain batik per hari dibanding 4.000 potong/hari tahun lalu. Meningkatnya pasaran batik terutalna karena makin populernya pemakaian lahan batik dalam masyarakat. Yang dianggap Santoso membahayakan industri batik Indonesia adalah munculnya batik printing yang memang sulit dibedakan dengan batik tulis atau batik cap. Di bidang jasa, Gozali Katianda, Direktur Pelaksana Musi Holiday Travel melihat 1980 ini tahun suram buat pengiriman pelancong Indonesia ke luar negeri. "Sejak Kenop 15 jumlah wisatawan Indonesia yang kami atur perjalanannya ke luar negeri turun sampai 60%," kaanya. Dulu tiap bulan biro pariwisatanya bisa memberangkatkan 1)00 wisatawan ke Singapura tapi kini paling 300. MENYURUTNYA jumlah wisatawan Indonesia karena naiknya ongkos perjalanan dan tarif hotel dan juga naiknya harga barang di luar negeri. Karena itu kini Gozali mengalihkan usahanya dengan mendatangkan pelancong asing ke sini. Apa yang bisa disimpulkan? Melihat semua itu rupanya prospek bisnis Indonesia 1980 cukup memberi harapan. Masalahnya adalah bagaimana agar manfaat yang didapat bisa dinikmati sebesar-besarnya oleh golongan paling bawah, misalnya para petani. Serta mengarahkannya agar keuntungan itu dipergunakan untuk tujuan produktif. Tidak seperti para petani karet sekarang ini. "Mereka sibuk membeli radio, televisi atau membangun rumah," ujar seorang tauke karet non-pri Sumatera Utara. Padahal yang paling mendesak dikerjakan sebetulnya adalah meremajakan kebun mereka. Buat sebagian besar rakyat Indonesia, yang tiap hari harus bergulat dengan perjuangan untuk mempertahankan hidup, membicarakan prospek 1980 mungkin terlalu "tinggi". Karena ukuran mereka adalah hari ke hari. Seperti pendapat Kalang (50 tahun), nelayan prlbuml dari Bagansiapi-api. Di rumahnya yang sangat sederhana, sambil bersimpuh di lantai menyambung tali jaring nilonnya yang putus-putus, Kalang yang telah 11 tahun menjadi nelayan mendongak sebentar untuk menjawab tentan harapannya pada 1980. "Saya tidak punya rencana selain terus ke laut. Jika hasilnya kurang memadai saya akan nyambi berkuli di darat. Harapan saya? Tentu saja memimpikan mesin Yanmar dan 10 utas jaring baru buat perahu saya." Kembali Kalang menunduk menyambung tali jaringnya karena jaringnya itu yang menyambung hidup keluarganya dari hari ke hari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus